Kiat Mengendalikan Hawa Nafsu Menurut Imam Al-Ghazali: Membatasi Waktu Makan

Kiat Mengendalikan Hawa Nafsu Menurut Imam Al-Ghazali: Membatasi Waktu Makan

Dalam karyanya, Ihya` ‘Ulumiddin, Al-Ghazali menuliskan cara mengendalikan hawa nafsu yang cukup unik. Menurutnya, untuk dapat mengendalikan hawa nafsu, seseorang mengawalinya dengan menaklukan syahwat perut.

Kiat Mengendalikan Hawa Nafsu Menurut Imam Al-Ghazali: Membatasi Waktu Makan

Bagi para sufi, hawa nafsu merupakan satu hal yang begitu diwaspadai, karena dapat menjerumuskan seseorang pada hal-hal negatif. Banyak metode latihan spiritual (riyadhah) yang mereka tempuh dalam rangka melatih diri agar mampu mengendalikan hawa nafsunya.

Salah seorang sufi yang menaruh perhatian terhadap perkara mengendalikan hawa nafsu adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H). Dalam karyanya, Ihya` ‘Ulumiddin, Al-Ghazali menuliskan cara mengendalikan hawa nafsu yang cukup unik. Menurutnya, untuk dapat mengendalikan hawa nafsu, seseorang mengawalinya dengan menaklukan syahwat perut.

Adapun bentuk riyadhah yang dapat dilakukan dalam rangka menaklukan syahwat perut, selain dengan mengurangi porsi makan, juga dapat dilakukan dengan membatasi waktu untuk makan dalam batas waktu tertentu, dan inilah yang akan dibahas dalam artikel ini.

Menurut Al-Ghazali, ada empat tingkatan dalam membatasi waktu untuk makan. Tingkatan pertama dan yang paling tinggi, yakni dengan membatasi makan hanya sekali dalam tiga hari atau lebih. (Al-Ghazali, Ihya`, Jil. 3, h. 87) Beliau mencontohkan kebiasaan banyak sufi yang memilih untuk menahan lapar hingga berhari-hari, bahkan ada yang menahan lapar hingga 30 atau 40 hari.

Namun, yang perlu diketahui, bahwa praktek yang ada pada tingkatan pertama ini tidak dapat disamakan dengan puasa wishal (menyambung puasa hingga berhari-hari tanpa berbuka), karena puasa tersebut hanya dikhususkan untuk Nabi SAW dan tidak diikuti oleh umat beliau.

Maksud dari makan sekali dalam tiga hari atau lebih di sini adalah mereka hanya tidak makan atau ngemil yang sifatnya mengenyangkan, namun tetap minum untuk sekedar memenuhi kebutuhan energinya, itupun hanya dalam batas paling minimal. Dan menurut Al-Ghazali, hanya sedikit orang yang mampu mencapai derajat pertama ini.

Tingkatan kedua, yakni dengan membatasi makan hanya sekali dalam dua hingga tiga hari. (Al-Ghazali, Ihya`, Jil. 3, h. 88) Menurut Al-Ghazali, tingkatan ini masih berada dalam kadar kemampuan orang pada umumnya, tidak seperti pada tingkatan pertama yang hanya orang tertentu yang dapat mencapainya. Sehingga, tingkatan ini sangat mungkin dilakukan orang pada umumnya yang memang bersedia melakukan riyadhah dengan sungguh-sungguh.

Tingkatan ketiga dan yang paling rendah, yakni dengan membatasi makan hanya sekali dalam satu hari satu malam. Menurut Al-Ghazali, inilah tingkatan paling minimal bagi mereka yang ingin melakukan riyadhah, dan apabila mereka makan lebih dari sekali dalam sehari, maka telah dianggap berlebih-lebihan (israf).

Al-Ghazali menyatakan bahwa bagi mereka yang menempuh tingkatan ini, dianjurkan mengonsumsi jatah makan sehari itu pada waktu sahur, yakni antara waktu setelah sholat tahajud dan sholat subuh. Dengan begitu, orang tersebut dapat menghabiskan waktu berlapar-lapar pada siang hari dengan berpuasa, dan menghabiskan waktu berlapar-lapar pada malam hari dengan qiyamul lail.

Untuk tingkatan yang keempat, Al-Ghazali tidak memberikan penjelasan secara eksplisit. Namun, dapat diduga bahwa tingkatan yang keempat ini adalah membatasi makan dua kali atau lebih dalam sehari, sedangkan yang demikian telah dianggap berlebihan sebagaimana penjelasan yang sebelumnya. Sehingga dapat dimaklumi jika Al-Ghazali tidak menyebutkannya, karena bagi beliau orang yang makan dua kali dalam sehari tidak akan merasakan berlapar-lapar, dan dengan demikian riyadhah tidak dapat dilakukan dalam tingkatan ini. Wallahu a’lam.