Azab Seorang Raja yang Merobohkan Gubuk Nenek Miskin

Azab Seorang Raja yang Merobohkan Gubuk Nenek Miskin

Azab Seorang Raja yang Merobohkan Gubuk Nenek Miskin

Dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat min Qashash ash-Shalihin wa Nawadir az-Zahidin karya Ibnul Jauzi, sebagaimana diceritakan oleh Abdul mun’im yang bersumber dari ayahnya yaitu Wahab, dikisahkan bahwa ada seorang raja yang membangun sebuah istana yang tinggi dan sangat mewah di tanahnya.

Di sisi lain, ada seorang nenek muslimah yang datang dan membangun sebuah gubuk untuk beribadah kepada Allah Swt. Tetapi, gubuk yang dibangun oleh nenek tersebut berada di luar kawasan istana sang raja yang mewah itu.

Hingga suatu hari, sang raja berkeliling halaman istana dan melihat gubuk nenek tersebut. Sang raja yang melihat gubuk itu lalu berkata, “apa ini?

Ini adalah tempat tinggal seorang perempuan“, jawab seseorang kepada raja.

Mendengar hal tersebut, sang raja lantas menyuruh untuk merobohkan gubuk sang nenek. Akan tetapi, saat gubuk dirobohkan sang nenek muslimah kebetulan sedang tidak ada di situ.

Setelah gubuk berhasil dirobohkan, datanglah sang nenek. Ia melihat gubuknya telah rata dengan tanah, lalu berkata, “”siapa yang merobohkan gubuk ini?

Orang-orang yang mendengar perkataan nenek tersebut lalu menjawab, “tadi sang raja lewat, dan melihat gubukmu tersebut. Lantas, sang raja menyuruh untuk merobohkan gubukmu tersebut.

Mendengar jawaban orang-orang tersebut, sang nenek lalu mengadahkan tangannya ke langit sambil berucap;

 يا رب أنا لم أكن، فأنت أين كنت

Artinya; Wahai Tuhan, tadi saya sedang tidak ada, tetapi Engkau selalu ada dan mengetahui apa yg terjadi.

Tidak lama kemudian, Allah Swt memerintahkan Malaikat Jibril untuk meruntuhkan istana mewah yang dibangun oleh sang raja, termasuk menimpakannya kepada semua orang yg ada di dalamnya.

Dari kisah di atas, kita bisa mengambil hikmah bahwa menjadi seorang pemimpin itu tidak boleh berbuat dzalim dan seenak kemauannya sendiri. Begitu juga tidak boleh melakukan perbuatan yang hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebagaimana sebuah hadis yang menjelaskan bahwa seorang raja atau pemimpin, dilarang untuk mengambil tanah milik orang lain dengan kezaliman, yaitu hadis hadis Rasulullah Saw;

من ظلم من الأرض شيئاً طُوِّقَه من سبع أرضين

Artinya; Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapisan bumi. (HR. Bukhari).

Dan seorang pemimpin yang dzalim serta semena-mena, suka merampas hak rakyatnya yang bukan untuk kepentingan umum tentu akan mendapat laknat dari Allah Swt baik di dunia maupun akhirat. Sebagaimana firman Allah Swt:

يَقْدُمُ قَوْمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَوْرَدَهُمُ النَّارَ وَبِئْسَ الْوِرْدُ الْمَوْرُودُ .وَأَتْبَعُوا فِي هَذِهِ لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ بِئْسَ الرِّفْدُ الْمَرْفُودُ {هود [١١] : ٩٨-٩٩

Artinya; Ia (para pemimpin zalim dan melakukan kesemena-menaan) berjalan di muka kaumnya di hari kiamat lalu memasukkan mereka (para pengikutnya) ke dalam neraka. Neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi. Dan mereka (pemimpin dan pengikutnya yang melakukan kezaliman dan kesemena-menaan) selalu diikuti dengan kutukan (laknat) di dunia ini dan (begitu pula laknat) di hari kiamat. La’nat itu seburuk-buruk pemberian yang diberikan.” (QS. Hud [11] : 98-99)

Bahkan Rasulullah Saw pernah menjelaskan bahwa ada dua golongan yang tidak mendapat syafa’at beliau ketika di akhirat nanti: pemimpin zhalim dan melakukan atau merampas hak rakyatnya dengan kesemena-menaan. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw;

 صنفاني من أمتي لن تنالهما شفاعتي، إمام ظلوم وكل غال مارق. رواه الطبراني ، إسناده ثقات

Artinya; Ada dua golongan dari umatku, selamanya mereka tidak akan mendapatkan kelak akan syafa’atku, mereka itu adalah para pemimpin zalim yang melakukan kesemena-menaan, dan siapa saja orang-orang (ahli agama) yang memiliki sifat ghulu (Tasyaddud atau keras dengan mudah untuk mengkafirkan orang lain yang tidak sependapat dengannya)” (HR. At-Thabrani)

Tidak selayaknya seorang pemimpin berbuat semena-mena kepada rakyatnya, apalagi kepada rakyat miskin. Dan seorang pemimpin dalam melakukan sesuatu atau membuat sebuah kebijakan harus harus berorientasi untuk kemaslahatan rakyatnya, yaitu rakyat secara keseluruhan. Bukan yang hanya mendukungnya saja, atau kelompoknya.