Agama-agama Berpuasa Demi Merawat Bumi

Agama-agama Berpuasa Demi Merawat Bumi

Puasa menjadi lelaku dan ajaran semua agama. Lalu apa dampaknya bagi ekologi?

Agama-agama Berpuasa Demi Merawat Bumi
Menjaga Lingkungan bagian dari Syariat Islam.

Puasa adalah salah satu ajaran keagamaan yang dipraktikkan oleh berbagai agama di dunia, dengan beragam makna, bentuk pelaksanaan, dan tujuan. Dalam Kristen, misalnya, puasa dilakukan selama Prapaskah, periode 40 hari menjelang Paskah. Selama periode ini, umat Kristiani melepaskan diri dari makanan atau kemewahan tertentu sebagai bentuk penebusan dosa dan pembaharuan rohani.

Dalam Yudaisme, puasa dilakukan pada beberapa waktu di sepanjang tahun, termasuk pada Yom Kippur, Hari Penebusan, yang dianggap sebagai hari paling suci dalam kalender Yahudi.

Dalam Hindu, puasa adalah praktik umum, dengan berbagai jenis puasa untuk tujuan berbeda-beda, beberapa di antaranya dilakukan sebagai ibadah, sementara yang lainnya sebagai jalan untuk menyucikan tubuh dan pikiran.

Sedangkan dalam Buddhisme, puasa adalah praktik yang dilakukan selama proses meditasi dan sebagai bagian dari latihan spiritual. Tujuan puasa dalam agama Buddha adalah untuk meningkatkan kesadaran, pengendalian diri, dan menjernihan pikiran.

Dalam Islam sendiri, praktik berpuasa memiliki posisi yang signifikan, yang turut menentukan kualitas ketakwaan seseorang, terutama karena ajaran ini termasuk dalam salah satu rukun Islam, yakni berpuasa pada bulan Ramadan.

Signifikansi praktik berpuasa bagi umat Muslim secara tegas disebutkan dalam Al-Quran surah Al-Baqarah [surah ke-2] ayat 183 yang terjemahannya kurang-lebih berbunyi, “Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”

Ayat-ayat selanjutnya, dalam surah itu, menyebutkan istilah-istilah seperti “imsak”, “shiyam”, “shaum”. “Imsak” dalam bahasa Arab berarti waktu untuk mulai “membatasi diri” dari berbagai aktivitas yang membatalkan puasa seperti makan, minum, dan melakukan hubungan seksual dengan pasangan, dimulai sejak matahari terbit hingga matahari terbenam. Sedangkan “shiyam” dan “shaum” merujuk pada makna “membatasi diri dari apapun yang mungkin bertentangan dengan tujuan berpuasa.”

Laku berpuasa juga dipraktikkan oleh agama-agama leluhur di dunia. Orang Navajo di Amerika Utara, misalnya, berpuasa sebagai bagian dari “vision quest” dengan menempuh hidup tanpa makanan dan air selama beberapa hari sambil duduk di ruang suci dan melakukan ritual, dengan tujuan agar mendapatkan bimbingan dan wawasan tentang cara menjalani hidup.

Di Afrika, berpuasa juga adalah praktik umum yang bisa ditemukan di banyak agama leluhur, misalnya, di beberapa agama di Afrika Barat, puasa dipraktikkan sebagai bentuk penyucian dan untuk meminta bantuan leluhur.

Orang Inca di Amerika Selatan melakukan puasa sebagai bentuk pengorbanan mereka kepada para dewa, yang dilakukan selama berhari-hari bahkan berminggu-minggu, dan mereka akan berpantang dari makanan dan air untuk menunjukkan pengabdian sekaligus untuk meminta berkah dari para dewa. Di Indonesia, beberapa agama leluhur juga mengamalkan praktik berpuasa untuk berbagai tujuan, salah satunya, sebagai bagian integral dari praktik religiusitas mantra atau laku “tapa brata”.

Singkatnya, nyaris semua tradisi keagamaan di dunia punya praktik puasa, atau praktik yang serupa. Terlepas dari perbedaan praktiknya—seperti durasi atau frekuensi berpuasa, jenis makanan yang dilarang atau diperbolehkan, dan alasan berpuasa—praktik berpuasa, di berbagai agama-agama, pada dasarnya menekankan pada persoalan pengendalian diri dari tindakan konsumtif, disiplin spiritual, penyucian diri, dan pengabdian kepada segala hal di luar diri, termasuk pada Tuhan, dewa, dan keseluruhan aspek dalam tatanan kosmos.

Krisis Lingkungan dan Konsumerisme

Saat ini, kita lebih mudah dan lebih sering menemukan berita tentang bencana alam dengan berbagai bentuknya di media sosial, mulai dari banjir, krisis air bersih, kekeringan, polusi udara, perubahan iklim, hingga berbagai persoalan kesehatan masyarakat.

Pertanyaan yang mesti kita ajukan kemudian adalah siapa yang bertanggungjawab atas semua krisis ini? Tentu saja, jawabannya adalah kita semua. Tidak ada yang paling mesti bertanggungjawab atas semua krisis lingkungan yang dihadapi oleh umat manusia selain manusia sendiri.

Dalam istilah kajian geologis, pada era antroposen, era ketika aktivitas manusia telah berdampak secara global terhadap ekosistem bumi seperti perubahan atmosfer, hidrologi, dan seterusnya. Singkatnya, kita tiba pada era di mana apa yang dilakukan manusia telah mengubah cara kerja bumi dalam bentuknya yang radikal. Salah satunya, dari sekian banyak bentuknya, adalah lewat gaya hidup konsumtif yang berlebih.

Konsumerisme atau tindakan konsumtif yang berlebihan dapat mengancam kelestarian alam dan menyebabkan kerusahan lingkungan karena gaya hidup ini mendorong produksi dan konsumsi barang pada tingkat yang lewat batas dan tidak lagi memenuhi kriteria “keberlanjutan”.

Semakin tinggi permintaan konsumer maka akan semakin tinggi eksploitasi atas sumber daya alam. Dengan kata lain, meningkatnya budaya konsumsi maka akan meningkat pula polusi dan limbah yang dihasilkan dari mesin-mesin produksi.

Ada beberapa argumentasi yang bisa kita gunakan untuk membuktikan bahwa gaya hidup konsumeristik sangat berdampak pada lingkungan.

Pertama, mesin-mesin produksi bergantung pada penggunaan sumber daya alam dalam jumlah yang besar seperti bahan bakar fosil, air, dan mineral, yang dapat menimbulkan konsekuensi jangka panjang bagi lingkungan. Dengan kata lain, produksi barang yang membutuhkan energi dan bahan baku dalam jumlah besar dapat menyebabkan menipisnya sumber daya alam dan perusakan ekosistem.

Kedua, pembuangan limbah yang dihasilkan oleh tindakan konsumsi juga merupakan masalah lingkungan yang signifikan. Banyak barang yang sejak awal dirancang untuk dibuang setelah waktu yang singkat, seperti barang yang kemasannya sekali pakai. Barang-barang semacam itu, selepas dikonsumsi, berkontribusi pada menumpuknya sampah-sampah di pembuangan sampah dan bertambahnya sampah plastik di lautan.

Belum lagi, pengangkutan barang hasil produksi dari satu tempat ke tempat lain menghasilkan emisi gas karbon dalam jumlah yang tidak sedikit, dan ini turut berkontribusi pada perubahan iklim. Dengan kata lain, pemasaran barang-barang produksi, karena permintaan barang untuk tindakan konsumsi mensyaratkan transportasi barang jarak jauh, membutuhkan penggunaan bahan bakar fosil yang juga dalam jumlah yang besar.

Pada akhirnya, konsumerisme turut andil dalam memperparah kerusakan lingkungan karena proses pemenuhan hasrat konsumtif itu mengarah pada pengerukan sumber daya alam secara berlebihan, peningkatan polusi, dan menghasilkan lebih banyak limbah.

Menekan Konsumerisme dengan Berpuasa

Salah satu cara merespon gaya konsumtif ini adalah dengan menggunakan agama sebagai salah satu meaning-making, salah satunya, misalnya, lewat pengamalan ajaran berpuasa, yang pada bulan Ramadan ini sedang ditunaikan oleh umat Islam di Indonesia.

Selama Ramadan, umat Islam menahan diri dari makan, minum, dan memenuhi kebutuhan fisik lainnya sejak matahari terbit hingga matahari terbenam. Selain melatih diri untuk menahan hasrat konsumtif, praktik berpuasa juga menumbuhkan disiplin diri dan empati terhadap orang lain yang memiliki akses terbatas ke sumber daya, yang pada akhirnya mengarah pada apresiasi yang lebih besar terhadap lingkungan dan kebutuhan untuk melestarikan sumber daya yang sebetulnya terbatas.

Dengan kata lain, praktik berpuasa dapat memiliki manfaat lingkungan. Dengan mengurangi konsumsi makanan dan produk yang lain, umat Islam dapat mengurangi jejak karbon dan berkontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca atau pemanasan global. Oleh karena itu, sebagai Muslim yang sadar lingkungan, sudah sepatutnya laku berpuasa diamalkan seutuhnya. Setelah Ramadan berlalu, misalnya, laku puasa tetap jadi bagi dari kebiasaan keseharian sebagai Muslim.

Sebetulnya, selain berpuasa, dalam Islam, ada beberapa ajaran yang bisa digunakan untuk menekan laku konsumtif yang berlebihan. Salah satunya, misalnya, konsep tentang moderasi atau “tawasuth” atau “tawazun” atau keseimbangan, yang harusnya diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam hal konsumsi.

Melalui ajaran moderasi itu, Muslim didorong untuk memperhatikan kebiasaan konsumsi dan menghindari pemborosan atau konsumsi berlebihan. Konsep lain, yang juga terdapat dalam Islam, adalah konsep “khalifah” atau mandataris Tuhan, yang mengajarkan bahwa bumi adalah amanah dari Tuhan dan manusia bertanggung jawab untuk merawatnya. Prinsip ini menekankan pentingnya hidup berkelanjutan dan menghindari konsumsi berlebihan yang dapat merusak lingkungan.

Dalam hal ibadah, ada berbagai ibadah dalam Islam yang juga mempromosikan hidup sederhana, sadar lingkungan, dan tidak terobsesi pada tindakan konsumtif. Zakat, misalnya. Ibadah ini mempromosikan kemurahan hati seorang Muslim dan membantu memerangi akumulasi kekayaan dan harta benda yang berlebihan dengan membagikan sebagian dari kekayaan mereka kepada yang lebih membutuhkan.

Kesimpulannya, puasa dalam berbagai agama, terutama dalam agama Islam, mensyaratkan kesadaran, perhatian, dan empati terhadap lingkungan dan sumber dayanya, dan juga dapat memberikan manfaat lingkungan dengan mengurangi konsumsi dan mempromosikan pola konsumsi yang lebih berkelanjutan. Dengan berpuasa dan mematuhi ajaran Islam yang lainnya, umat Islam berperan menciptakan planet yang lebih sehat dan berkelanjutan. (AN)