Relasi Islam & Kristen di Abad Pertengahan: Sebuah Upaya Hidup Bersama dalam Damai

Relasi Islam & Kristen di Abad Pertengahan: Sebuah Upaya Hidup Bersama dalam Damai

Relasi Islam & Kristen di Abad Pertengahan: Sebuah Upaya Hidup Bersama dalam Damai
Setiap pemeluk agama harus dijamin kebebasan beragamanya.

George Makdisi, seorang ahli sejarah, dalam bukunya, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, menulis tentang berbagai macam bentuk pengaruh Islam terhadap tradisi Kristen di Barat. Sebelum beranjak lebih jauh, di akhir tulisan ini, terdapat sebuah statemen penting yang akan membantu kita merefleksikan bagaimana sebenarnya relasi kita, umat Islam, terhadap umat Kristen hingga saat ini.

Kembali ke catatan Maqdisi, bahwa pengaruh Islam tampak dalam beberapa hal. Ia memberikan sejumlah contoh, misalnya pemahaman kita saat ini bahwa profesor adalah orang yang memegang ‘kursi’ suatu disiplin ilmu tertentu. Konsep ini jelas-jelas mengacu pada pola pengajaran Islam tradisional yaitu seorang yang dianggap pakar duduk di atas kursi dan para murid duduk mengelilinginya. Hal kemudian melahirkan istilah lingkaran akademik (academic circle), karena mahasiswa duduk melingkari profesor.

Istilah-istilah seperti memiliki ‘murid’ (fellow), ‘membaca’ suatu subjek, dan mendapat ‘ijazah’ berasal dari konsep Islam. Praktik-praktik akademis seperti pidato pengukuhan, pemakaian toga, pencapaian gelar doktor setelah mempertahankan tesis, dan bahkan gagasan seperti kebebasan akademik juga dicontoh dari tradisi Islam.

Aspek lain dari tradisi Eropa Barat Abad Pertengahan yang sangat diwarnai oleh pengaruh Islam adalah kebangkitan intelektual yang masif yang berawal pada abad kedua belas. Melalui Spanyol, Eropa Barat kemudian bisa mengetahui kembali karya-karya Aristoteles dan kontribusi filosofis para pemikir besar Islam semacam al-Farabi (870-950 M), Ibn Sina (979-1037 M), dan Ibn Rusyd (1126-1198 M).

Gejola kebangkitan intelektual di seluruh Eropa itu terutama dimulai pada saat terjadi penerjemahan besar-besaran di Spanyol oleh tokoh-tokoh semacam Yohannes dari Sevilla dan Dominikus Gundisalvus antara 1130 dan 1153 M, Gerardo dari Cremona antara 1160 dan 1187 M, dan Markus dari Toledo antara 1200 dan 1230 M.

Menariknya, di tengah gejolak perang salib yang masih berkobar, ‘perang’ lainnya juga terjadi di ranah kajian intelektual. Tensi pola pikir ini terjadi antara gagasan Ibn Rusyd dan seorang teolog Kristen terkemuka abad pertengahan, Thomas Aquinas (1225-1274 M). Bisa dikatakan bahwa karya pemikir besar Islan yang relatif kontroversial dan provokatif adalah karya Ibn Rusyd. Hal ini tidak lepas dari pola pikir Ibn Rusyd yang sangat dipengaruhi oleh Aristoteles. Pernyataan yang memicu kontroversi salah satunya adalah ketika Ibn Rusyd mengungkapkan bahwa filsafat dan akal memiliki otoritas yang setara dengan wahyu dan kitab suci. Sebuah pandangan yang jelas sukar diterima oleh sebagian besar kaum Muslimin.

Namun, tidak hanya oleh kaum Muslimin. Pandangan Ibn Rusyd itu juga ditentang oleh Thomas Aquinas. Uniknya, Aquinas juga mengagumi Aristoteles namun memiliki luaran gagasan yang berbeda dengan Ibn Rusyd. Ia berpendapat bahwa ada alam supranatural di luar penciptaan yang hanya bisa diketahui melalui wahyu dan bukan oleh akal semata. Karena itu, Aquinas menekankan realitas akal manusia, dan keunggulan wahyu atas akal, dan rahmat atas alam. Sampai di sini, terlihat bahwa kebangkitan gagasan-gagasan Kristen muncul akibat dipicu oleh gagasan-gagasan Islam yang telah muncul sebelumnya.

Mengakhiri perbincangan tentang pengaruh tradisi Islam terhadap peradaban Eropa Barat di Abad Pertengahan, Makdisi menyimpulkan;

Dari ‘peminjam’ di Abad Pertengahan, Barat berbalik menjadi ‘pemberi pinjaman’ di zaman modern, dengan meminjamkan kepada Islam apa yang Islam telah lama lupakan sebagai produk yang dulu dikembangkannya sendiri, seperti  sistem universitas yang sebenarnya sarat dengan warna Islam. Dengan demikian, Barat dan Timur bukan hanya telah ‘bertemu’, melainkan juga telah beraksi, bereaksi, dan berinteraksi, baik di masa lalu maupun di masa sekarang dengan saling pengertian dan itikan baik, dan mungkin akan berlanjut di masa depan secara saling menguntungkan.

Pernyataan ini juga sekaligus merupakan bentuk kehati-hatian Makdisi agar pendapatnya tidak terlihat berlebihan dalam mencatat relasi dan pengaruh Islam terhadap peradaban Barat di Abad Pertengahan. Ia juga menambahkan bahwa secara hukum perserikatan, universitas-universitas di Eropa tidak berhutang apa-apa kepada dunia Islam karena konsep semacam itu memang tidak ditemukan dalam hukum Islam. Kata ‘universitas’ yang berarti komunitas atau perserikatan pada dasarnya berkembang dari kolese-kolese yang pertama kali berkembang di Paris dan kemudian berkembang di universitas-universitas seperti Oxford dan Cambridge yang mencontoh tradisi wakaf Islam.

Kolese adalah lembaga pendidikan atau bagian dari sebuah lembaga pendidikan. Kolese dapat berupa sebuah lembaga pendidikan tersier yang berwenang menganugerahkan gelar akademik, dapat pula berupa bagian dari universitas kolegiat atau federal, ataupun sebuah lembaga yang menyediakan pendidikan vokasi. Kolese-kolese inilah yang menunjukkan jejak-jejak nyata pengaruh Islam. Dalam bahasa lain, menurut Makdisi, kolese adalah yang pertama kali mengadopsi tradisi pembelajaran dalam Islam. Dan kolese lah yang mengilhami sistem universitas hingga saat modern. Sekali lagi, pernyataan tersebut merupakan sebuah bentuk kehati-hatian Makdisi dalam membincang pengaruh antara dua tradisi besar dunia di Era Pertengahan tersebut.

Baca Juga, Relasi Islam & Kristen di Abad Pertengahan: Kompromi di Tengah Tegangan Politik Identitas

Terlepas dari semua kekerasan dan pertentangan antara dunia Kristen Barat dan dunia Islam di Abad Pertengahan, pada beberapa tingkatan masih ada interaksi yang lebih positif dan konstruktif. Dan, di berbagai kawasan terdapat pertukaran yang saling menguntungkan. Rekam sejarah ini setidaknya mengajarkan kita bahwa masih ada setitik cahaya di tengah kegelapan. Di satu aspek, Kristen Eropa membingkai Islam dengan stigma-stigma negatif dan provokatif. Namun di aspek yang lain, terjadi interaksi yang lebih romantis antara Islam dan Kristen. Sebuah hubungan yang melahirkan sebuah kerja peradaban baru, di mana satu tradisi saling mempengaruhi dan membentuk tradisi lainnya.

*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT