
Pesantren tradisional tak habis-habisnya kena hujat. Celah sekecil apapun, dimanfaatkan oleh sebagian orang, para pembenci untuk turut memengaruhi pola pikir masyarakat. Mereka seolah mempropaganda sisi negatif Pesantren, kemudian secara bersaaman, mereka mempromosikan sistem pendidikan mereka sendiri (ma’had/ kutab). Upaya mereka tak ubahnya hanya sebuah cara untuk meninggikan diri sendiri dengan menjatuhkan orang lain. Akhir-akhir ini yang disasar adalah feodalisme dan santri yang ‘dieksploitasi’, saya mencoba menawarkan perspektif untuk mengimbangi pola pikir masyarakat supaya tidak terjerembab ‘benci’ buta terhadap Pesantren.
Meniru Sahabat Nabi SAW.
Salah satu bentuk perilaku santri yang dianggap feodal dan diprotes Netizen adalah sifat santri dihadapan Kiai. Saat Kiai lewat, kepala santri tertunduk, punggungnya membungkuk, seperti orang desa meminggul kayu bertumpuk-tumpuk. Potongan Videonya berteberan di Medsos, menjadi sasaran hujatan dan dicap feodal, rasa hormat kaum sarungan ini diangggap ghuluw, terlalu berlebih-lebihan kepada makhluk, dikira beribadah selain kepada Allah.
Padahal sikap hormat santri kepada gurunya ini mencontoh era Nabi Muhammad Saw. dimana pergaulan Nabi dan Sahabat kala itu penuh rasa hormat dan kasih sayang, Sayyid Muhammad Alwi al-Maliki al-Hasani dalam Kitab Mafahim-nya mengutip sebuah hadis,
كَانَ يَخْرُجُ عَلَى أَصْحَابِهِ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ، وَفِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – فَلَا يَرْفَعُ أَحَدٌ مِنْهُمْ بَصَرَهُ إِلَيْهِ إِلَّا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، فَإِنَّهُمَا كَانَا يَنْظُرَانِ إِلَيْهِ وَيَنْظُرُ إِلَيْهِمَا وَيَتَبَسَّمَانِ إِلَيْهِ وَيَتَبَسَّمُ إِلَيْهِمَا
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Saw. Keluar menemui sahabat dari Muhajirin dan Ansor mereka pada duduk dan terdapat pula Abu Bakar serta Umar, maka tidak ada satupun dari mereka yang mengangkat tatapannya pada Nabi Saw.
Maksud dari frasa di atas kepalanya sahabat ada burung ialah sebuah kiyasan, betapa posisi kepala dan badan sahabat menunduk ta’dzim dan menghormati Nabi Saw. Tidak bergerak sedikitpun seakan-akan tidak merelakan burung yang hinggap dikepalanya itu lepas. Dalam riwayat selanjutnya disebutkan juga,
إذا تكلم أطرق جلساؤه وكأنما على رؤوسهم الطير
“Tatkala Nabi Saw. Berbicara sahabat yang duduk di sekitarnya menunduk seolah-olah diatas kepalanya ada burung.”
Tentu, jika kiai atau ulama bisa disebut sebagai pewaris Nabi, apakah santri salah ketika bersikap seperti sikap sahabat kepada Nabi?
Kemudian, terkait gercepnya santri saat diperintah Kiai meskipun tidak dapat upah. Hal ini juga meniru sahabat Nabi. Ketika sahabat diperintah oleh Nabi Saw. mereka langsung bergegas pada apa yang diperintahkan. Para sahabat pun ketika berbicara teramat pelan, mereka memandang Nabi dengan tatapan penuh ta’dhim.
Lalu, bagaimana lingkungan Arab saat itu memandang interaksi Nabi dengan sahabat?
Suatu ketika Urwah kembali dari tempat hijrahnya di Madinah menuju kaumnya, Kaum Quraisy. Ia menceritakan apa yang dilihatnya di circle pergaulan Nabi Saw. Ia berkata kepada kepada Kaum Quraisy, “Wahai Penduduk Quraisy, aku telah mengunjungi kerajaan Kisra, Kerajaan Kaisar, dan kerajaan Najasyi, demi Allah aku tidak melihat kerajaan tadi seperti apa yang kulihat pada Nabi Muhammad dan Sahabatnya (dalam hal Hormat)”
Riwayat-riwayat di atas persis dengan apa yang dilakoni santri, saat kiai lewat berdiri menghormati, tatkala kiai dawuh santri benar-benar sam’an wa ikhtiroman, mendengarkan dan memuliakan, ketika sowan pun tidak berani menatap wajah kiai kecuali dengan tatapan ta’dhim. Maka tidak heran kita sering menjumpai kiai yang sedang duduk di atas panggung ketika gurunya hadir dalam majelis tersebut langsung turun dari atas panggung, karena memuliakan guru dan merasa tidak sopan duduk lebih tinggi daripada gurunya.
Tidak Semua Santri Menunduk ke Kiai
Perlu diingat pula, bahwa tidak semua santri nunduknya seperti yang di Video-video beredar, rerata Pesantren di Jawa Tengah biasa saja ketika Kiai lewat, malah pada menyalami dan cenderung egaliter. Ini lah yang saya alami secara langsung, ketika ada acara di Pesantren Tremas, saya pernah ngobrol dengan seorang santri. Pembahasannya panjang, ke sana kemari. Ketika si santri tadi beranjak, pengurus keamanan di samping saya berkata kalau santri yang saya ajak bicara tadi adalah seorang gus, anak Kiai.
Saya pun kaget, “Lha kalian kok bisa biasa-bisanya ndak nunduk, atau gimana, gitu?” Si Pengurus itu bilang kalau di Tremas seluruh keluarga Kiai memang demikian, biasa saja, tidak mengistimewakan diri. Santri-santrinya pun dihimbau untuk memerlakukan biasa-biasa saja.
Lalu Bagaimana dengan Santri Ndalem yang melaksanakan Kerjaan-kerjaan kasar Kiai?
Banyak orang menganggap kalau Kiai mengeksplotasi santri, jelas ini perlu dilihat dengan sudut pandang yang lebih luas. Apabila kiai yang meminta dengan paksa maka bisa dikatakan eksploitasi, tapi yang terjadi kebanyakan adalah santri mengajukan diri untuk mengerjakan pekerjaan kasar kiai, entah itu cucian, sopir, ternak dll.
Banyak pula santri yang sadar diri karena merasa tidak mampu bayar biaya pendidikan di Pesantren, dan hanya numpang di rumah kiai menggunakan fasilitas pesantren dengan gratis, maka sebagai gantinya adalah khidmah kepada kiai, membantu kiai, naasnya netizen yang menghujat tidak ingin melihat sejauh ini.
Jika Tetap Disebut Feodal, Maka Feodalisme di Pesantren dengan di luar itu berbeda
Relasi Santri-Kiai yang dianggap feodal, nyantanya lebih parah dengan perilaku feodal di luar pesantren, entah diperusahaan, pemerintahan atau di sektor formal lainnya. Di perusahaan, mereka nurut sekali dengan bosnya, bahkan ada pejabat tertentu yang terlihat menjilat ke atasannya karena ada motif tertentu, seperti kenaikan pangkat dan gaji.
Di pesantren tidak demikian, para santri ikhlas berkhidmah. Mereka barangkali faham betul beban kiai yang begitu besar karena mengurus sekian banyak manusia. Sang santri pun turut membantu Kiai, supaya kiai fokus mengajarkan ilmu-ilmunya. Jika mau dihitung-hitung, betapa banyak fasilitas di pesantren yang apabila ditakar, seharusnya nominal pembayarannya cukup tinggi, namun di Pesantren dibuat gratis (sewa tanah, listrik, mendirikan bangunan, makan gratis dll). Sayangnya, saat santri ingin membalas budi kiai malah kena hujat.
Tentunya, jumlah dalil yang membincangkan tema membantu guru tak dapat dihitung. Jika saya mengutip dalil-dalil tersebut, mungkin hanya akan dianggap dogmatis belaka, maka saya lebih memilih untuk menawarkan realitas empiris saja.
Sebagai catatan, sebagai seorang alumni pesantren, saya juga sadar bahwa tidak semua pesantren berhasil menerapkan sistem khidmah dengan baik dan benar, namun bukan berarti kelamahan-kelamahan tersebut yang pada akhirnya dijadikan senjata untuk menjatuhkan marwah pesantren secara umum. Pada intinya, yang tampak feodal di Pesantren bagi kelompok luar itu tak selalu demikian, itu bentuk hormat kepada guru dan kepada orang yang telah memberikan banyak waktu dan pengorbanan untuk santrinya. Justru dengan demikian, para santri diajarkan untuk mengosongkan gelasnya, bersikap rendah hati, ikhlas, sadar diri, tanpa membawa keistimewaan yang mungkin didapat selama di rumah.
Wallahu a’lam.