Baru-baru ini di Indonesia marak aktivitas komodifikasi terhadap Islam dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari bank, pariwisata, fashion, dakwah hingga sms doa. Hal ini membuat ekspresi keimanan di era globalisasi seperti sekarang mengalami perubahan. Perkembangan teknologi informasi, urbanisasi serta pertumbuhan ekonomi menjadi faktor pendorong komodifikasi serta mempengaruhi cara individu mengekspresikan keimanannya.
Jika dibandingkan masa sebelumnya, adanya komodifikasi ini membuat ekspresi Islam individu mengekspresikan keimanannya melalui berbagai komoditas yang berlabel Islam.
Dalam kehidupan sehari-hari misalnya, kita melihat fenomena orang berlangganan sms doa, banyak akhwat dan ukhti memakai busana muslim, mengkonsumsi novel atau film islami, menabung di bank syariah, melakukan umroh, menghadiri ESQ (Emotional Spiritual Question), hingga membeli pasta gigi yang berlabel Islam.
Menurut Greg Fealy (2008) dalam tulisannya yang berjudul Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Pietism In Contemporary Indonesia maraknya komodifikasi Islam ini menjadi sarana diterimanya kehadiran Islam di ranah publik secara taken for granted. Lebih jauh dari pada itu Greg Fealy menjelaskan bahwa fenomena mengkonsumsi produk Islam juga terkait dengan identitas individu.
Derasnya arus globalisasi sangat berdampak terhadap identitas muslim, hal ini menyebabkan terjadinya “destabilized identity” ketika agama menjadi salah satu alternatif untuk menciptakan identitas baru.
Konsumsi terhadap barang serba islami dalam terminologi Burdieu dijadikan sebagai simbol kapital untuk mengukuhkan identitas serta mempertahankan posisi individu muslim dalam kelas sosialnya. Konsumsi terhadap produk-produk Islami seringkali menunjukkan status sosial yang tinggi dalam masyarakat.
Konsumsi besar-besaran terhadap produk-produk Islam yang terjadi pada umat muslim pada umumnya tetap berada dalam ambang rasionalitas. Menurut Greg Fealy, individu Islam mengkonsumsi produk secara rasional, artinya bahwa seorang individu akan mengkonsumsi produk Islam jika memang kualitasnya lebih baik, tidak semata-mata karena sentimen keagamaan.
Fenomena konsumsi produk islami ini juga menunjukkan bahwa ekspresi keimanan menjadi lebih bersifat individual daripada sebelumnya. Dalam hal ini, munculnya Islam di ranah publik serta konsumsi massif produk islami tidak serta merta mengubah wajah Islam Indonesia yang moderat.
Globalisasi membawa dampak besar bagi pemenuhan kebutuhan primer maupun sekunder umat manusia, begitupun juga konsumerisme berdampak pada ekspresi sufisme di Indonesia. Menurut Howell dalam karya Greg Fealy (2008) tentang Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia, menjelaskan bahwa sebelumnya para pedakwah didominasi ulama tradisional, sementara itu sekarang cenderung didominasi intelektual muslim dari berbagai universitas Islam serta pendakwah yang non-akademisi. Kedua aktor pedakwah tersebut sama-sama dibesarkan oleh televisi untuk masuk ke ranah publik dengan penonton lebih luas.
Meskipun para intelektual Islam ini juga mulai merambah dunia televisi, namun pedakwah non-akademis lebih mendapat prioritas utama karena lebih entertaining. Kedua pedakwah baru ini membawa perubahan pada isi ajaran sufisme itu sendiri, yang sebelumnya lebih berorientasi pada pengalaman spiritual menjadi lebih berorientasi pada panduan dalam menjalani kehidupan sehari-hari di era modern sekarang ini.
Banyaknya fenomena komodifikasi seperti di atas tidak mengurangi usaha untuk mendekatkan diri kepada Tuhan karena adanya kepercayaan bahwa semakin banyak uang yang dikeluarkan maka balasan dari Tuhan juga semakin banyak dalam bentuk yang lain. Hal ini bisa menjadi tanda positif bagi seluruh kaum umat muslim di Indonesia maupun menjadi tanda positif bagi perkembangan Islam ala Indonesia.
Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kalijaga, Tinggal di Ngayogyakarta