Dalam manifesto yang disebut sebagai “The Great Replacement”, si teroris yang melakukan tindakan brutal di Selandia Baru pekan lalu membayangkan bahwa migrasi besar-besaran dan efeknya bakal menjadi genosida kulit putih. Karenanya, ia lalu bertekad untuk melawan kaum Muslim demi alasan “menjamin eksistensi kelompok dan masa depan anak-anak kulit putih”.
Tentu saja, manifesto itu hanyalah ekspresi yang berangkat dari sebuah nalar kebencian. Ia tidak lahir dari kesadaran untuk benar-benar memperjuangkan kebenaran sejati.
Akan tetapi, satu hal yang kemudian membuat saya terkejut terheran-heran adalah, si teroris melakukan itu semua dengan persiapan yang saya kira lumayan matang. Bahkan, demi melancarkan misi dehumanisasi itu, ia mengendarai mobil seorang diri dengan sebuah kamera yang siaga di atas kepalanya dan siap mengabadikan laku kriminalnya.
Dengan kata lain, ia melakukan itu memang dengan penuh kesadaran. Bahwa kemudian kesadarannya itu merugikan orang lain bahkan dirinya sendiri itu merupakan soal lain.
Kesadaran ini hampir sama dengan, misalnya, penolakan Iblis yang menolak sujud kepada Adam atas perintah Tuhan. Alquran merekam peristiwa ini di banyak tempat. Salah satunya di bagian awal Q.S. al-Baqarah Juz pertama.
Lepas dari intervensi kekuasaan Tuhan, banyak literatur menyebut apabila Iblis—dengan tingkat intelektualitas yang tidak diragulan lagi–menggugat Sang Pencipta soal eksistensinya sebagai makhluk yang dicipta dari api dan telah beribu-ribu tahun lamanya menyembah Tuhan, sehingga merasa mengapa pula harus sujud kepada sesuatu yang terbuat dari tanah liat.
Ya, lagi-lagi ini memang berkaitan dengan problem eksistensi. Problem di mana suatu kelompok yang telah didominasi oleh prasangka buruk kepada kelompok lain akan merasa paling berhak “berkuasa” dan karenanya menganggap yang berada di luarnya tidak lebih dari seorang rendahan.
Nalar kebencian bukanlah sesuatu hal baru. Ia telah ada bahkan sejak sejarah peradaban penciptaan manusia dimulai. Kebencian biasanya dipantik oleh adanya prasangka. Dengan adanya prasangka, maka memungkinkan siapa saja yang terjangkiti menjadi seorang pembenci.
Sementara di pihak lain, prasangka buruk itu memang tidak berangkat dari ruang kosong. Ia ada karena didahului oleh pengalaman-pengalaman yang telah terjadi sebelumnya.
Di sinilah letak persoalannya. Di satu pihak, seseorang termotivasi melakukan aksi kriminal atau balas dendam yang dibayangkan sebagai sebuah perjuangan komunal—padahal tidak—karena sebelumnya telah termakan omong kosong berita bohong atau propaganda sentimen agama dan rasial, pada pihak yang lain.
Tahun lalu pada kasus “duo Siska”, misalnya, betapa ironisnya dua bocah puber hendak menyerang aparat kemanan kita lantaran semangat “jihad melawan kafir” yang dimaknai secara salah kaprah. Atau, pelaku aksi bom bunuh diri di Surabaya pada tahun, bahkan rentang tempo yang sama juga memiliki motif serupa.
Bagi mereka, kelompok di luar Islam, khususnya umat Nasrani, dianggap sebagai pihak yang patut disalahkan karena dinilai hendak menghancurkan peradaban Islam di Indonesia. Tentu saja ini hanyalah bualan berkedok agama dan sangat fatalistik.
Akibatnya, kelakuan para teroris yang mengenakan baju Islam itu tanpa sadar telah turut menyumbang pada terbentuknya opini sebagian orang yang menggap bahwa Islam itu teroris. Jadi, itu semua terkadang memang saling berkait-berkelindan.
Masalahnya, Indonesia sebagai negara yang sejauh ini didominasi oleh umat Islam—dan oleh sebab itu seharusnya memberi tauladan keadaban–tak kunjung menunjukan sisi keberadabannya. Betapa tidak, ikhtiar membangun jembatan perdamaian yang dilakukan NU dan Muhammadiyah, misalnya, justru disalahpahami sebagai upaya akan merevisi Alquran.
Sebaliknya, jutaan manusia akan begitu lantang dan galak memekik takbir sembari mengutuk kelompok lain yang berbeda. Alih-alih yang di luar Islam, sesama muslim saja sejauh berbeda preferensi politik, maka dengan serta merta akan dituding sebagai musuh Islam.
Di titik inilah, stigma Islam itu seram akan terus bergulir lalu dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk kepentingan menebar ketakutan.
Pun demikian, jika kebetulan yang menjadi korban adalah umat Islam, maka kelompok Islam yang menganut paham kebencian akan melontarkan stigma serupa: Islam dizalimi, Islam dimushi, non-Muslim itu anti-Islam, dan segudang narasi bebal lainnya.
Walhasil, masa depan semakin suram. Titik terang pun tak kunjung datang. Mengapa? Ya, karena memang terorisme itu tak mengenal agama. Ia hanya memanfaatkan sentimen yang ada. Lalu, sampai kapan kita akan menjadi korban prasangka?