Marah adalah sebuah perasaan sangat tidak senang terhadap sesuatu. Marah merupakan hal yang manusiawi. Setiap manusia pasti pernah merasakannya; mengalami perasaan sangat tidak senang yang kemudian diekspresikan melalui suatu perilaku.
Saat marah, emosi seseorang pasti sedang tidak stabil. Saat marah, orang dapat melakukan apa saja di luar kendali diri dan pikirannya, sehingga berbuat nekat, melakukan hal yang paling terlarang sekalipun.
Oleh karena itu, dalam kondisi sedang marah, seseorang harus segera menenangkan diri atau ditenangkan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ia juga tidak boleh melakukan sesuatu, apalagi hal yang besar, karena dapat berakibat fatal. Seorang hakim, tidak boleh menetapkan suatu perkara, jika ia sedang dalam kondisi marah.
Orangtua dapat marah kepada anak-anaknya karena kekesalannya atau ketidaksukaannya terhadap perilaku sang anak. Tak jarang kemudian sang orangtua membentak anaknya, melakukan kekerasan verbal, atau bahkan melakukan kekerasan fisik. Begitulah satu gambaran tentang ragam ekspresi marah.
Masing-masing orang punya cara tersendiri untuk mengekspresikan kemarahannya. Namun, semua ekspresi kemarahan itu hanya sebatas luapan emosi semata. Ia bukanlah solusi atas perasaan ketidaksenangan atau ketidaknyamanan.
Sebagai luapan emosi, biasanya setelah marah, orang akan merasa puas sejenak. Setelah ia terpuaskan, tak jarang bahwa yang muncul justru penyesalan atas kemarahannya. Jika tidak menyesal, atau justru berlarut-larut dan berkepanjangan, maka seseorang pasti akan sangat tersiksa batin. Dirinya sendiri yang menyiksa. Ia tersiksa oleh perasaannya. Sedangkan perasaan hanyalah hal yang semu.
Karena marah bukanlah solusi atas suatu masalah, Nabi pun menunjukkan solusi untuk meredakannya. Apa yang harus kita lakukan saat dilanda amarah?
Pertama-tama, Nabi mengajarkan kita melalui firman Allah, agar seyogyanya kita mampu menahan amarah.
وَسارِعوا إِلى مَغفِرَةٍ مِن رَبِّكُم وَجَنَّةٍ عَرضُهَا السَّماواتُ وَالأَرضُ أُعِدَّت لِلمُتَّقينَ * الَّذينَ يُنفِقونَ فِي السَّرّاءِ وَالضَّرّاءِ وَالكاظِمينَ الغَيظَ وَالعافينَ عَنِ النّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ المُحسِنينَ [آل عمران: 133-134]
Menahan amarah (kazhmul ghaizh) adalah menahan emosi. Menahan hati dan pikiran agar tidak berkepanjangan atau terlarut dalam rasa tidak suka atau kesal. Dalam hal ini yang ditahan adalah batinnya. Jangan dibawa perasaan. Bawa santai aja. Tetaplah tersenyum, maafkanlah orang yang tidak kita sukai. Itulah sebagian cara untuk menahan amarah.
Berdasarkan ayat tersebut, agar dapat menahan amarah, kita harus segera beristighfar. Ketika hati dan perasaan sudah mulai merasakan ketidaksukaan atau kekesalan, maka segeralah beristighfar kepada Allah (wa sari’u ila maghfiratin min Rabbikum). Ucapkan astaghfirullahal ‘azhim.
Namun, jika amarah tersebut terlanjur tak tertahankan, maka apa yang harus kita lakukan?
1. Menahan diri
Nabi mengajarkan kita agar saat marah, hendaklah kita menahan diri. Ada perbedaan antara menahan diri dan menahan amarah. Menahan diri (milkun nafs) adalah menahan raga, menahan organ tubuh, atau menahan fisik agar tidak berbuat sesuatu. Sedangkan menahan amarah adalah menahan batin, mengalihkan perasaan. Lalu, kita harus menahan diri dari apa dan bagaimana caranya?
Diri kita yang harus kita tahan. Karena marah hanyalah luapan emosi batin, maka jangan sampai organ tubuh atau fisik kita juga ikut meluapkannya. Jangan sampai mulut kita ikut meluapkan marah kita, sehingga terjaduilan kekerasan verbal, adu mulut, pelecehan, penghinaan, dan lain-lain. Jangan sampai tangan dan kaki kita juga ikut meluapkan kemarahan kita dengan cara apapun, sehingga terjadilah pemukulan, penendangan, bahkan pembunuhan.
Dengan menahan diri tersebut, pasti kita akan selamat dari bahaya yang ditimbulkan oleh amarah. Setidaknya, meskipun batin tak tertahankan dari amarah, jika diri masih tertahan oleh kesadaran kita, kita pasti tidak akan melakukan kerusakan. Menahan diri dapat juga diartikan dengan diam saja. Nabi bersabda,
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله ﷺ قال: ليس الشَّديدُ بالصَّرْعةِ . إنَّما الشَّديدُ الَّذي يملِكُ نفسَه عند الغضبِ [رواه مسلم]
“Orang yang kuat bukanlah orang yang keras pukulannya. Melainkan, orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya saat marah.”
2. Meminta perlindungan kepada Allah dari pengaruh setan
Untuk menahan diri agar mulut kita tidak ikut meluapkan amarah, kita dapat mengalihkan luapan itu menjadi kalimat doa memohon perlindungan. Yaitu, dengan membaca membaca A’udzubillahi minasy-syaithaanir-rajiim. Atau, dengan kalimat thayyibah lainnya. Dengan demikian, pasti mulut kita akan terjaga dari tajamnya lidah dan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh terpelesetnya lidah.
وَإِمّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيطانِ نَزغٌ فَاستَعِذ بِاللَّهِ إِنَّهُ سَميعٌ عَليمٌ
“Jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah.” (Qs. al-A’raf: 200)
Nabi juga bersabda,
عن سليمان بن صرد قال: كنتُ جالسًا معَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ورجلانِ يَستَبَّانِ، فأحدُهما احمَرَّ وجهُه وانتفخَتْ أوداجُه، فقال النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: إني لأَعلَمُ كلمةً لو قالها ذهَب عنه ما يَجِدُ، لو قال: أعوذُ باللهِ منَ الشيطانِ، ذهَب عنه ما يَجِدُ. [ رواه البخاري ]
“Saat aku sedang duduk-duduk bersama Nabi, ada dua orang yang beradu mulut saling mencela. Salah satunya sampai memerah wajahnya dan mengeras urat-ototnya. Lalu Nabi bersabda, ‘Sungguh, aku tahu satu kalimat yang kalau ia ucapkan kalimat itu, pasti amarahnya akan reda. Kalau ia maumengucapkan A’udzubillahi minasy-syaithaan (Aku berlindung kepada Allah dari setan), pasti perasaan yang ia dapati saat ini akan hilang.” Tutur Sulaiman bin Shard berkesan. (HR. al-Bukhari)
3. Mengubah posisi diri
Jika saat kita telah menahan diri dan memohon perlindungan dari setan, masih juga belum reda marahnya, maka Nabi mengajarkan kita untuk mengubah posisi diri kita. Kita harus bergerak. Jika kita marah dalam posisi duduk, maka kita harus berdiri untuk meredakan amarah. Jika kita marah dalam posisi berdiri, maka kita harus segera duduk atau berbaring.
عن أبي ذر الغفاري رضي الله عنه قال: إن رسول الله ﷺ قال لنا: إذا غضِب أحدُكم وهو قائمٌ فلْيجلِسْ فإنْ ذهَب عنه الغضبُ وإلَّا فلْيضطجِعْ [رواه أحمد]
“Jika di antara kalian ada yang sedang marah, sedangkan ia dalam posisi berdiri, maka hendaklah ia segera duduk. Jika tidak hilang juga amarahnya, maka hendaklah segera berbaring.” (HR. Ahmad)
Itulah cara bertakwa saat dalam kondisi marah. Simpel, bukan? Selamat mencoba, semoga kita benar-benar menjadi hamba Allah yang bertakwa (muttaqin) dan senantiasa berbuat baik (muhsinin).
Artikel ini sebelumnya pernah dimuat di WIKIHADIS.ID