Puisi, Sastra dan Harapan: Selamat Ulang Tahun, Pramoedya

Puisi, Sastra dan Harapan: Selamat Ulang Tahun, Pramoedya

Puisi, Sastra dan Harapan: Selamat Ulang Tahun, Pramoedya

John F Kennedy, orang Amerika itu, bersenandung dalam sebuah bait :
“Jika politik itu kotor, puisi yang akan membersihkannya. Jika politik itu bengkok, sastra yang akan meluruskannya”. Puisi dan sastra hadir untuk membasuh rasa, mengasah empati. Mengembalikan fitrah manusia pada kelembutan hati dan kesantunan etika.

Menulis puisi tidak cukup dengan menata kata dan meramu diksi, tetapi yang jauh lebih penting bagaimana puisi itu sanggup menjadi oase nilai di tengah gurun pasir politik yang gersang.

Demikian pula dalam bersastra. Kasusastraan meninggi kualitasnya, menjadi mahakarya peradaban manusia, ketika ia menjadi karya yang abadi yang sarat dengan panduan nilai.

Tengoklah Serat Jayabaya, sebuah puisi sekaligus karya sastra abadi, yang didalamnya manusia dikritik secara sinis dan kemanusiaan ditinggikan. Tengok pula Mahabarata dan Ramayana, dua epos karya sastra yang sarat dengan nilai-nilai etik.

Artinya, ketika politik bersetubuh dengan gurita kebencian dan dendam, itu adalah tanda bahwa zaman sedang memanggil para penyair untuk menulis puisi tentang cinta dan pemaafan. Atau, ketika politik menjauh dari cita-cita awal Republik didirikan, itu adalah hasrat zaman agar lahir sastrawan dan sastrawati yang menulis cerpen, prosa atau roman tentang etika bernegara dan be-republik.

Adalah celaka sebuah bangsa yang politiknya kotor, tetapi tidak lahir dari bangsa itu penyair yang membersihkannya. Adalah celaka sebuah bangsa yang politiknya bengkok, tetapi tidak lahir sastrawan yang meluruskannya.

Lebih celaka, jika puisi dan sastra digubah hanya untuk mencela, menuduh, menyindir dan menyebar fitnah. Politik dalam bangsa itu akan semakin keruh tak bertepi, semakin bengkok sulit diluruskan.

Puisi dan sastra bukan lagi alat untuk memuliakan kemanusiaan; tetapi menjadi alat meneguhkan kekuasaan.

Dan, tentu saja, puisi yang takluk pada politik kekuasaan ia tidak layak disebut puisi; Ia hanyalah propaganda berisi kata manis.

Pun, sastra yang menghamba pada politik kekuasaan juga tak layak disebut karya sastra, ia hanyalah tulisan indah untuk melanggengkan tirani.

Pada akhirnya, menjadi pecinta puisi dan sastra berarti mencintai manusia dan kemanusiaan, mencintai politik kemanusiaan bukan politik kekuasaan.

Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya sastrawan Indonesia yang – sejauh ini – nyaris meraih hadiah Nobel sastra :

“Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tetapi tanpa mencintai sastra, kalian hanya hewan yang pandai”