Keberadaan bangsa Mongol di Baghdad menyisakan pilu yang berkepanjangan. Dunia Islam seperti menemukan masa akhirnya. Ibukota yang merupakan simbol pencapaian terbaik dalam sejarah panjang umat Islam terkoyak oleh serangan pasukan berkuda dari Asia Tengah.
Kebakaran bukan hanya melanda bangunan fisik semata, namun ikut pula menghanguskan harapan serta cita-cita masyarakat Baghdad. Badai serangan bangsa Mongol menghempaskan kota ini hingga sampai pada titik nadirnya. Berbagai dampak negatif mulai datang setelah beberapa waktu setelah jatuhnya kota ini.
Dampak Politik
Kondisi perpolitikan pasca serangan bangsa Mongol dengan cepat berubah. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, munculnya bangsa Mongol sebagai kekuatan baru benar-benar menjadi ancaman serius bagi negeri-negeri Islam lainnya.
Serangkaian penaklukan yang telah dimulai sejak masa Jengis Khan hingga cucunya Hulagu Khan telah mengacaukan alunan ritme kepemimpinan kerajaan-kerajaan Islam. Puncaknya, pada 1258, ketika Baghdad ditaklukkan, kondisi perpolitikan Islam yang semula memang telah terpecah, menjadi kian terpisah disertai dengan ketakutan yang sangat.
Namun begitu, di balik setiap kejatuhan tentunya akan timbul suatu kebangkitan. Di tengah haru biru kengerian masyarakat Islam di belahan dunia Arab dan sekitarnya, muncul fenomena politik yang tergolong baru, utamanya menyangkut siapa subyeknya.
Kejatuhan Baghdad benar-benar menjadi bukti bahwa bangsa Mongol memiliki DNA untuk menjadi penguasa peradaban Islam serta pemimpin Muslim di dunia. Dikatakan demikian oleh karena terlepas dari kekejaman yang ditimbulkannya, mereka telah berhasil menghempaskan kekuatan-kekuatan bangsa yang sejak lama dikenal sebagai pengawal keberlangsungan peradaban Islam di kancah global.
Dampak Sosial
Kedatangan bangsa Mongol ke Baghdad merupakan petaka besar dalam sejarah Islam. Pembantaian-pembantaian yang terjadi menjadi pemandangan yang amat memilukan. Hampir di setiap jalan-jalan kota dipenuhi dengan mayat.
Ibarat gerombolan serigala lapar, bangsa Mongol berlarian mengejar penduduk kota dengan berbekal pedang dan senjata pembunuh lainnya. Jerit ketakutan mewarnai langit kota, saling sahut menyahut sungguh memilukan.
Mereka yang mati bukan hanya karena terkena sayatan pedang atau hujaman panah, melainkan banyak pula yang mati dengan cara lainnya, seperti ditenggelamkan. Ada sebagian penduduk yang setelah ditangkap oleh pasukan Mongol, kemudian digiring ke sungai Tigris lalu ditenggelamkan.
Jumlah korban yang tercatat dalam sejarah sampai pada kisaran 800.000 orang. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak meregang nyawa di jalanan maupun di rumah. Pembakaran terjadi di mana-mana, sehingga membuat aktivitas kota lumpuh total. Begitu mengetahui kota ini telah porak poranda, barulah pembunuhan dihentikan. Pasukan Hulagu bersiap untuk melanjutkan ekspedisinya.
Pembunuhan yang seakan tiada berujung itu ikut pula membawa dampak buruk bagi perekonomian kota ini. Baghdad selain dikenal sebagai ibukota umat Islam, sekaligus simbol peradaban Islam, juga diperkaya dengan sektor industrinya. Kota ini memiliki 400 buah kincir air, 4.000 pabrik gelas dan 30.000 kilang keramik.
Selain itu, di kota ini juga berdiri industri barang-barang mewah (lux). Kota ini juga dipenuhi dengan aneka ragam pasar seperti pasar besi, pasar kayu jati, pasar keramik, pasar tekstil, dan sebagainya.
Serbuan bangsa Mongol membuat sektor pengiriman barang dari dan ke Baghdad menjadi lumpuh. Dengan tidak adanya aktivitas ini, dapat dipastikan kehidupan ekonomi masyarakat Baghdad telah hancur lebur. Pasar-pasar juga bisa dipastikan sepi, mengingat banyak orang yang menjadi korban.
Langkanya sumber penghasilan ikut pula membawa masyarakat Dinasti Abbasiyah yang masih tersisa mengalami masa-masa ekonomi sulit, yang artinya mereka juga kehilangan kesejahteraan sosial.
Posisi Baghdad yang merupakan jalur penting dalam peta perdagangan Cina-Mediterania kehilangan masa keemasannya. Bahkan, dalam perdagangan di Samudera Hindia, Dinasti Abbasiyah sebelumnya dikenal memiliki hubungan erat dalam aktivitas perdagangan maritim dengan Cina, pasca serbuan bangsa Mongol, daerah-daerah di Irak dan Iran amat lambat dalam mengejar ketertinggalannya.
Akibatnya, posisi Baghdad sebagai titik penting jalur dagang kemudian diambil alih oleh daerah Muslim lainnya. Sebagai gantinya, dikenallah tiga pusat kekuatan dagang dunia yakni Eropa-India-Cina. Kiblat perdagangan Muslim dunia dengan kata lain digantikan oleh India.
Dampak Peradaban
Baghdad bukan hanya memiliki arti sebagai pusat pemerintahan Islam, melainkan juga sebagai salah satu wajah peradaban Islam tertinggi. Baghdad merupakan Ctesiphon baru yang dikemas melalui peradaban Islam yang panjang. Ctesiphon merupakan ibukota Persia kuno yang amat terkenal sejak masa pra Islam.
Perpindahan kekuasaan kerajaan Persia ke tangan umat Islam tidak lantas memudarkan pesona Persia yang dahulu kala menjadi penantang utama peradaban Yunani kuno.
J. Saunders mengungkapkan bahwa Baghdad merupakan kiblat kehidupan intelektual bangsa Arab. Kota ini tidak ubahnya rumah kuno kebudayaan sejak peradaban Sumeria kuno.
Kota ini juga merupakan titik pertemuan kebudayaan Hellenis (Yunani) dengan Persia. Di kota ini hidup berbagai penganut kepercayaan dengan rukun. Beberapa kepercayaan yang tumbuh subur di Baghdad selain Islam antara lain Yahudi, Zoroaster, Nestorian, Monofisit, Kristen Ortodoks Yunani, Gnostik, Manichean, penganut pagan Harran dan sekte Mandaean.
Selain dikenal sebagai rumah besar lintas kepercayaan, Baghdad juga dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang terkemuka. Keberadaannya ditopang oleh kota setelit Basrah dan Kufah yang kala itu dikenal sebagai pusat kajian filologi (studi naskah) Arab dan hukum Islam (fiqih).
Adalah al-Ma’mun, khalifah Dinasti Abbasiyah yang membangun dan mengembangkan pusat riset besar Baitul Hikmah. Dalam komplek ini bukan hanya ditemukan observatorium, melainkan dilengkapi pula dengan perpustakaan dan universitas.
Manusia dari berbagai ras dan kepercayaan membanjiri Baghdad untuk melanjutkan studinya. Hal ini semakin menandaskan Baghdad sebagai kotanya para sarjana dan gelar ini terus disandangnya hingga kota ini luluh lantak oleh serangan bangsa Mongol.
Jatuhnya Baghdad merupakan pukulan telak bagi perkembangan peradaban Islam. Serangan yang bertubi-tubi disertai pembunuhan yang banyak dilakukan sudah barang tentu membuat aktivitas keilmuan lumpuh. Mandegnya roda intelektual di kota ini sudah tentu menjadi gangguan serta ancaman bagi keberlangsungan peradaban Islam. Banyak para sarjana dan guru-gurunya menemui ajal di bawah pedang bangsa Mongol.
Banyak buku-buku yang menjadi simbol kemajuan peradaban Islam kala itu dirusak. Sebagian yang lainnya dibuang di sungai Tigris. Pengetahuan-pengetahuan yang dipelihara dari masa ke masa, melalui catatan serta buku-buku yang tersimpan di Baitul Hikmah hilang selamanya. Benda-benda bersejarah dari peradaban Mesopotamia, Persia, dan Arab dijarah dan menghilang dari tempat penyimpanan. Apa yang dilakukan Mongol bukan hanya pembantaian, tetapi juga upaya menghapus Baghdad dari peta peradaban umat manusia.
Bangunan-bangunan yang merupakan simbol kemegahan peradaban Islam pun tidak luput dari penghancuran. Baghdad yang menjadi pusat peradaban dunia abad ke-13 sebelumnya banyak dipenuhi oleh bangunan-bangunan indah dan megah.
Di kota ini terdapat beberapa istana raja yang mengagumkan sekaligus menjadi ikon kemajuan peradaban pada masanya. Khalifah al-Mansur membangun istana di pusat kota bernama Qashr al-Zahab (istana emas) yang luasnya mencapai 160.000 hasta. Sedangkan masjid jami’ yang dibangun di depannya seluas 40.000 hasta persegi.
Kota ini dikelilingi pagar bertembok kokoh yang kuat lagi tinggi. Terdapat empat pintu masuk pada empat penjuru. Kota ini dilengkapi pula dengan taman-taman bunga, kolam pemandian, ribuan masjid dan tempat rekreasi.
Serangan ini tentu amat merugikan dan dianggap sebagai kemunduran masa kejayaan Islam. Baghdad, di atas segala bentuk intrik politiknya, merupakan kota indah yang senantiasa dibanggakan sebagai wadah peradaban umat manusia. Penghancuran-penghancuran atas bangunan-bangunan megah Baghdad mengakibatkan kerugian tersendiri bagi umat Islam di belahan dunia manapun.