Miskin dan Kelaparan, Sahabat Nabi Ini Justru Jadi Perawi Hadis Terbanyak

Miskin dan Kelaparan, Sahabat Nabi Ini Justru Jadi Perawi Hadis Terbanyak

Bagaimana jika ia orang kaya dan sibuk dengan pekerjaanya, pasti ia tidak akan jadi perawi hadis terbanyak.

Miskin dan Kelaparan, Sahabat Nabi Ini Justru Jadi Perawi Hadis Terbanyak
Ilustrasi (Shutterstock)

Nasib memang tidak ada yang tahu,” begitulah kata pepatah, cocok sekali dengan sebuah keberuntungan yang didapatkan salah satu sahabat nabi, Abu Hurairah. Ia menjadi perawi hadis terbanyak dari golongan sahabat.

Abu Hurairah tercatat meriwayatkan hadis sebanyak 5374 hadis. Setelahnya ada Abdullah bin Umar yang jumlah hadisnya 50% lebih sedikit dari riwayat Abu Hurairah, yaitu 2630 hadis. Disusul Anas bin Malik, Aisyah, lalu Abdullah bin Abbas, barulah para sahabat yang lain. Baca juga: Meninjau Sedikitnya Ulama Perempuan Lewat Sejarah Periwayatan Hadis

Sebagai orang yang masuk Islam agak belakangan, penyematan gelar sebagai perawi hadis terbanyak dari golongan sahabat menuai kritik dari beberapa akademisi. Pasalnya, sebagai orang yang baru kenal dengan nabi, tidak mungkin lebih banyak hadis yang ia riwayatkan dari pada para sahabat yang sejak lama telah mengenal nabi, seperti Abu Bakar dan Ali, misalnya.

Sejatinya kritik seperti demikian tak perlu dipermasalahkan sedemikian rupa. Dalam ranah akademis, saling kritik adalah hal yang wajar. Tinggal dibantah dengan argumen yang berdasar serta otoritatif saja. Toh, hal seperti ini justru dapat mengembangkan wawasan kita terkait keilmuan tersebut.

Kritik kepada Abu Hurairah ini bisa jadi benar, namun kritik tersebut sebenarnya bisa dibantah begitu saja. Bahkan Abu Hurairah secara langsung yang menjelaskan alasan ia bisa mendapatkan begitu banyak hadis dari Rasulullah, mengalahkan para sahabat sepuh yang telah lama mengenal nabi.

Dalam Shafahat min Shabril Ulama karya Abdul Fattah Abu Ghuddah, dijelaskan alasan yang penulis maksud di atas. Sebab-musabab yang disampaikan Abu Hurairah cukup mencengangkan kita. Karena ternyata sebab tersebut mungkin pernah dirasakan para pembaca sekalian, bahkan sebab atau alasan tersebut bisa dikatakan hal yang sangat tidak kita sukai, yaitu kelaparan dan kemiskinan.

Jika kita baca sejarah Abu Hurairah, kita akan menemukan bahwa Abu Hurairah bukanlah pribumi Madinah. Ia berasal dari suku Daus. Suku yang jaraknya jauh dari kota Madinah. Di kota Nabi, ia tinggal di pojokan masjid, yang biasa disebut shuffah. Oleh karena itu, Abu Hurairah dan orang-orang yang senasib dengannya dijuluki sebagai Ahlus Shuffah.

Salah satu pengakuan Abu Hurairah yang dikutip dalam  Shafahat min Shabril Ulama karya Abdul Fattah Abu Ghuddah adalah sebagai berikut:

إن إخواننا من المهاجرين كان يسغلهم الصفق بالأسواق. وإن إخواننا من الأنصار يسغلهم العمل في أموالهم. وإن أبا هريرة كان يلزم رسول الله صلى الله عليه وسلم لشبع بطنه ويخضر مالا يخضرون ويخفظ ما لا يخفظون

Sesungguhnya para saudara dari kaum Muhajirin sangat sibuk dengan urusan perdagangan mereka di pasar. Para kaum Anshar sibuk mengurus harta benda mereka. Sedangkan Abu Hurairah selalu bersama Nabi karena perutnya lapar. Ia hadir di majelis yang tidak dapat dihadiri Muhajirin dan Anshar (karena kesibukan mereka) dan hafal (hadis) yang tidak dihafalkan Muhajirin dan Anshar.

Dengan pengakuan tersebut, otomatis terbantah kritik para akademisi yang meragukan kesahihan hadis Abu Hurairah karena perkenalannya dengan nabi yang tidak selama para sahabat lain. Keikutsertaan Abu Hurairah dalam setiap kegiatan nabi membuatnya menghafal seluruh gerak-gerik nabi walaupun tidak lama dari pada para sahabat yang sudah lama kenal namun jarang membersamai nabi.

Pengakuan Abu Hurairah sebagai perawi hadis terbanyak di atas menunjukkan bahwa tidak setiap kelaparan dan kemiskinan adalah penderitaan. Buktinya, dengan adanya sahabat miskin dan tak bisa makan seperti Abu Hurairah, hadis nabi bisa sampai pada kita seperti sekarang. Bahkan Ibnu Hajar memberikan komentar atas pengakuan Abu Hurairah bahwa jika kita ingin mudah belajar ilmu, maka sedikitkanlah urusan duniawi. (AN)

Wallahu a’lam.