Dalam sebuah tulisan di laman pasrtoday.com disebutkan bahwa tokoh komunis, Friedrich Engels pernah menulis pesan kepada Karl Marx. Engels menulis begini, “Selama kamu tidak memahami pemikiran Hafidz az Shirazi, engkau tidak akan bisa mewujudkan pemikiranmu di dunia. Oleh karena itu, saya hari ini mulai belajar bahasa Parsia sehingga bisa lebih baik untuk mempelajari pemikiran Hafidz, dan saya pun menganjurkan supaya kamu mempelajari bahasa ini”.
Sedangkan penyair, penulis, dan pemikir terkemuka Jerman, Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832) menyebutnya sebagai ‘heiligen Bücher’, buku yang berharga. Pemikiran Goethe memang banyak dipengaruhi pemikirannya oleh Hafez. Bahkan ia mempersembahkan karyanya berjudul “West–östlicher Divan”, sajak pujian Barat-Timur. Bahkan karyanya, West–östlicher Divan terinspirasi oleh korespondensi Goethe dengan Marianne von Willemer dan terjemahan puisi Hafidz oleh orientalis Joseph von Hammer.
Hafez adalah penyair sekaligus arif dan sufi besar Iran abad VIII H. atau abad XIV M. Orang menyebutnya dengan Khawajeh Shams al-Din Muhammad. Nama Hafidz yang melekat dalam karena beliau adalah penghafal al-Quran. Dunia mengenal Hafidz karena pengaruh magnet puisinya yang luar biasa. Salah satu khas dari karyanya adalah penjelasan masalah politik dan sosial, serta moralitas dan hikmah di dalamnya. Ia adalah cermin pada zamannya, kata para peneliti.
Kehidupan tentang tokoh yang satu ini memang tidak tergambarkan secara detail. Biografinya hanya didasarkan dari memori kolektif orang-orang Persia atau cerita dari mulut ke mulut. Disebutkan Hafidz lahir sekitar tahun 1320 M di Syraz, sebuah kota indah yang terletak di Persia Selatan. Dilihat dari karyanya, Arthur John Arberry, seorang orientalis Inggris menyebut Hafidz sejak kecil memang telah memiliki bakata potensi sastra yang bagus.
Dibesarkan dari keluarga yang biasa saja namun religius. Hafidz adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya penjual batu bara. Kehidupannya yang tergolong pas-pasan ini kemudian membuat Hafidz berjualan roti untuk membiayai pendidikannya. Puluhan tahun ia belajar al-Qur’an, grammatika Arab, teologi, metafisika, logika, matematika, astronomi, sastra, kaligrafi dan sufisme. Semasa menimba ilmu, ia banyak mempelajari karya-karya dari Sa’di al-Syirazi, Farid al-Din al-Aththar, dan Jalaluddin Rumi. Salah satu keahlian lain yang dimiliki Hafidz adalah seni kaligrafi. Kelihaiannya itu yang yang mengantarkannya Hafidz menjadi salah satu kaligrafer, perancang sketsa, dan penulis naskah profesional pada zamannya.
Beberapa karyanya baik puisi atau prosa menunjukkan kekritisan Hafidz terhadap kekuasaan yang saat itu. Tidak heran kalau ia sering diasingkan dari Syiraz. Puncaknya adalah ketika ia kehilangan anak satu-satunya saat menjalani hukuman pembuangan. Kehilangan anaknya itulah yang memicunya untuk produktif dalam berkarya.
Diantara karyanya adalah Buku Penyanyi (Moganni Nameh); Buku Hafez (Hafez Nameh); Buku Cinta (Uschk Nameh): Buku Tafakur (Tefkir Nameh); Buku Penderitaan (Rendsch Nameh); Buku Hikmah (Hikmet Nameh); Buku Timur (Timur Nameh); Buku Zuleika (Suleika Nameh); Buku Gugatan (Saki Nameh): Buku Perumpamaan (Mathal Nameh): Buku Parsi (Nama Parsi); Buku Surga (Chuld Nameh)
Kini setiap tanggal 20 Mehr yang bertepatan dengan 12 Oktober, di Iran diperingati sebagai Hari Hafidz Shirazi, penyair terkemuka Iran. Di negeri para mullah itu semua pusat pendidikan dan komunitas sastra menggelar pertemuan sastra membahas karya puisinya. Penyair ini wafat pada tahun 1388/1389 M.