Kapan Kita Dibolehkan Marah? Ini Jawaban Imam al-Ghazali

Kapan Kita Dibolehkan Marah? Ini Jawaban Imam al-Ghazali

Kata al-Ghazali, marah tidak boleh dihilangkan, karena ada waktu tertentu kita dibolehkan marah.

Kapan Kita Dibolehkan Marah? Ini Jawaban Imam al-Ghazali
Ilustrasi orang yang sedang marah. Foto: (tradingpsychologyedge.com)

Jagat maya sedang dihebohkan dengan sebuah video kemarahan salah seorang dai kondang di Indonesia. Sebelumnya beredar pula video seorang artis dunia yang menampar pembawa acara di atas panggung dalam sebuah acara penganugerahan artis terfavorit. Mereka marah karena alasan tertentu. Lalu kapan kita dibolehkan marah?

Marah merupakan sifat manusiawi. Dalam diri manusia terdapat potensi marah yang biasanya muncul ketika seseorang menghadapi atau mengalami hal-hal yang menyakiti perasaannya, seperti dihina, dipukul, disakiti anggota keluarganya, kegagalan, dan semacamnya.

Meski demikian, manusia masih dapat mengendalikan amarah yang ada pada dirinya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra., disebutkan:

أَن رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ, مُرْنِيْ بِعَمَلٍ وَأَقْلِلْ. قَالَ: لَا تَغْضَبْ. ثُم أَعَادَ عَلَيْهِ, فَقَالَ: لَا تَغْضَبْ. (رواه البخاري)

Seorang lelaki berkata: “Ya Rasulallah, perintahlah aku dengan sebuah amalan, dan sedikitkan (kadar amalan itu).” Rasulullah menjawab: “Jangan marah.” Kemudian Rasulullah mengulanginya: “Jangan marah.”  (H.R. Bukhari) (Al-Ghazali, Ihya`, Jil. 3, h. 204)

Menahan marah merupakan salah satu sifat orang-orang bertakwa, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ali Imran [3] ayat 134.

(yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. (Terjemah Kemenag, 2019)

Marah sebenarnya bukanlah potensi negatif, melainkan netral. Potensi tersebut tidak perlu dihilangkan, tetapi hanya perlu dikendalikan agar tidak hilang maupun meningkat kadarnya. Hilangnya kemarahan dapat membuat seseorang tertindas. Sebaliknya, peningkatan kadar marah hingga tidak terkontrol dapat memunculkan tindakan kekerasan hingga perusakan.

Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H) menyebut dua kondisi ketika potensi marah keluar dari batas netral dengan at-tafrith (التفريط) dan al-ifrath (الإفراط). At-tafrith adalah kondisi ketika seseorang kehilangan potensi marah, dengan kata lain ketika seharusnya ia marah malah tidak bisa meluapkannya. Hal ini digambarkan dalam perkataan Imam as-Syafi’i (w. 204 H) yang dikutip oleh al-Ghazali dalam kitab Ihya` (Jil. 3, h. 207).

من استغضب فلم يغضب فهو حمار

Barangsiapa yang dibuat marah namun tidak marah maka ia (seperti) keledai.

Sedangkan, al-ifrath adalah kondisi ketika potensi marah tidak terkontrol hingga seseorang tidak lagi mampu melihat, berpikir, dan menentukan tindakannya secara jernih. Salah satu faktor yang dapat memunculkan kondisi ini adalah adanya keberanian yang dimiliki seseorang, sehingga membuatnya merasa tidak ada yang dapat menghalanginya untuk meluapkan amarahnya.

Mengapa manusia hanya perlu mengendalikan amarah dan bukan menghilangkannya? Hal ini dikarenakan dalam kondisi tertentu seseorang harus meluapkan amarahnya. Ada saat-saat tertentu kita dibolehkan marah. Al-Ghazali memetakan waktu ketika seseorang dibolehkan marah, bahkan harus marah. (Al-Ghazali, Ihya`, Jil. 3, h. 209-210)

Pertama, kebutuhan pokok atau primer yang menjadi hak setiap orang, seperti rumah, pakaian, kesehatan, dan sebagainya. Apabila kebutuhan pokok seseorang diusik, maka ia berhak marah. Misalnya, ketika ia dipukul padahal ia tidak bersalah, maka ia berhak marah. Sehingga, konteks di sini adalah marah dalam rangka membela diri, itupun tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Atau seseorang bisa memilih tindakan yang lebih mulia, yaitu dengan bersabar.

Kedua, kebutuhan tambahan atau sekunder, seperti harta yang banyak (yang seandainya berkurang pun kebutuhan hidupnya masih bisa terpenuhi), hewan ternak, dan semacamnya. Apabila kebutuhan ini yang diusik, maka ia tidak berhak untuk marah.

Ketiga, kebutuhan pokok bagi sebagian orang, tapi tidak bagi sebagian yang lain. Misalnya, kitab adalah kebutuhan pokok bagi seorang santri, namun bukan bagi seorang dokter. Jika ada seorang yang menghilangkan atau membakar kitab tersebut, maka sang santri berhak marah, namun tidak demikian dengan sang dokter.

Menurut penulis, nampaknya Al-Ghazali menekankan bahwa marah diperlukan hanya dalam keadaan darurat, itupun sebenarnya hanya untuk membela diri. Adapun ketika terkait dengan kebutuhan sekunder, beliau menilai hal itu tidak perlu dipusingkan. Karena sejatinya apa yang perlu kita simpan dan pertahankan hanyalah sebatas apa yang kita butuhkan. (AN)

Wallahu A’lam.