Era ini, sains dan teknologi merupakan suatu keniscayaan. Negara atau bangsa yang tak melek akan urusan sains dan teknologi, akan tergilas zaman. Pasalnya, segala sesuatu kehidupan manusia tergantung kepentingan sains. Mulai dari bangun tidur, hingga nanti malam tidur kembali. Semua tak terlepas dari sains dan teknologi.
Namun faktanya, tak semua orang minat dalam urusan sains dan teknologi ini. Hal itu terlihat berdasarkan survei kualitas pendidikan yang keluarkan oleh Programme for International Student Assessment (PISA), bahwa peringkat minat belajar sains Indonesia berada menempati peringkat ke-72 dari 77 negara.
Kurangnya minta untuk belajar sains terlihat pelbagai lapisan masyarakat. Termasuk salah satunya pondok pesantren. Muhammad Zuhdi, menyatakan bahwa pesantren memiliki tiga tipologi. Pertama, akomodatif yang menggabungkan antara madrasah dan pondok pesantren. Mayoritas pesantren saat ini seperti itu (akomodatif). Kedua, model independen seperti Gontor Darus Salam, dia memiliki kurikulum sendiri (muadalah). Ketiga, yang memiliki kerikulum sekuler, tapi mengadopsi akhlak Islam. Yang sekarang itu marak dengan adanya Islam Terpadu (IT).
Faktanya, masih banyak pondok pesantren yang menutup mata terhadap urgensitas sains. Pondok pesantren lebih mementing belajar ilmu yang erat kaitannya dengan agama, seperti fikih, tasawuf, kalam, dan gramatikal Arab. Sedangkan, yang berkaitan dengan ilmu, yang Imam Al Ghazali disebut dunyawiyah- banyak yang diabaikan.
Sebagai solusi agar pondok pesantren melek sains adalah dengan membangun pesantren sains. Apa itu pesantren sains? Dan bagaimana perannya dalam pesantren sains ini dalam memajukan dan membuat ghirah santri untuk belajar sains?
Untuk menjawab persoalan tersebut, redaksi Islami.co, berhasil mewawancarai Sansan Ziaul Haq, dosen Institut Teknologi Bandung, dan juga alumni dari Universitas Al Azhar, dan juga UIN Jakarta. Dalam obrolan tersebut, Sansan menerangkan terkait urgensitas sains, hubungan Islam dan sains, serta pentingnya pesantren sains. Berikut hasil wawancara tersebut.
Bagaimana Anda melihat hubungan antara Islam dan Sains?
Baiklah. Kita mulai dengan mengutipkan apa yang dikatakan oleh Albert Einstein: science without religion is lame, religion without science, is blind.” Artinya, bagi Einstein, “Sains tanpa agama lumpuh atau timpang, agama tanpa sains buta.” Dari sana kelihatan bahwa agama tanpa sains itu akan pincang, karena dia tidak bisa merealisasikan visi kemanusiaannya, dan visi rahaminiyah yang Rahmat bagi sekalian alam. Sains itu, terutama teknologi sebagai terapannya berfungsi mempermudah hidup, merealisasikan berbagai kemudahan. Kemudian kemaslahan dan kemakmuran. Kan itu bagian dan tujuan dari sains dan teknologi. Dan agama tanpa sains, maka otomatis dia sebatas kayak mengambang, tidak bisa merealisasikan kemaslahatan.
Ada yang beranggapan tidak bisa bersatu, sebab metodologi berbeda, pandangan Anda?
Saya kira dari perspektif Islam, pengalaman dikotomi antara sains dan agama, hampir bisa dikatakan tidak sama dengan apa yang dialami Eropa dan Barat. Kalau ilmuwan muslim, seperti era keemasan Islam, mereka adalah ilmuwan yang memadukan antara sains dan agama, antara filsafat dan agama. Jadi menjadikan agama sebagai titik tolak dalam hal ini Islam, menjadi perfektif yang berbeda, yang justru melahirkan angle perspektif islami, justru membentuk titik pembeda, yang biasa disebut dengan novelty (unsur kebaruan atau temuan dari sebuah penelitian). Misalkan Ibnu Sina, dia seorang dokter, dia ahli agama. Demikian pula dengan Ibnu Rusyd. Dalam perspektif Islam, sains dan agama itu komplementari –saling mengisi satu dan lain.
Ilmu-ilmu terapan, khususnya ekologi kita sebut, pada diri sendirinya itu adalah bebas nilai. Nuklir juga, pada dirinya tidak baik dan tidak buruk, yang menunjukkan baik dan buruk itu penggunaannya, nah di sinilah peran agama. Supaya menggodok para sainstis, untuk kepentingan kemanusiaan. Agama pada dasarnya sebagai basic values, moral values yang akan mengarakan sains itu lebih wise, lebih bijak, dan tidak melahirkan sesuatu yang kontra produktif. Terlebih tidak membuat sains itu anti pada kemanusiaan.
Jadi, apakah Anda ingin menyebut hubungan sains dan agama, adalah hubungan integrasi?
Kalau saya melihat starting pointnya integrasi. Starting poin dalam hal ini adalah alam raya sebagai ayat kauniyah Tuhan yang pada dasarnya berkesusaian dengan ayat quraniyah. Itu jadi starting poin, ayat Tuhan itu ada ayat kauniyah dan ada ayat quraniyah, antara keduanya adalah saling menguatkan.
Bagaimana caranya agar anak muda ini mau belajar sains?
Mungkin komplek ya, mau ngak mau kita katakan dalam skala global ya ini rekayasa sosial, dalam hal ini social engineering. Dan itu haraus dimulai dari sejak dini. Dan sebenarnya, saya sendiri lingkungan saya di desa dan kental dalam suasana pondok pesantren, sehingga imajinasi dan cita-cita itu tidak terorientasikan untuk menjadi astronot, teknokrat, ahli penerbangan. Imajinasi harus dibangun sejak awal, sejak TK, sejak anak-anak. Bisa juga dimulai dengan pembentukan kurikulum sejak PAUD, TK,SD. Itu misalnya berdasarkan struktural pemerintah, selaku pemangku kebijakan kurikulum nasional.
Dan kemudian secara kultural, misalkan kita sebagai umat Islam punya punya tanggungjawab, kalau misalkan di tingkatan kita, kita lihat di Pondok Pesantren, seharusnya sudah mensosialisasikan, sudah melawan, dan mongcounter dikotomi ilmu peninggalan abad ke-8 dunia Islam. Imam Al Ghazali itukan seakan-akan dipotret dalam hal kemunduran sains dalam Islam, padahal dalam Ihya Ulumuddin, dia mendorong sains. Bahkan ini sangat jarang dikemukan di pondok pesantren.
Yang kedua, saat ini umat Islam sudah harus mulai sadar, Pondok Pesantren itu bukan hanya berarti tafaqquh fi din, akan tetapi pondok pesantren itu juga tafqquh fi ulumiddin dunya. Memang harus ada spesifikasi. Menurut Muhammad Zuhdi, jadikan tipologi, pesantren ada tiga. Pertama, akomodatif yang menggabungkan antara madrasah dan pondok pesantren. Mayoritas pesantren saat ini seperti itu (akomodatif). Kedua, model independen seperti Gontor Darus Salam, dia memiliki kurikulum sendiri (muadalah). Ketiga, yang memiliki kerikulum sekuler, tapi mengadopsi akhlak Islam (Model SMA Al Azhar tahun 2000-an). Kalau sekarang mungkin, seperti tipe SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu), Sekolah Menegah Atas Islam Terpadu (SMAIT), tapi diintegrasikan dengan pesantren dengan menerapkan boarding school. Kalau sekarang juga kan ada Sekolah Insan Cendikia, kalau di Jawa Timur sudah ada sekolah Amanatul Ummah, nah itu seharusnya kita lebih massif di sana, membangun institusi pendidikan yang seperti itu. Nah itu harusnya lahir dari umat, kalau menunggu pemerintah kan itu tidak akan cukup untuk mengelorakan semangat itu.
Tapi fakta di lapangan masih banyak pondok pesantren yang terkesan menutup diri dengan ilmu-ilmu sains dan eksak, Anda bagaimana melihat ini?
Lah iya, nah untuk mengcounter gagasan warisan abad ke-8 dunia Islam, harus ada pencerahan melalui pendekatan interpretasi terhadap para tokoh-tokoh muslim. Misalkan bisa interpretasi pada pemikiran Imam Al Ghazali, kemudian dikenalkan sosok Al Ghazali, bukan dalam hal imu agama saja. Tetapi juga dari ilmu dunyawiyah. Memang para kyai-kiyai pesantren dan santri itu harus dikenalkan dengan pemikiran yang fresh. Ini untuk memberikan semangat.
Meskipun harus diakui itu saja tidak cukup, di samping itu kita juga harus berpikir bagaimana cara kita menciptakan intelektual muslim yang expect dalam bidang sains dan teknologi. Itu solusinya. Itu saya kira pentingnya Pesantren Sains. Itu sudah banyak gagasan dan sudah banyak yang diaplikasikan. Tinggal sekarang tugas kita adalah semakin menggenjot penyebarannya. Pasalnya, semakin ke sini, tuntutan akan pesantren sains itu semakin besar. Jadi mungkin dalam hal ini, adalah pasar. Pesantren sains ini adalah pasar besar.
Agar anak muda mau masuk “Pesantren sains” seperti yang Anda sebutkan tadi, apa saja langkahnya?
Misalkan saya bisa lihat bahwa kecendrungan masyarakat terhadap pesantren sains itu sudah ada dan bahkan terbilang besar. Faktornya apa? Urban muslim, kemudian orang-orang muslim yang ekonominya menengah ke atas, sekarang naik, dalam masalah pendidikan , mereka itu otomatis akan mencari pendidikan yang dianggap keren, dianggap sesuai tuntutan zaman. Pendek kata, pasar sudah ada, dan itu sangat potensial.
Kemudian, jika pasar sudah ada, dan produknya, itu tergantung kita, artinya PR kita untuk membuat produk dan jasa yang kredibel dan teruji. Hanya saja masih sedikit yang bermain dalam ranah ini. Yang sudah membaca fenomena ini saya kira dari awal adalah organisasi Tarbiyah ya (yang IT semua). Mereka baca tuntutan pasar. Hanya saja, itu tak cukup hanya digarap satu ormas saja. NU, Muhammadiyah, dan ormas lain juga harus turut andil. Kita umat Islam mayoritas, akan tetapi sekolah favorit di Indonesia, bukan sekolah Islam, coba saja lihat. Share di Google, 10 sekolah favorit di Indonesia, yang keluar memang ada 1 sekolah Islam, MAN Cendikia, nah yang berikutnya itu sekolah non muslim.
Saya mengajar di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terbaik di Indonesia, itu presentasi antara mahasiswa muslim dan non muslim itu sangat jomplang. Mahasiswa muslim itu di bawah 60 persen. Sementara non muslim bisa mencapai tingkat terbaik, karena institusi pendidikan mereka bagus, keren, dan menjanjikan dan mahal. Sedangkan umat Islam di Indonesia, tidak bisa mengakses pendidikan yang mahal, elit, dan keren itu. Jadi itu tantangan, bagaimana menyuplai para peserta didik terjun ke PTN terbaik di Indonesia. Ini seharusnya PR besar.
Apakah beasiswa jadi solusi juga untuk anak muda mau belajar di Pesantren Sains?
Nah iya. Saya punya anak didik sudah masuk ke arah situ. Dia menggagas, meskipun masih dalam tahap rintisan, semacam NGO tujuan itu bagaimana santri itu bisa mengakses pendidikan, dan juga PTN terbaik. Cara apa? Misalkan sudah dibimbing sejak kelas 3. Difokuskan memiliki passing grade yang tinggi. Tak sampai di situ, ketika sudah lulus, diberikan beasiswa. Ini harus banyak mendapatkan sokongan finansial.
Tak cukup itu, kita harus perusahaan yang besar CEO, CSR, atau punya visi tinggi dalam mendidik generasi bangsa. Itu pun tidak cukup, kita harus memproduksi sejak TK insan yang unggul. Dalam hal ini, itu bukan saja tanggungjawab pemerintah, masyarakat pun punya tanggungjawab yang sama, masyarakat harus ikut andil.