Dalam membaca sejarah khilafah atau kekhilafahan seperti pada masa Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan seterusnya, kita memang harus jujur bahwa umat Islam pernah mengalami masa-masa kejayaan dan keemasan.
Meluasnya ajaran Islam, berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah sederet pencapaian yang dampaknya luar biasa bagi kehidupan umat manusia hingga hari ini.
Namun, di balik sisi-sisi keemasan itu, terdapat juga sisi-sisi sejarah “kelam” dari sistem khilafah yang jarang diketahui oleh umatnya sendiri. Fakta sejarah kelam di sini hendak menegaskan bahwa umat Islam sering terjadi perbedaan tafsir terkait sistem politik. Sehingga bisa dikatakan sistem khilafah memang bukanlah ajaran baku dalam Islam, dan bukan pula sistem ideal untuk diterapkan terutama di Indonesia.
Kita lihat belakangan ini sebagian umat Islam terkena propaganda pengusung khilafah yang mengampanyekan bahwa sistem khilafah adalah satu-satunya sistem yang bisa menjawab semua problem masyarakat secara tuntas. Mereka terlihat ngotot hendak menegakkan khilafah di bumi Nusantara karena dianggap solutif, ideal, dan sempurna.
Padahal kalau ditilik dari sejarah, pengusung khilafah ini nampaknya tidak berani jujur untuk mengatakan bahwa banyak “peristiwa kelam” akibat perebutan khalifah pada masa klasik Islam. Atau bisa saja, mereka tidak membaca sejarah khilafah secara komprehensif, sehingga hanya ikut koar-koar di jalanan dan forum bebas tanpa mempelajari dokumen-dokumen yang akurat.
Banjir Darah
Sebagaimana peristiwa sejarah diungkapkan oleh Prof. Nadirsyah Hosen dalam bukunya Islam Yes, Khilafah No! (2018) bahwa di samping pencapaian emas, ada sederet tragedi misalnya ketika Bani Abbasiyah merebut khilafah dari Bani Umayyah, darah tumpah terjadi di mana-mana.
Waktu itu, pasukan Bani Abbas menaklukkan kota Damsyik (Damaskus), ibu kota Bani Umayyah, dan mereka menghunuskan pedangnya ke kalangan penduduk, sehingga membunuh kurang lebih lima puluh ribu orang.
Masjid Jadi Kandang Kuda
Dalam peristiwa yang sama, kekejaman juga dilakukan di Masjid Jami’ milik Bani Umayyah. Mereka jadikan Masjid sebagai kandang kuda-kuda mereka selama 70 hari, dan mereka menggali kembali kuburan Mu’awiyah serta Bani Umayyah lainnya.
Dan ketika mendapati jasad Hisyam bin Abdul Malik masih utuh, mereka lalu menderanya dengan cambuk-cambuk lalu menggantungnya di hadapan pandangan orang banyak selama beberapa hari. Kemudian membakar jasad Hisyam dan menaburkan abunya.
Jasad-jasad di bawah Permadani
Mereka juga membunuh setiap anak dari kalangan Bani Umayyah, kemudian mengamparkan permadani di atas jasad-jasad mereka yang sebagiannya masih menggeliat dan gemetaran, lalu mereka duduk di atasnya sambil makan.
Mereka juga membunuh semua anggota keluarga Bani Umayyah yang ada di kota Basrah dan menggantungkan jasad-jasad mereka dengan lidah-lidah mereka, kemudian membuang mereka ke jalan-jalan kota itu untuk dimakan anjing-anjing liar. Demikian pula yang mereka lakukan terhadap bani Umayyah yang di Mekkah dan Madinah.
Pembantaian di Masjid
Kekejaman akibat perebutan tahta kekuasaan itu juga menimbulkan pemberontakan di kota Musil melawan khalifah al-Saffah (750-754) yang segera mengutus saudaranya, Yahya, untuk menumpas dan memadamkannya. Yahya kemudian mengumumkan di kalangan rakyat: “Barangsiapa memasuki Masjid Jami’, maka ia dijamin keamanannya.”
Beribu-ribu orang secara berduyun-berduyun memasuki masjid, kemudian Yahya menugaskan pengawal-pengawalnya menutup pintu-pintu masjid dan menghabisi nyawa orang-orang yang berlindung mencari keselamatan di masjid.
Sebelas ribu orang meninggal pada peristiwa itu. Dan di malam harinya, Yahya mendengar tangis dan ratapan kaum wanita yang suami-suaminya terbunuh di hari itu. Lalu ia pun memerintahkan pembunuhan atas kaum wanita dan anak-anak, sehingga selama tiga hari di kota Musil digenangi oleh darah-darah penduduknya.
Maka, selama itu pula berlangsunglah penangkapan dan penyembelihan yang tidak sedikit pun memiliki belas kasihan terhadap anak kecil, orang tua atau membiarkan seorang laki-laki atau melalaikan seorang wanita.
Kriminalisasi Ulama
Seorang ahli fiqh terkenal di Khurasan bernama Ibrahim bin Maimun percaya kepada kaum Abbasiyin yang telah berjanji “akan menegakkan hukum-hukum Allah sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah”. Atas dasar itu, ia menunjukkan semangat yang berkobar-kobar dalam mendukung mereka.
Selama pemberontakan Bani Abbasiyah berlangsung, dia adalah tangan kanan khalifah Abu Muslim al-Khurasani. Namun, ketika gerakan kaum Abbasiyin itu berhasil, dia menuntut kepada Abu Muslim agar menegakkan hukum-hukum Allah dan melarang tindakan-tindakan yang melanggar kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Namun sayang, segera dia dihukum mati oleh Abu Muslim.
Belum lagi kisah Imam Abu Hanifah yang berbeda pendapar dengan khalifaf Abu Ja’far al-Manshur (754-775), yang akhir dipenjara kemudian wafat sebab diracun. Beberapa tahu setelah itu Abu Ja’far ganti memberi hukum cambuk kepada Imam Malik lantaran ada fatwanya yang tidak disukai oleh sang khalifah. Bahkan imam mujtahid lain yakni Imam Ahmad bin Hanbal juga mendapatkan hukum cambuk dari khalifah al-Mu’tashim sebab fatwanya mengenai Al-Qur’an itu qadim, bukan makhluk.
Beberapa rekaman sejarah di atas bisa dilihat di kitab al-Kamil fi al-Tarikh Ibnu Atsir, al-Bidayah wa al-Nidayah Ibn Katsir, al-I’bar Ibn Khaldun, Tarikh al-Thabari, bahkan Abu al-A’la al-Maududi dalam al-Khilafah wa al-Mulk.
Politisasi Ayat
Nadirsyah Hosen (2018: 70-71) mengungkapkan peristiwa saat Dinasti Umayyah berkuasa mimbar Jum’at dikabarkan dipenuhi cacian terhadap Ali bin Abi Thalib. Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah, tradisi buruk tersebut dihentikan.
Di masa al-Mu’tadhid, salah satu Khalifah di Dinasti Abbasiyah, ancaman dari sisa-sisa keturunan tangan besi untuk melewan mereka, termasuk engan menggunakan ayat-ayat dan hadist untuk melaknat pendiri Dinasti Umayyah.
Imam Thabari, mengekspos politisasi agama demi mempertahankan kekuasaan. Sejumlah ayat dikutip seperti ayat 60 Surah al-Isra yang menyebut al-syajarah al-mal’unah (pohon yang terkutuk), lalu pohon itu dikaitkan dengan kekhalifahan Bani Umayyah.
Politisasi lainnya adalah tafsiran mengenai potongan ayat lailatul qadar yang lebih baik daripada seribu bulan. Masih menurut dokumen Imam Thabari, lailatul qadar lebih baik daripada kekuasaan Bani Umayyah. Kebetulan memang masa 90 tahun kekuasaan Dinasti Umayyah itu sama dengan masa hitungan seribu bulan.
Sekali lagi, tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan sejarah panjang kekhalifahan, namun hendak memberi sedikit catatan bahwa sistem khilafah yang diimajinasikan ideal dan sempurna oleh para pengusungnya adalah hal yang “fiktif”. Kecuali sistem khilafah, masih banyak sisi positif dari sejarah kekhalifahan Islam yang perlu digali dan dikembangkan oleh umat Islam hari ini, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan.
Wallahu a’lam.