Pakistan, Negara Islam dengan Konflik Berkepanjangan

Pakistan, Negara Islam dengan Konflik Berkepanjangan

Kita bisa belajar dari kesalahan-kesalahan Pakistan sebagai negara dengan konsep Islam

Pakistan, Negara Islam dengan Konflik Berkepanjangan

Sudah beberapa hari ini kabar mengenai persekusi warga Syi’ah di Pakistan selalu hadir di notification news twitter saya. Kalau boleh jujur, sedih memang melihat perkembangan negeri yang melandaskan Islam sebagai dasar negaranya ini. Mungkin sedih dan kecewa juga para pendirinya seperti Muhammad Iqbal, M. Ali Jinnah, Muhamad Asad, dkk. Dimana seiring dengan majunya perkembangan dunia kontemporer, negara berjuluk “Seribu Cahaya” ini malah sering disibukkan dengan problem Sektarian. Setuju atau tidak, sikap ini mencerminkan bagaimana masyarakat yang belum dewasa dalam berbangsa.

Dulu, salah satu kenapa para founding fathers Pakistan memisahkan diri dari India—tahun 1947—adalah karena umat Islam di sana ingin mendapatkan haknya. Haknya untuk beragama, haknya untuk menjadi warga yang sejajar dengan warga Hindu di India, dan tentunya haknya untuk merdeka. Meskipun, tidak semua warga muslim di India kala itu legowo dengan pemisahan oleh Kerajaan Inggris ini, kenapa? Jelas karena muslim di India akan menjadi semakin sedikit (minoritas).

Akan tetapi, agak ironi memang, setelah para pendirinya bersusah payah mendirikan bangsanya (tentunya melalui perdebatan panas di antara mereka) dan mencari dalil-dalil al-Qur’an maupun hadist yang tepat untuk menjadi dasar negaranya, ternyata setelah 73 tahun merdeka dan memisahkan diri dari India, Pakistan masih belum bisa keluar dari sekat yang saya sebut sebagai “Superioritas-Mayoritas”. Dalam arti, ternyata mayoritas yang superior seringkali diuji kebijaksaan dan keadilannya dalam memperlakukan minoritas. Padahal, ia (masyarakat muslim Pakistan) juga pernah merasakan getirnya menjadi minoritas di India.

Perasaan superior sebagai mayoritas ini bisa berdampak baik namun bisa juga berdampak buruk. Inilah kenapa, sebagai mayoritas muslim Sunni, Pakistan sedang duji untuk menghormati warga muslim lain yang bukan Sunni, melainkan Syi’ah. Lihat saja video yang di-share oleh salah satu aktifis Syi’ah Pakistan, Asad Gokal, dan viral di medsos baru-baru ini (17/09/2020). Yel-yel yang diteriakkan warga di sepanjang jalanan kota Karachi hampir sama, “Syi’ah Kafir, Syi’ah Kafir”. Jangan-jangan, ada juga yang dengan lantang mengucapkan, “Syi’ah halal darahnya”. Na’udzubuillah. Semoga asumsi saya yang terakhir ini tidaklah benar.

Sebagaimana diketahui, Syi’ah adalah 15 % dari 220 juta total penduduk warga Pakistan (97% muslim). Dalam beberapa tahun terakhir warga Syi’ah juga sudah sering dipersekusi. Berdasarkan salah satu sumber yang dikutip NowthisNews, setidaknya 23 ribu Syi’ah terbunuh sejak tahun 1963 oleh kelompok anti-Syi’ah. Masih menurut Asad Gokal, dalam 15 hari terakhir, ribuan protester memenuhi jalanan untuk menekan masyarakat Syi’ah. Mereka ini termasuk kelompok Sipah-E-Sahaba/SPP (Penjaga Sahabat Nabi) yang mengaku Sunni.

Agar informasi tidak berat sebelah, saya mencoba bandingkan dengan sumber lain. Aminesh Raul dalam Sipah-e-Sahaba: Fomenting Sectarian Violence in Pakistan mengatakan bahwa SPP adalah sebuah organisasi Islam militan dan kelompok sektarian terbesar di negara itu. Ia telah dilarang oleh Presiden Pervez Musharraf pada 12 Januari 2002 karena dituduh terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan teroris danlebih dari 1.500 anggotanya ditangkap.

Akan tetapi, setelah dilarang Perves, Maulana Azam Tariq (ketua saat itu) mengganti nama organisasi SPP dengan Milat-e-Islamia Pakistan (MIP), inkarnasi ketiga kelompok tersebut. Target utama mereka adalah komunitas Syiah di Pakistan. Pernyataan Aminesh di atas juga diperkuat sumber lain seperti  web resmi stanford university dan ensiclopedia.com.

Melihat fenomena persekusi di atas, persoalan yang muncul kemudian adalah bahwa meski tahun 2002 organisasi sayap keras seperti SPP telah dilarang, namun nyatanya aksi persekusi para pendukungnya—dengan berbagai kamuflase yang berbeda—tidak mampu diredam oleh negara, dalam hal ini pemerintah Pakistan.

Memang, sepertinya problem umat Islam secara global dari dulu—terlebih setelah kemundurannya—hingga sekarang masih berkutat pada persoalan-persoalan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Kata sebagian ulama’, “Jangan berfokus pada perbedaan yang kita punya, tetapi carilah titik temu dari setiap perbedaan kita”. Ketidak mampuan mencari kalimatun sawa’ inilah yang menjadikan Pakistan tidak bisa keluar dari lubang jarum yang bernama “konflik”.

Pakistan mungkin menjadi satu dari sekian negara berlandaskan Islam yang “kegagalannya” dalam mengelola konflik patut kita jadikan pelajaran. Bukan berarti Indonesia sudah bebas dari konflik minoritas-mayoritas. Namun, negeri yang berlandaskan Pancasila ini, agak lebih baik bila dibanding Pakistan dalam hal pengelolaan konfliknya.

Karena itu, jangan sampai negara yang sudah ditopang dan dijaga dengan baik oleh ormas Islam moderat seperti NU, Muhammadiyah  dan ormas lain gampang digoyang oleh isu-isu yang memecah belah. Selama masih menjadi mayoritas, tebarlah senyum dengan semuanya, lebih-lebih mereka yang minoritas. “Tidak enak menjadi minoritas itu, yakinlah”.

Allahu A’lam.

 

Sumber:

https://twitter.com/nowthisnews/status/1309138770948689922

https://www.encyclopedia.com/politics/legal-and-political-magazines/sipah-e-sahaba-pakistan-ssp

https://web.stanford.edu/group/mappingmilitants/cgi-bin/groups/view/147

https://jamestown.org/program/sipah-e-sahaba-fomenting-sectarian-violence-in-pakistan/