Kisah Ibnu Sina Mencari Karya al-Farabi

Kisah Ibnu Sina Mencari Karya al-Farabi

Karena mengagumi al-Farabi, Ibnu Sina berusaha keras untuk belajar filsfat.

Kisah Ibnu Sina Mencari Karya al-Farabi
Ilustrasi: @artsgaf/alwy (islamidotco)

Nama Ibnu Sina dikenal sebagai sosok ilmuwan besar kedokteran dalam sejarah Islam. Ia merupakan sosok yang sangat berpengaruh dalam peletakan dasar ilmu kedokteran saat ini. Nama lengkapnya adalah Abû ′Alî al-Husayn bin ′Abdullâh bin Sînâ. Banyak sekali karya tulisnya yang hingga saat ini menjadi rujukan utama. Diantara karya cemerlang Ibnu Sina adalah ″The Book of Healing dan Qanûn fî al Tibb″ (Peraturan tentang Pengobatan) atau ″The Canon of Medicine″

Selain dikenal sebagai pakar kedokteran, ia juga punya minat dan ketertarikan pada bidang filsafat. Semasa muda ia sangat mengidolakan al-Farabi; seorang filsuf muslim kenamaan.

Jika dilihat dari historiografi keduanya, sebenarnya Ibnu Sina Sendiri tidak pernah menjumpai al-Farabi. Karena memang mereka berdua tidak pernah bertemu dalam satu masa. Al-Farabi tercatat wafat tahun 339 H/950 M. Sedangkan Ibnu Sina baru lahir pada tahun 370 H/980 M. Artinya mereka berdua terpaut 30 tahun.

Akan tetapi mungkin karena akses informasi saat itu masih belum secanggih dan seefisien sekarang. Informasi kewafatan al-Farabi mungkin belum sampai kepadanya. Ia hanya mendengar kabar kebesaran ilmu dan pengaruhnya.

Oleh sebab itu ketika muda, Ibnu Sina pernah bersikeras untuk mencari al-Farabi untuk dijadikan sebagai guru. Namun sayangnya, karena memang pada saat itu al-Farabi sudah meninggal dunia, Ibnu Sina pun tidak pernah bertemu dengan sosok besar itu. Penyesalan itu pernah diabadikan oleh al-Shafadi dalam al-Wafi bi al-Wafiyyat:

وقال ابن سينا سافرت في طلب الشيخ أبي نصر وما وجدته وليتني وجدته فكانت حصلت إفادة

“Saya sudah berkeliling mencari keberadaan Syekh Abu Nashr al-Farabi namun tidak pernah kutemukan. Andai saja aku dapat menemuinya, pasti aku akan mendapat banyak sekali faidah”

Walaupun pada akhirnya  ia tidak bisa bertemu dan sowan kepada al-farabi, rupanya Ibnu Sina punya keinginan lain untuk tetap mendalami ilmu sebagaimana yang ditekuni oleh al-Farabi; filsafat.

Pada mulanya, ia ingin mendalami kitab metafisik karangan Aristo. Ia kebetulan membaca karya Aristo tersebut dalam versi Arabnya berjudul Ma Ba’da al-Thabi’ah atau yang biasa dikenal dengan buku metafisik. Sebagaimana diketahui konon kitab tersebut adalah buku pertama yang berbicara mengenai metafisika. Ibnu Sina tampaknya sangat terobsesi dengan buku babon itu.

Namun setelah ia baca berulang-ulang ia masih belum mampu menemukan inti dari apa yang ia baca. Ia pun mengulangi bacaan kitab tersebut hingga 40 kali. Namun sampai bilangan empat puluh pun, satu kalimat pun ia masih belum paham.

Akhirnya ia pun merasa putus asa.

“Percuma aku membaca buku ini, toh tidak akan menemukan inti sarinya.” Keluhnya kesal.

Ia pun memutuskan untuk menenangkan pikirannya. Setelah menunaikan shalat ashar,  Ia pun berjalan menyusuri kota tempat tinggalnya. Menjemput senja. Dalam perjalanan tersebut, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang penjual buku yang kelihatan bersemangat menjual bukunya. Entah karena belum ada pelaris atau memang karakternya. Tiba-tiba saja penjual buku tersebut langsung menyodorkan sebuah buku kepada Ibnu Sina, tanpa konfirmasi.

Merasa tidak nyaman, Ibnu Sina pun langsung mengembalikan buku tersebut. Ia tidak sedang ingin membeli buku atau kitab, pikirnya.

Tak berhenti, sang penjual kemudian berkata:

“Tuan, tolong belilah buku ini tuan” Pintanya agak merendah.

“Tiga dirham saja, silahkan diambil buku ini”

Merasa kasihan akhirnya Ibnu Sina membeli buku itu. Setelah dibuka. Tanpa ia sangka buku tersebut adalah buku karangan Ibnu Nashr al-Farabi, sosok yang selama ini ia cari. Kebetulan buku itu juga merupakan penjelasan dan telaah kritis dari buku Metafisik milik Aristoteles. Klop sudah.

Ibnu Sina bergegas pulang ke rumah dan segera membaca semua isi buku tersebut. Akhirnya, Ibnu Sina pun bisa mendapatkan pencerahan atas buku metafisika tersebut. Ia pun merasa lega, setelah hampir 40 kali ia membaca buku induk itu, akhirnya ia bisa mendapatkan pemahaman berkat buku milik al-Farabi tersebut.

Sebagai simbol perasaan syukur dan bahagianya, Ibnu Sina pun kemudian memberikan sedekah dalam jumlah yang sangat besar kepada orang-orang fakir sekitarnya. (AN)