Tak banyak orang mampu mengenali motivasi pribadi untuk belajar. Kiranya banyak orang yang menempuh pendidikan atau pembelajaran sekadar bagian dari kewajiban saja. Tentu hal itu tidak salah. Namun hemat penulis, sebuah motivasi setidaknya akan memberi warna dan semangat dalam proses belajar.
Kisah motivasi belajar para ulama dan ilmuwan era Islam klasik mungkin bisa kita tengok sebagai inspirasi. Anda mungkin mengenali tokoh ini: Ar-Razi, salah satu dokter muslim ternama. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakariya ar-Razi. Ia adalah penyusun buku al-Hawi, yang pada masanya, merupakan salah satu buku kanon yang dinilai wajib dipelajari para pelajar kedokteran di samping kanon lain seperti al-Qanun fit Thib karya Ibnu Sina.
Dilahirkan di daerah Rayy, pada usia sekitar 30 tahun ar-Razi merantau ke Baghdad dan menetap di sana sekian lama. Ia sudah kenyang dengan pembelajaran logika, filsafat, juga sastra sejak belia. Sosok yang dikenal dalam tradisi sejarah Eropa sebagai Rhazes ini disebutkan baru menekuni ilmu kedokteran kala dewasa, yaitu sejak mulai menetap di Baghdad. Gurunya adalah seorang dokter ternama setempat kala itu yang bernama Ali bin Raban al-Thabari.
Mengapa Ar-Razi menjadi sedemikian tertarik pada ilmu kedokteran? Ibnu Abi Usaibiah mencatatnya dalam buku ‘Uyunul Anba’ fi Thabaqatil Athibba’ tentang sejarah para dokter. Suatu hari ketika di Baghdad, ar-Razi berkunjung ke Bimaristan ‘Adudi, dan berjumpa seorang pria tua yang rupanya adalah seorang pegawai farmasi rumah sakit tersebut.
Pada pria tua itu, ar-Razi dengan keingintahuannya – dan mungkin sedikit iseng, menanyakan tentang sejarah pengobatan, termasuk bagaimana obat pertama kali dikenali. Pegawai farmasi ini menjawab,
“Konon obat yang dulu banyak dikisahkan adalah tumbuhan sumber kehidupan (dalam keterangan bahasa Arab, dinyatakan dengan hayyul ‘alam), yang dipakai oleh Ablanius, murid dari Aesculapius, sang pendahulu ilmu kedokteran.”
Diceritakan bahwa suatu ketika lengan Ablanius nyeri dan bengkak. Ia meminta seorang pelayannya untuk mengantarnya ke salah satu aliran sungai terdekat. Di sana, mereka memetik suatu tumbuhan, yang daunnya diletakkan ke lengan Ablanius. Rupanya, tumbuhan itu mengurangi nyeri yang dirasakan di lengan Ablanius. Hal itu dilakukan berulang sampai lengannya tidak bengkak lagi dan sembuh.
Kisah terapi Ablanius dengan daun itu menyebar ke masyarakat, dan oleh orang-orang, tanaman itu dinamai tumbuhan sumber kehidupan.
Mendengar kisah itu, ar-Razi terkesan. Agaknya ia kagum bagaimana hanya dari pengetahuan seputar dedaunan, pengobatan bisa begitu berkembang hingga masa hidupnya.
Pada hari lain, ar-Razi berkunjung lagi ke Bimaristan ‘Adudi dan mengetahui kabar bahwa ada seorang anak yang lahir dengan wujud fisik yang aneh. Terdorong oleh rasa penasaran, ia menanyakan perihal itu kepada dokter yang ia kenal. Alih-alih mendapat jawaban mistik, ar-Razi terkesan mendapat jawaban yang menurutnya terasa rasional dari sang dokter – sayangnya tidak dijelaskan bagaimana persoalan anak abnormal itu dijawab.
Hari-hari selanjutnya, ar-Razi kerap menemui dokter-dokter di Bimaristan ‘Adudi untuk berdiskusi soal banyak hal. Semakin banyak pengetahuan dan hal menarik ia dapatkan dari para dokter. Didorong kekaguman akan kehebatan ilmu kedokteran, ia memutuskan untuk menekuni ilmu tersebut.
Ibnu Abi Usaibiah menyatakan dalam ‘Uyunul Anba’ fi Thabaqatil Athibba’ – sebagaimana dinyatakan juga oleh dokter-dokter semasa lainnya – bahwa ar-Razi adalah “Galen-nya bangsa Arab”. Untuk diketahui, Galen adalah salah satu “mahaguru ilmu kedokteran”, murid dari Hippokrates. Julukan untuk ar-Razi itu dikarenakan pengaruhnya yang begitu besar pada ilmu kedokteran era Islam klasik, baik pada era tersebut dan sekian masa setelahnya.
Nah, apa motivasi belajar Anda?