Coldplay, Gaya Hidup Muslim, dan Wajah Islamisme yang Cair

Coldplay, Gaya Hidup Muslim, dan Wajah Islamisme yang Cair

Konsumsi masyarakat Muslim atas lagu-lagu Coldplay sangat dipengaruhi perkembangan media, yang semakin besar aksesnya karena pertumbuhan kelas menengah sejak sejak Orde Baru.

Coldplay, Gaya Hidup Muslim, dan Wajah Islamisme yang Cair

Rilis konser band Coldplay di Jakarta 15 Nopember 2023 resmi diunggah. Tiketnya langsung ludes dalam waktu singkat. Tapi pikiran saya justru menerawang kira-kira siapa saja yang akan menolak penampilan Chris Martin dan kawan-kawan.

Bahkan, teman saya mengirimkan postingan penolakan band tersebut di negaranya. Alasannya sama dengan apa yang sedang ramai diperbincangkan dalam beberapa hari terakhir di media sosial.

Saya pernah melempar satu guyonan pada seorang teman. “Musik dan gaya hidup adalah diskursus paling absurd dalam agama Islam” kata saya kepadanya. “Kok bisa?” jawab teman saya. Guyonan saya di atas disandarkan pada fakta bahwa musik dan gaya hidup hingga hari ini terus berkelindan di masyarakat Muslim, dan terus bernegosiasi dengan beragam hukum yang melarangnya didengar di telinga kita.

Saya tidak akan membincang terkait bagaimana hukum musik di ajaran Islam. Namun, saya lebih menyoroti bagaimana gaya hidup muslim. Menurut saya, gaya hidup adalah unsur yang paling absurd  di ranah keislaman. Mengapa?

Bagi saya, gaya hidup muslim, di mana diantaranya adalah mendengar dan menonton konser musik, jarang sekali diperbincangkan. Padahal, gaya hidup muslim di tengah antara kehidupan modern, urban, dan ajaran agama. Dan gaya hidup Muslim urban ini tidak sekedar soal pakaian belaka, namun di sana juga berkelindan dengan beragam konsumsi lain, termasuk menonton konser.

Heryanto, akademisi di Australia, kala mengulik bagaimana resepsi kalangan perempuan perkotaan atas perkembangan budaya populer modern, mengatakan bahwa mereka (baca: kelompok perempuan muda urban) menghadapi tiga konteks yang saling bertalian dan berkelindan, yaitu konsulidasi kehidupan kelas menengah, sentimen anti-Tionghoa yang telah mengakar di Indonesia, dan islamisasi yang sedang bergairah belakangan ini dan belum pernah sehebat ini. Ketiganya menurut Heryanto sangat mempengaruhi kehidupan keislaman masyarakat Muslim.

Polemik soal Coldplay berada di irisan antara kehidupan kelas menengah Muslim dan islamisasi yang mengalami gelombang pasang. Konsumsi masyarakat Muslim atas lagu-lagu Coldplay sangat dipengaruhi perkembangan media, yang semakin besar aksesnya karena pertumbuhan kelas menengah sejak sejak Orde Baru.

Kalangan Muslim yang mulai mendapatkan kue ekonomi, sehingga bisa membangun kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Muslim mulai mengalami peningkatan akses pada budaya populer, termasuk musik, televisi, terakhir internet. Di titik inilah, menurut Heryanto, masyarakat Muslim mulai mengalami perubahan dalam memandang diri mereka sebagai muslim yang saleh.

Seorang muslim yang saleh tidak lagi sekedar memiliki penguasaan ilmu agama dan berasal dari keluarga yang sederhana. Namun, asumsi telah berubah menjadi muslim saleh adalah sosok yang memiliki kesadaran moral tanpa kompromi, kelas menengah, keilmuan agama yang mumpuni, namun juga mendamaikan antara wacana keislaman dan gaya hidup serta konsumsi global berasa Barat.

Jika Heryanto melihat relasi antara perempuan muda Muslim dengan band dan budaya K-Pop, namun beberapa hari ini kita melihat irisan lain dalam budaya konsumsi dan masyarakat Muslim, yakni konser Coldplay. Dari fenomena konser Coldplay yang ramai diperbincangkan dalam beberapa hari ini, kita bisa melihat bahwa konsumsi budaya Barat masih cukup besar dan belum tergantikan sepenuhnya oleh Korea dan Jepang.

Lihat saja beberapa hari ini kita dihebohkan soal ticket war yang diasosiasikan sebagai perburuan tiket menonton Coldplay, yang antriannya mencapai ratusan ribu. Memang sebuah fenomena yang luar biasa.

Di sisi lain, media sosial juga diramaikan respon atas konser dan persoalan perburuan tiket tersebut. Kelompok penolakan band asal Inggris tersebut hadir dengan aneka alasan, mulai dari Chris Martin dan kawan-kawan adalah pendukung LGBT hingga lirik yang menghina Islam.

Menariknya, di tengah perdebatan terkait konser tersebut, pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari momentum tidak hanya mereka yang membuka “Jastip” (Jasa titipan) atau para calo tiket yang sudah menjual tiket-tiketnya dengan keuntungan mencapai puluhan juta. Selain mereka, kawan-kawan dari pihak menolak pun juga turut memanfaatkan momentum tersebut.

Seorang influencer Islamis dan sebuah perkumpulan anak muda hijrah di kota Yogyakarta mengambil celah dan momentum tersebut, sehingga mereka mendapat impressi di internet dan atensi di ruang publik. Ini kehebatan kelompok anak muda hijrah ini melihat “potensi dakwah” mereka.

Sang influencer membuat kelas akidah yang dimaksudkan untuk “menyadarkan” bahaya konser Coldplay dari lirik-liriknya. Sedangkan, kelompok anak muda tersebut mengadakan pertemuan dengan mengajak anak-anak muda lainnya untuk melihat konser tersebut dari kacamata Islam, yang memiliki kesimpulan yang sama dengan sang influencer sebelumnya.

Di sisi lain, kelompok PA 212 (Presidium Alumni 212) memiliki metode yang cukup ekstrim, karena mengeluarkan ancaman jika konser Coldplay tetap diadakan maka akan mengepung bandara. Ancaman ini “sedikit diamini” oleh beberapa ulama di MUI yang menganggap kedatangan band tersebut hanya akan mendatang dampak negatif saja, yakni terpapar pengaruh kampanye LGBT.

Sedangkan, bagi kelompok yang lebih moderat melihat konser Coldplay karena mereka masih setuju dengan kedatangannya. Namun, bagi mereka, konser ini masih memiliki catatan negatif, mulai dari peningkatan pinjol (pinjaman online) yang memiliki bunga mencekik hingga permasalahan perencanaan keuangan keluarga yang rentan kacau.

Bagi saya, konser Coldplay memperlihatkan kepada kita bahwa suara-suara di masyarakat Muslim dalam budaya populer tidaklah seragam. Dalam ketidakseragaman ini, kita melihat Islam juga masih menjadi wacana yang cukup kental, di kedua belah pihak.

Selain itu, kelas menengah Muslim yang beririsan dengan wacana atau kelompok pengusung Islamisme pun tidak banyak berkomentar, di mana kemungkinan besar mereka turut ikut ticket war biar bisa ikutan nonton Chris Martin. Walaupun, di sisi lain, mereka tetap saja memiliki kedekatan dengan kelompok Islamis yang notabene penolak Coldplay.

Inilah wajah Islamisme kontemporer. Pasang surut wacana Islamis di kalangan kelas menengah muslim dipengaruhi beragam hal dan tidak seragam. Jadi, penolakan atas Islamisme hari ini tidak lagi sehitam-putih seperti ideologi yang kaku. Hari ini, Islamisme lebih cair.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin