Mencari Pemimpin Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa di Pilpres 2024

Mencari Pemimpin Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa di Pilpres 2024

Segenap tindakan kecurangan, kekorupan, kekerasan (apalagi sampai menghilangkan nyawa), dan segudang prilaku brutal lainnya merupakan syirik sosial karena bertentangan dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”

Mencari Pemimpin Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa di Pilpres 2024

Berketuhanan itu beda dengan bertuhan. Masing-masing punya konsekuensi makna yang serius. 

Bertuhan artinya seseorang meyakini adanya kekuatan lain di luar diri si subjek. Orang bertuhan idealnya bisa menjelaskan detail-detail, karakter, atau sifat yang melekat pada tuhannya. Ini barangkali sama kayak logika orang berteman atau bersahabat. Kalau hanya mengetahui namanya saja, itu bukan berteman, apalagi bersahabat, tapi “de javu”.

Berketuhanan maknanya bisa lebih dalam lagi. Berketuhanan bukan saja meyakini bahwa Tuhan itu ada dan mengenali sifat-sifatnya, tetapi juga memiliki kesadaran untuk mengecilkan ego diri sendiri, tidak jumawa, apalagi sampai merendahkan sesama, dan amit-amit menyejajarkan manusia dengan hewan di kebun binatang, atau hewan peliharaan yang pasti setia kalau diberi makan. 

Asal-Usul “Tuhan”

Tuhan, sebagai kata, rupanya tidak khas Islam. “Tuhan” memiliki irisan yang kuat dengan tradisi Kristen, dan lebih dari itu memiliki akar historis dengan tindak tutur orang Melayu. Remy Silado pernah mengulas hal ini dengan sangat cermat dan cukup detail dalam sebuah kolom di Harian Kompas (2002) berjudul “Bapa Jadi Bapak, Tuan Jadi Tuhan, Bangsa Jadi Bangsat”. 

Sulit mengetahui secara pasti siapa penutur pertama/asli yang memprakasai perubahan kata “Tuan” menjadi “Tuhan”. Walaupun demikian, jejak non-digital tindak performasi kebahasaan ini telah ditulis pada tahun 1976 oleh Adolf Heuken J dalam Ensiklopedi Gereja. Katanya, arti kata “Tuhan” ada hubungannya dengan kata (Melayu) “Tuan” yang berarti atasan/penguasa/pemilik. Ini barangkali sama seperti kebiasaan orang (native) Bantul yang menyebut daerah mereka sebagai Mbantul.

Juga, pergeseran kata “Tuan” menjadi “Tuhan” ternyata berkaitan dengan kolonialisasi lewat proyek penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu. Mula-mula pimpro sekaligus tukang ketiknya adalah Daniel Browerius. 

Di tahun 1668, Browerius menulis terjemahan Alkitab dalam Bahasa Melayu dengan aksara Latin kata “Tuan” yang dirujukkan pada Yesus Kristus (Jesu Chiston). Di sini kata “Tuan” di dalam dirinya sebetulnya setara dengan Kyrios (Bahasa Yunani) atau Lord (Bahasa Inggris). 

Konstruksi bahasa tentang Yesus Kristus (Kristen) atau Isa Almasih (Islam) kemudian bergeser ketika Melchior Leijdecker mengambil alih proyek penerjemahan tersebut. Reshuffle tukang ketik terjadi karena hasil terjemahan Browerius dianggap sulit dipahami orang awam. 

Terlalu banyak serapan kata Portugis yang digunakan oleh Browerius dalam menerjemahkan Alkitab. Sebaliknya, Leijdecker yang merupakan seorang pendeta militer berlatarbelakang pendidikan kedokteran dianggap bisa mengatasi problem kebahasaan itu. Termasuk dalam hal perubahan kata “Tuan” menjadi “Tuhan”. Ya, Leijdecker-lah biangkeroknya. 

Apa yang dilakukan Leijdecker konon adalah improvisasi untuk mengatasi problem bahasa lokal. Remy Silado memberi contoh hadirnya huruf “h” dalam beberapa kata bahasa Indonesia, seperti “empas” menjadi “hempas”, silakan menjadi “silahkan”, “utang” menjadi lupa “hutang”, dst.

Jadi, baik “Tuan” maupun “Tuhan”, keduanya pada dasarnya merujuk pada subjek dan pengertian yang sama, yaitu Yesus Kristus. 

Warisan Leijdecker itu rupanya terus berlanjut dan direproduksi, walau mengalami beberapa kali revisian. Termasuk ketika Inggris telah menduduki wilayah Indonesia, dan bahasa Melayu  menjadi bahasa kebangsaan Indonesia, penggunaan kata “Tuhan” adalah yang bertahan daripada “Tuan”.

Pertanyaannya, mengapa yang diadopsi ke dalam sila pertama Pancasila adalah kata “Ketuhanan”? Mengapa bukan ke-ilahi-an, misalnya? Atau, langsung saja tegas menyebut Allah, yang juga diakui oleh tiga agama Abrahamik.

Lobi Bung Hatta

18 Agustus 1945, Bung Hatta bersikeras melobi Ki Bagus Hadikusumo, salah satu kuncen BPUKI. Tapi Si Bung tidak sendirian. Ia dibantu oleh Kasman Singodimedjo dan Teuku Mohammad Hasan. Tujuannya adalah meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo supaya mengikhlaskan tujuh kata dalam mukadimah Piagam Djakarta.

Perlu dicatat bahwa perumusan Pancasila bukanlah proyek pragmatis, apalagi pesanan. Perdebatannya bisa berlarut-larut. Merumuskan Pancasila tidak sesederhana mengesahkan Revisi UU KPK, RUU Ciptaker, apalagi menggali nilai-nilai Jokowiisme.   

Meloloskan sila pertama dalam Pancasila bahkan melibatkan perseteruan sengit antara dua sahabat satu kos-kosan, Soekarno dan Kartosuwiryo, yang ternyata tidak selesai secara kekeluargaan.   

Dan, setelah melewati berbagai dinamikanya frasa “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Sejak saat itu, frasa yang terakhir ini menjadi sangat populer, bahkan biasa disingkat secara administratif sebagai Y.M.E.

Si Paling Konsisten

Rupanya Bung Hatta bukan saja paling gigih mencetak gol kata “Ketuhanan” dalam sila pertama Pancasila, tetapi juga tampak konsisten mengamalkannya. 

Dalam berbagai kesempatan pidato, dan tulisan-tulisan tentu saja, Si Bung Besar ini tak pernah ragu mendaras secara lengkap “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Dalam kaitannya dengan hal ini, Dubes Indonesia untuk Lebanon, Hajriyanto Y. Thohari cukup longgar menelusuri jejak Bung Hatta. Katanya, Wakil Presiden Pertama RI ini justru lebih sering kelihatan menggunakan frasa  “Ketuhanan Yang Maha Esa”, alih-alih Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Walau demikian, konsistensi Bung Hatta tentunya tidak mengurangi ketaatan dan kesalehannya dalam berislam. Ada sedikitnya dua peluru yang siap meluncur ketika Bung Hatta mulai mengokang frasa “Ketuhanan Yang Maha Esa”. 

Yang pertama adalah nilai dasar tauhid, lazimnya keyakinan yang dianut oleh sang penutur. Ini mengandaikan upaya pengkerdilan diri dan loyalitas terhadap Allah SWT (karena konteksnya lagi ngomongin Bung Hatta yang Muslim) yang diyakini sebagai sebenar-benarnya Penguasa Segala-galanya. Untuk itu, pengabdian seorang hamba yang dilakukan selain kepada-Nya akan disebut sebagai syirik.   

Kedua, frasa “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam imajinasi Bung Hatta bukan saja merupakan pengakuan teologis, tetapi juga memiliki dampak sosial dan politik yang serius, seperti komitmen terhadap kebenaran, keadilan, kejujuran, kemanusiaan, dlsb.  

“Semua sifat-sifat itu, yang wajib diamalkan karena mengakui berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa—menerima bimbingan dari Zat yang sesempurna-sempurnanya—membentuk karakter yang kuat, melahirkan manusia yang mempunyai integritas, yang jujur dan yang mempunyai rasa tanggung jawab,” tulis Bung Hatta dalam Pancasila Jalan Lurus (1966). 

Karenanya, upaya-upaya atau tindakan kecurangan, kekorupan, keabusifan, kekerasan (apalagi sampai menghilangkan nyawa), dan segudang prilaku brutal lainnya merupakan syirik sosial. Yang demikian itu secara nyata telah menduakan nilai kemanusiaan paling fundamental, dan tanpa sadar juga merasa lebih ber-ke-tu(h)an-an daripada “Ketuhanan Yang Maha Esa” itu sendiri.

Bersambung