Relasi Islam & Kristen di Abad Pertengahan: Kompromi di Tengah Tegangan Politik Identitas

Relasi Islam & Kristen di Abad Pertengahan: Kompromi di Tengah Tegangan Politik Identitas

Relasi Islam & Kristen di Abad Pertengahan: Kompromi di Tengah Tegangan Politik Identitas

Narasi-narasi kebencian yang keluar dari Gerakan Kemartiran di Eropa merupakan salah satu pemicu lahirnya perpecahan dua agama besar dunia, perang salib. Propaganda kebencian itu terus diproduksi terutama di abad pertengahan. Mengutip dari tulisan Syamruddin Nasution, peradaban Islam terbagi menjadi tiga, abad klasik (650-1258 M), abad pertengahan (1250-1500 M), dan abad modern (1800-sekarang). Periodisasi itu tidaklah saklek, karena masing-masing tokoh punya argumentasinya sendiri terkait era-era peradaban Islam.

Meski demikian, terjadi sebuah fenomena ‘ironis’ di abad ini. Ketika perang salib sedang berkecamuk di beberapa bagian Eropa, terjadi pula pertukaran intelektual dan kultural antara kaum Muslimin dan kaum Kristen. Di beberapa tempat seperti Spanyol, berlangsung sebuah gerakan seperti yang terjadi di Baghdad pada abad ke kesembilan, yaitu gerakan penerjemahan karya-karya filsafat dan sains agar dapat dijangkau oleh khalayak baru. Bedanya, jika di Baghdad adalah penerjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke bahasa Arab, sementara di Spanyol adalah penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Latin.

Agenda tersebut sekaligus menegaskan kedigdayaan Islam pada abad pertengahan. Hal ini dibuktikan, misalnya, dari buku karya R.W. Southern yang menyajikan perbedaan kemajuan peradaban antara Eropa dan Islam. Southern membedakan dua tokoh terkemuka di masing-masing wilayah, Christian Gerbert (Paus Silvester II) dan Ibn Sina. Sederhananya, di saat Gerbert masih mempelajari pengantar logika Aristoteles serta terjemahan dan ringkasan Boethius tentang aritmatika, musik, geometri, astronomi, Ibnu Sina ketika berusia 16 tahun telah mengkaji karya Prophyry, Geometri Euklid, Ilmu Kedokteran Yunani, aritmetika India, dan hukum Islam.

Southern mengatakan bahwa anak muda bernama Ibn Sina tersebut mempunyai kekayaan yang tak ada bandingannya pada masa itu di Eropa Barat. Sebagai tambahan, Ibn Sina juga menggambarkan keadaan perpustakaan Sultan Bukhara yang memiliki banyak ruangan. Setiap ruangan dikhususkan untuk satu disiplin ilmu. Ada ruangan bahasa, sastra, hukum, logika, kedokteran, dan sebagainya. Southern menambahkan bahwa tidak ada perpustakaan yang sepadan dengan perpustakaan tersebut di Eropa Barat selama hampir setengah milenium, hingga akhir abad pertengahan.

Fakta ini bisa menjadi benang merah munculnya sentimen Barat kepada Islam. Pada tahun 1000 M/ 390 H, Eropa memang sedang mengalami kemunduran dalam bidang intelektual, lemah dan terpecah-pecah dalam bidang politik, dan dari sisi sosial dan ekonomi lebih primitif jika dibandingkan dengan dunia Islam. Kenyataan inilah yang kemudian membentuk pandangan imajinatif yang buruk Kristen Barat mengenai Islam.

Abad kedua belas kemudian datang dan menandai berubahnya stigma-stigma itu. Di antaranya terjadi berkat penyebaran pemikiran Yunani ke Barat melalui dunia Islam. Proses ini berlangsung utamanya di dua tempat, Spanyol dan Sisilia (kawasan otonom Italia). Selama beberapa tahun di Sisilia (1111-1154 M/ 504-549 H), Sisilia menjadi wadah percampuran budaya. Berbagai dokumen resmi kerajaan diterbitkan dalam bahasa Latin, Yunan, dan Arab. Kebudaaan Islam memiliki pengaruh yang cukup penting, seperti yang terlihat bahwa ahli geografis besar Arab, al-Idrisi, bekerja di kerajaan tersebut. Tidak hanya Islam, pengaruh Yunan juga kuat becokol di sana.

Berbeda dengan Sisilia, Spanyol lebih banyak berperan dalam proses penyebaran ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Eropa Barat. Tokoh penerjemah paling penting muncul dari Toledo, Gerardus (1114-1187 M), yang telah menerjemahkan lebih dari delapan puluh karya dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Karya-karya yang diterjemahkan ke bahasa Latin meliputi berbagai bidang disiplin ilmu, seperti filsafat dan logika, ilmu alam, sastra, kedokteran, astronomi, geografi, matematika, fisika, dan politik. Tokoh-tokoh penting Islam juga turut diterjemahkan, seperti karya al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd. Pun dengan karya tokoh-tokoh Yunani, seperti Aristoteles, Ptolemius, Euclid, Galen, dan Hipocrates yang pada akhirnya bisa diakses oleh pembaca Barat.

Hal ini secara garis besar menyimpulkan bahwa dari sisi kelembagaan dan keilmuwan, kebudayaan Islam berpengaruh besar terhadap kebudayaan Eropa pada akhir abad pertengahan. Salah satu contoh konkrit dari aspek kelembagaan adalah ketika warna Islam tampak tercermin dalam pendirian berbagai universitas di Eropa Barat yang dimulai pada abad kedua belas. Universitas di sini dipahami dalam pengertian modern, yaitu sebagai tempat belajar yang menghimpun sejumlah siswa untuk mengkaji berbagai disiplin ilmu di bawah bimbingan sejumlah guru. Bentuk kelembagaan ini secara umum diakui sebagai gagasan yang ditemukan Islam yang merujuk pada pendirian al-Azhar di Kairo pada 969 M/ 358 H.

Lembaga pembelajaran sebelumnya, misalnya yang ada di zaman Yunani Kuno, cenderung berpusat pada satu guru. Dengan demikian, gagasan Islam tentang sebuah lembaga dengan sejumlah fakultas di dalamnya, memberikan kontribusi nyata bagi lahirnya universitas sebagai sebuah institusi pendidikan yang khas, bahkan hingga sekarang. Hal ini juga terlihat dari etimologinya, bahwa kata universitas berasal dari bahasa Latin ‘universitas magistrorum et scholarium’ yang berarti ‘komunitas guru dan akademisi’.

Sebuah kilas sejarah yang menarik bukan?