Ki Poespodihardjo, salah seorang pengkaji Kawruh Jiwa yang hidup sezaman dengan Ki Ageng Suryomentaram, menulis artikel yang berjudul Jampi Mlarat (Obat Miskin) di majalah Dudu Kowe.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Kawruh Jiwa adalah istilah rangkuman pengetahuan yang diwariskan oleh Ki Ageng Suryomentaram, salah seorang putra Sultan Hamengku Buwana VII yang bertahta di Yogyakarta. Adapun majalah Dudu Kowe merupakan media cetak yang digunakan untuk menyebarkan Kawruh Jiwa tersebut.
Menurut Ki Poespo, miskin adalah perasaan selalu merasa kurang. Sedang penyebab kemiskinan merupakan rancunya atau bahkan matinya pikiran yang berfungsi untuk memikirkan kebutuhan hidup (pikiran panggesangan). Adapun penyebab matinya pikiran panggesangan tadi adalah karena dilanda perasaan susah dan senang yang tidak sebagaimana mestinya. Karena itu yang dapat menjadi obat miskin adalah menghidupkannya.
Setiap orang hidup, normalnya akan berupaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sesuai dengan kemampuan dan harapannya. Karena itu pendapatannya juga berbeda-beda, ada yang banyak ada pula yang sedikit, sehingga ada yang menjadi orang kaya, ada yang sekedar cukup, dan ada yang miskin.
Yang menjadi kaya, terjadi karena pikiran panggesangan-nya bisa mengelola pengeluaran hingga berlebih (turah). Artinya jika kebutuhan harian seseorang telah tercukupi dan ia masih memiliki kelebihan, maka ia bisa disebut kaya. Demikian pula yang sekedar cukup dan yang miskin. Jika pikiran panggesangan dalam mengelola pengeluaran harian tidak kurang berarti cukup, dan jika belum cukup berarti miskin.
Menghidupkan pikiran panggesangan
Pertama-tama kita mesti menyadari bahwa kebutuhan pokok dalam hidup adalah makan terasa enak dan tidur bisa nyenyak. Nah, ketika kita sadar bahwa kebutuhan pokok kita adalah makan terasa enak dan tidur bisa nyenyak, tentunya penghasilan yang kita perlukan juga tidak seberapa besar bukan? Ya, jika kita makan hanya sekedar untuk menghilangkan rasa lapar pasti terasa enak, apa pun yang kita makan. Begitu pula jika kita tidur setelah benar-benar mengantuk, pasti bisa nyenyak, walau beralas apa saja dan di mana tempat.
Lalu kita juga mesti menyadari bahwa kebutuhan kita yang pokok dalam hal berpakaian adalah melindungi badan dari cuaca di luar dan menutupi bagian dari tubuh yang tidak pantas dilihat orang lain. Begitu juga terhadap tempat tinggal juga kita sadari bahwa yang pokok darinya adalah sebagai tempat berteduh, berlindung dari panas dan hujan, dan sebagai tempat untuk menyimpan barang-barang yang kita butuhkan.
Setelah menyadari kebutuhan kita yang paling pokok tersebut, maka pikiran panggesangan harus dibekali pengetahuan yang cukup terhadap berbagai hal yang membuat kita merasa tidak nyaman jika dilakukan.
Contoh, misalnya kita butuh uang Rp 1.000.000, buat beli pakaian Rp 500.000 dan untuk bayar pinjaman ke teman Rp 500.000, padahal uang yang ada di dompet baru ada Rp 400.000. Daripada nanggung, pikir kita, ya sudah kita pakai taruhan di meja judi saja, kali aja bisa menang. Jika kalah, toh meskipun belum jadi beli pakaian baru juga tidak akan telanjang ini, dan kalau pun teman akan ngedumel atau marah-marah karena janji yang tidak kita tepati, hal seperti itu kan sudah biasa.
Contoh lainnya, punya uang yang cukup untuk bayar utang, tapi kuatir kebutuhan untuk keluarga tidak terpenuhi. Mau dibelanjakan kuatir ditagih utang, daripada puyeng uang yang ada dipakai untuk bersenang-senang saja. Kalau diomelin oleh yang nagih utang nanti, kan sudah terbiasa. Begitu juga jika keluarga pada ribut juga bukan hal yang aneh. Bahkan jika yang nagih utang melaporkan ke polisi, ya siap saja.
Kedua buah contoh dari Ki Poespo di atas bisa kita perluas ke dalam hal-hal yang lebih kompleks, dan semua bergantung kepada sikap kita. Jika pikiran panggesangan kita hidup, maka kita tentu tidak akan melakukan hal-hal yang bodoh yang membuat batin kita di dalam menjalani kehidupan sehari-hari tidak tenteram. Begitulah caranya menghilangkan penyakit kemiskinan di dalam diri, yaitu membangkitkan kesadaran untuk senantiasa berpikir secara konstruktif dan terukur dalam setiap tindakan.
“Mlarat ya kuat, sugih ya kuat, sami-sami kuat inggih pilih sugih. Mlarat ora matiri lan ora menginake, sugih ya ora matiri tur ora menginake, inggih meksa pilih sugih.” (Kita kuat menanggung miskin, menjadi kaya juga kuat, karena sama-sama kuat ya mendingan kita menjadi kaya saja. Menjadi miskin bukanlah sesuatu yang perlu kita takuti dan tidak kita ingini, begitu juga menjadi kaya juga bukan sesuatu yang kita kuatirkan dan tak kita harapkan, mengapa kita tidak memilih menjadi kaya saja?!)
Begitulah, kaya atau miskin sesungguhnya adalah pilihan. Seseorang bisa saja menjadi kaya raya meskipun punya hutang di sana-sini dan tak perlu korupsi, apalagi sampai berbuat culas terhadap orang-orang terdekatnya. Sebaliknya, orang yang hartanya melimpah ruah juga bisa sangat miskin, bahkan penyakit miskinnya tak kunjung bisa tersembuhkan.
“Mila makaten jalaran karep punika langgeng nungsang-jempalik, langgeng meri-pambegan, langgeng getun-sumelang.” (Akan senantiasa seperti itu karena keinginan dalam diri manusia akan selalu bergolak mengombang-ambingkan, di antara perasaan iri atau sombong, dan di antara penyesalan atau kecemasan).
Wallahu a’lamu bishshawaab.