Memberi nama anak dengan nama yang artinya mengandung kebaikan itu sangat dianjurkan dalam Islam. Kita juga sering kali mendengar salah satu riwayat yang menganjurkan memiliki nama yang mengandung arti yang baik.
“إِنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِكُمْ، فَأَحْسِنُوا أَسْمَاءَكُمْ ” (رواه أحمد)
Di hari kiamat nanti, Anda akan dipanggil dengan nama Anda dan nama-nama nenek moyang Anda. Karena itu, berikan nama yang memiliki arti baik bagi (keturunan) Anda.
Hadis ini memang dhaif, karena salah satu perawi hadis ini yang bernama Abdullah bin Abi Zakariya tidak mendapatkan hadis dari Abu Darda. Dalam ilmu hadis, riwayat seperti ini disebut dengan hadis munqthi’ (hadis yang periwayatannya terputus tidak sampai Rasulullah Saw.).
Namun demikian, sejarah mencatat beberapa kali Nabi merubah nama seseorang yang mengandung arti buruk. Salah satunya adalah nama kakek salah seorang tabiin, Sa’id bin al-Musayyib. Nama kakek Sa’id bin al-Musayyib itu adalah Hazan yang memiliki arti keras kepala.
عَنِ ابْنِ المُسَيِّبِ، عَنْ أَبِيهِ: أَنَّ أَبَاهُ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: «مَا اسْمُكَ» قَالَ: حَزْنٌ، قَالَ: «أَنْتَ سَهْلٌ» قَالَ: لاَ أُغَيِّرُ اسْمًا سَمَّانِيهِ أَبِي قَالَ ابْنُ المُسَيِّبِ: «فَمَا زَالَتِ الحُزُونَةُ فِينَا بَعْدُ» رواه البخاري
Bapak Sa’id, al-Musayyib, pernah bercerita, “Suatu hari kakekmu itu pernah sowan ke Rasulullah Saw.” Rasulullah Saw. menanyakan nama kakek Sa’id, “Siapa namamu?” “Namaku Hazan,” jawab kakek Sa’id. “Namamu Sahal saja,” tawaran Rasulullah mengganti nama Hazan. “Saya tidak mau mengganti nama yang diberakan ayahku,” tolak kakek Sa’id bin al-Musayyib. “Karena kakek namanya tak mau diganti, keluarga kami pun tidak sedikit yang keras kepala,” tutup Sa’id bin al-Musayyib (HR Bukhari).
Sa’id bin al-Musayyib sempat kesal pada kakeknya yang tidak mau merubah nama yang diberikan Nabi Saw. Salah satu anak Sa’id konon terkenal susah dinasihati karena keras kepala. Selain itu, menurut Imam Ibnu Hajar, memberi nama anak sebaiknya secepat mungkin, tidak usah menunggu terlalu lama, apalagi harus menunggu hingga akikah di hari ketujuh kelahiran bayi. Hal ini juga disebutkan dalam salah satu riwayat Abu Musa Al-Asy’ari:
Anak saya (Abu Musa) baru saja dilahirkan. Saya pun langsung mendatangi Nabi (untuk menamakan anak saya). Nabi pun memberikan nama anak saya dengan Ibrahim. Setelah itu Nabi menahnik (mengunyahkan kurma kemudian dimasukkan ke mulut) anakku, dan mendoakannya agar mendapatkan keberkahan (dalam hidup). Ibrahim ini merupakan anak paling tua Abu Musa al-Asy’ari (HR Bukhari).
Dalam pengetahuan penulis, tidak ada satu keterangan pun, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah, yang mewajibkan umat Muslim menamakan anakanya dengan nama-nama Arab. Anjuran Nabi yang tercatat dalam beberapa hadis di atas mengindikasikan bahwa nama yang kita berikan untuk anak itu harus mengandung arti yang baik. Hal ini merupakan doa agar anak di kemudian hari sesuai dengan namanya yang baik itu.
Penulis menduga, mengidentikkan nama anak dengan nama Arab karena menganggap yang berbau Arab itu pasti Islam. Selain itu, kemungkinan juga masyarakat juga menduga bahwa bahasa Arab itu merupakan bahasa surga. Padahal hadis mengenai bahasa Arab itu sebagai bahasa surga itu bermasalah.
Karena itu, pemberian nama anak dengan nama yang mengandung arti baik itu anjuran dari Rasulullah Saw, sekalipun nama itu berasal dari bahasa Jawa atau bahasa daerah lainnya di Nusantara. Sementara itu, nama harus menggunakan nama Arab itu tidak ada dalil khusus yang melarangnya atau menganjurkannya.