Tahun 1925, Bung Karno merilis sebuah artikel panjang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tiga ideologi yang saling berebut pengaruh di pelataran jazirah Hindia.
Dalam tulisan itu, Bung Karno melakukan sinkretisme dengan menjadikan nasionalisme sebagai perekat yang menyatukan perseteruan antar ideologi.
Patut dicatat, nasionalisme yang digagas oleh Bung Karno bukanlah nasionalisme chauvinistik yang berkobar-kobar di Eropa, tetapi nasionalisme humanitarian yang menolak penjajahan.
Sila kedua dan sila ketiga Pancasila merupakan sari-pati dari nasionalisme yang digagas Bung Karno itu.
Ada yang layu, ada yang laju. Ada yang jatuh, ada yang tumbuh. Demikian takdir dalam sebuah trajektori sejarah. Perseteruan antara nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu akhirnya berubah seiring terang dan redupnya ideologi.
Paska 1965, Marxisme jatuh, perannya digantikan liberalisme. Mafia Barkeley, sebuah jejaring ekonom berbasis pada Universitas Barkeley di AS, mempunyai kontribusi besar sebagai promotor ekonomi liberal di Indonesia.
Belakangan, liberalisme ini dipraktikkan secara jauh lebih luas dalam bidang kehidupan yang lain, tidak hanya ekonomi.
Praktik ini mengikuti petuah Frederick von Hayek, yang kemudian dikenal sebagai neo-liberal, liberalisme baru.
Liberalisme baru ini menyentuh semua lini kehidupan, termasuk agama. Di Penghujung akhir abad 20, muncul sebuah gerakan yang disebut sebagai Jaringan Islam Liberal (JIL). Ulil Abshsr Abdala, tokoh sentral gerakan ini.
Praktis, Liberalisme baru ini berhasil mengambil alih posisi Marxisme (Komunisme) dengan sangat baik. Ia menjadi mainstream dalam budaya pop Indonesia.
Berbeda dengan Marxisme yang jatuh dan liberalisme yang tumbuh, Islamisme terus laju dengan varian gerakan yang semakin beragam. Salafi, Tarbiyah, Tabligh, dan Hizbut Tahrir adalah empat gerakan trans -nasional baru yang hadir di Indonesia akhir abad 20.
Gerakan-gerakan itu hadir melengkapi gerakan Islamisme yang sudah ada di Indonesia, yakni NU, Muhammadiyah, dan Masyumi.
Belakangan, Islamisme ini, terutama yang berbasis trans nasional, menguat dan mengeras dalam gerakan terorisme dan khilafah, yang menegasikan keindonesiaan.
Dalam kadar tertentu terjadi Perseteruan yang cukup keras antara Islamisme dengan liberalisme. Namun, tidak jarang liberalisme dan Islamisme saling bersekutu.
Dalam isu “anti komunis”, misalnya, Islamisme dan liberalisme bersekutu intens.
Betapapun komunisme telah jatuh, ia masih menjadi momok bagi pengikut liberalisme dan Islamisme di Indonesia.
Melihat peta ideologi seperti itu, Indonesia hari ini butuh jalan tengah untuk keluar dari kemelut perdebatan yang tak berujung. Jalan tengah itu – Sependek pemahaman saya – adalah pancasila – yang hari-hari ini tampak layu, banyak disebut, tapi tak banyak dikaji.
Pancasila adalah titik temu antara nasionalisme, Islamisme, liberalisme, dan bahkan komunisme. Di dalam Pancasila itulah nilai-nilai dasar ideologi ditemukan.
Seorang liberal yang mengindonesia, ia harus patuh pada pancasila termasuk sila kelima. Seorang komunis yang mengindonesia, ia harus patuh pada pancasila, termasuk sila pertama.
Penerimaan pada pancasila bagi orang Islam dan nasionalis sudah bersifat taken for granted karena telah menjadi kesepakatan sejak negara Indonesia berdiri. Gerakan Islamisme yang anti Pancasila, ia ahistoris.
Haris el mahdi, Gusdurian Batu. FB @ Haris el mahdi