Dalam konteks perpolitikan global, setidaknya gejala tentang Islam sebagai politik ditandai dengan munculnya berbagai organisasi Islam dengan beragam cita-cita. Misalnya Hizb Tahrir (HT), Ikhwanul Muslimin (IM), Jamaah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Semua organisasi tersebut memahami arti islam sebagai ajaran yang menyeluruh dalam bentuk politis.
Secara umum terdapat dua faktor yang menyebabkan munculnya organisasi tersebut. Pertama faktor internal umat Islam; kedua faktor eksternal. Faktor internal ditandai dengan masih banyaknya umat Islam terjebak dalam dominasi keilmuan klasik, sehingga sulit untuk menerima ilmu dari dunia lain. Sedangkan dari faktor eksternal disebabkan karena terjadinya dominasi oleh kapitalisme global yang merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat muslim.
Melalui ekspansi tersebut para penjajah secara tidak langsung menghegemoni segala bidang kehidupan masyarakat. Akibatnya, umat Islam merasa terjajah dan terpinggirkan oleh modernitas dan sistem kapitalisme yang dibawa oleh penjajah. Melalui pengalaman pahit yang selama masa penjajahan, umat Islam di Timur Tengah mulai mengambil sikap melawan terhadap dominasi Barat.
Namun perlu diketahui bahwa upaya perlawanan yang dilakukan oleh umat Islam di Timur Tengah sebagai gerakan yang semua. Pasalnya, gerakan-gerakan Islamis menginginkan bentuk negara Islam berdasarkan kekhalifahan, namun pada kenyataannya saat ini semua negara di Timur Tengah mengambil bentuk nation-state.
Di tengah hegemoni Barat dengan ilmu pengetahuan dan dunia modernitas, bentuk akhir dari perjuangan umat Islam di Timur Tengah mau tidak mau mengikuti tren global dengan membangun sebuah nation-state. Jika sudah demikian yang terjadi, apakah negara-negara di Timur Tengah bisa kembali ke masa lalu dengan mendirikan sebuah bentuk kekhalifahan atau sistem negara Islam di era modern?
Upaya Yang Utopis
Peradaban manusia saat ini sedang menuju dunia modern. Apabila sebuah negara atau bangsa ingin berkembang atau sekedar bertahan maka ia harus berdampingan dengan dunia modernitas beserta perangkat-perangkatnya. Namun sebaliknya, apabila mereka tidak mau berdampingan dengan gerak perubahan zaman maka ia akan tertinggal.
Maka dari itu, sebab utama kegagalan kemajuan dari dunia Arab secara umum diakibatkan oleh kurangnya keterbukaan dengan dunia modern. Hal ini disebabkan karena mereka masih beranggapan bahwa dunia modern tidak sesuai dengan Islam, sehingga mereka mengambil sikap untuk membaca ulang tradisinya untuk dijadikan sebagai landasan historis.
Pembacaan atas tradisi tersebut juga melibatkan diskursus tentang sikap mereka terhadap sistem negara-bangsa yang diciptakan oleh dunia modern. Melalui pembacaan tentang ajaran agama yang menyeluruh, organisasi-organisasi di atas berpendapat bahwa Islam juga mengajarkan tentang politik. Islam tidak hanya bicara tentang Tuhan semata, melainkan juga menata mulai dari bentuk komunitas terkecil yaitu keluarga hingga negara.
Maka dari itu, mereka menolak gagasan sistem negara-bangsa yang diciptakan oleh dunia modern. Menurutnya sistem tersebut bukan merupakan ajaran Islam, sehingga tidak perlu diikut. Lantas pertanyaan kemudian adalah bentuk negara seperti apa yang hendak dicapai? Bukankah saat ini tidak ada negara Islam yang bisa menjadi acuan? Bukankah saat ini semua menggunakan sistem negara-bangsa?.
Melihat fenomena yang terjadi di dunia Arab-Islam tentu mendirikan sebuah negara Islam, baik bentuk khilafah maupun lainnya, merupakan upaya yang utopis. Hal ini disebabkan karena peradaban dunia sedang berjalan ke arah modernitas. Manusia tidak bisa meninggalkan gerak kebudayaan ini dengan hanya berjalan di tempat. Umat Islam sudah semestinya juga mengembangkan dirinya untuk bisa survive di kancah lokal maupun global.
Meski ada sebagian negara yang mengistilahkan negara mereka Islam namun bukan berarti memang demikian. Sebab di dalam ajaran Islam tidak ada bahasan secara detail tentang indikator-indikator sebuah negara dikatakan Islam, yang ada hanyalah nilai-nilai yang bersifat universal. Ada perkataan menarik dari mantan Rektor Al-Azhar yang menyaksikan kehidupan masyarakat Eropa tentang universalitas ajaran Islam. Abduh mengatakan bahwa ‘aku melihat Islam (di sana) namun tak melihat seorang muslim’.
Maka dari itu, tidak ada pilihan lain selain mengikuti gerak perubahan kebudayaan manusia saat ini. Secara historis maupun normatif, Islam sedari awal juga sudah mengajarkan untuk selalu menyesuaikan dengan zamannya. Penyesuaian ini membutuhkan sebuah perangkat metodologi untuk membaca khazanah Islam untuk bisa bersaing pada tingkat lokal maupun global.
M Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.