Di awal tahun ini, kita banyak mendengar tentang kasus-kasus pidana yang trending di media sosial. Yang paling marak adalah tentang kasus pelecehan seksual di kampus. Mungkin tidak di awal tahun ini saja, fenomena ‘viral dulu baru di usut’ ini juga banyak terjadi tahun lalu. Tentu kita ingat perundungan yang menimpa pegawai KPI, kasus yang sudah terjadi hampir se-dekade, namun baru diusut pada tahun 2021? Kok baru diusut? Ya berkat terangkat oleh media sosial, alias viral.
Saya pikir, hampir semua elemen masyarakat mengecam fenomena tersebut, sampai-sampai Kapolri Listyo Sigit menuntut evaluasi khusus di tubuh kepolisian untuk menghapus stigma ini dari masyarakat. Namun, satu yang tidak bisa dibantah. Di satu sisi, memang miris untuk membayangkan “masak keadilan harus menunggu viral?”, namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa viralitas mampu membuka tabir di mana semua pihak menjadi paham tentang masalah yang sebenarnya terjadi, yang barangkali tidak akan ter-expose jika tidak viral.
Tapi tulisan ini tidak bermaksud mendedah kasus yang, saya kira, cukup kompleks, melibatkan banyak lapisan dan karena itu butuh kehati-hatian dalam mediskusikan persoalan tersebut.
Di sini saya sekadar ingin menggarisbawahi bahwa fenomena ‘no viral no justice’ bukan hal baru. Di generasi-generasi awal Islam hal serupa pernah terjadi. Kasusnya mungkin tidak sama dengan di Indonesia karena tentu 14 abad yang lalu tidak ada media sosial, namun prinsipnya sama, yaitu bahwa sebuah isu akan menjadi kekhawatiran bersama jika dia sudah memakan ‘tumbal’.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Shiddiq, terjadi pertempuran di Yamamah, atau disebut juga “perang kemurtadan (riddah)”. Perang ini terjadi pada tahun ke-12 H, yakni perang antara kaum muslimin dan kaum murtad (pengikut Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku dirinya Nabi baru). Pertempuran itu mengakibatkan 70 penghafal al-Qur’an di kalangan sahabat Nabi gugur.
Akibat banyaknya penghafal al-Qur’an yang terbunuh, Umar ibn al-Khattab risau tentang masa depan al-Qur’an. Sebab itu, beliau mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakr untuk melakukan pengumpulan al-Qur’an. Meskipun pada mulanya Abu Bakr ragu-ragu untuk melakukan tugas itu, karena dia belum mendapat wewenang dari Nabi Muhammad saw. Abu Bakr mengatakan kepada Umar bahwa ia ragu untuk melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah. Namun, Umar meyakinkan, “ini adalah perbuatan yang sangat baik dan terpuji.”
Akhirnya, beliau menugasi Zaid ibn Tsabit (salah satu mantan juru tulis Nabi Muhammad saw) untuk menuliskannya.
Sama dengan al-Qur’an, hadis pun demikian. Tradisi penulisan dan penyebaran Hadis sebagaimana telah diketahui dalam abad pertama hijriyah hingga generasi khulafa al-rasyidin masih bersandar pada hafalan para sahabat dan tulisan-tulisan hadis pribadi dari sahabat yang tersebar dalam beberapa catatan mereka. Tidak adanya arsip buku dan tulisan inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor munculnya hadis-hadis palsu.
Menurut Prof. KH. Ali Mustafa Ali Yaqub, mantan guru besar ilmu hadis Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta dan imam besar Masjid Istiqlal, orang pertama atau kelompok pertama yang membuat hadis palsu berasal dari kelompok-kelompok politik. Guna mendukung pendapatnya, para politikus di era kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib berupaya mencari ayat-ayat al-Quran. Para politikus itu berupaya membentengi pendapat-pendapatnya dengan ayat-ayat al-Quran. Karena mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an, mereka mencari hadis Nabi.
Karena mereka juga tidak menemukannya dalam hadis Nabi SAW untuk mendukung pendapat mereka, mereka pun mengarangnya sendiri. Hal ini menciptakan kegelisahan tersendiri dalam benak umat Islam pada waktu itu.
Guna membendung dan menghentikan peredaran hadis palsu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz lalu memerintahkan para ahli melakukan pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis. Meskipun hingga kini masih banyak hadits-hadits palsu yang beredar dan menjadi pegangan sebagian umat, jumlahnya sudah tak terlalu banyak lagi. Keberadaan hadis-hadis palsu berpotensi untuk membuat umat tergelincir dalam kesesatan. Kodifikasi tersebut resmi karena teragendakan dalam kerangka kebijakan pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz yang diteruskan kepada gubernur serta para ulama hadis pada masa itu.
Dua kasus tersebut sebenarnya hendak mengatakan bahwa mushaf al-Qur’an dan kitab-kitab hadis yang kita pegang sekarang ini membutuhkan ‘korban’ terlebih dahulu sebelum menjadi kekhawatiran bersama. Jika mengacu pada terminologi ‘no viral no justice’, barangkali gugurnya para penghafal al-Qur’an pada perang Yamamah merupakan sebuah ‘keviralan’ dalam artian ‘titik balik’ untuk menciptakan solusi berupa ‘justice’, yaitu kodifikasi al-Qur’an. Sama prinsipnya, hanya beda kasus.
Tulisan ini tidak hendak mengatakan bahwa penyelesaian sebuah kasus memang normalnya harus menunggu viral, namun hanya ingin mengajak pembaca untuk melihat fenomena ini dari perspektif lain. Mungkin, kasus kematian NWR di Mojokerto tahun lalu tidak akan tercium oleh kepolisian secepat ini jika tidak viral dulu di media sosial. NWR diduga disuruh Randy Bagus, mantan kekasihnya, untuk melakukan aborsi sebanyak dua kali sehingga NWR bunuh diri di makam ayahnya. Kasus tersebut langsung viral di twitter.
Dalam bahasa yang lebih halus mungkin istilahnya ‘blessing in disguise’, quote favorit saya yang kurang lebih artinya ‘ada anugerah terselubung di balik sebuah cobaan’.