Tahukah Anda bahwa naskah berbahasa Bali juga ditulis dengan aksara Arab (Pegon)? Suatu cara tulis dengan menggunakan aksara Arab dalam Bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan terakhir kali penulis menemukan manuskrip pegon dalam Bahasa Bali (lihat gambar 1) disebut sebagai Pegon.
Nah perbincangan antara penulis dan Dick van der Meij, profesor bidang pernaskahan nusantara di Perpustakaan Universitas Leiden siang kemarin (1 Agustus, 2017) adalah antara seorang calon mahasiswa yang berharap diterima oleh calon supervisor disertasinya tentang pegon. Tepatnya, kami membicarakan tentang proposal disertasi penulis mengenai sejarah pegon lahir, berkembang, dan penggunaan pegon hingga sekarang.
Ini memang tema besar. Namun, anehnya belum pernah ditulis serius dalam sebuah karya ilmiah.
Tanggapan dari pak Dick, panggilan akrabnya, sangat positif. Dia memberikan masukan tentang beberapa hal penting yang luput dielaborasi dalam latar belakang proposal itu.
Dengan mengajukan pertanyaan mengapa pegon sangat jauh tertinggal untuk dikaji daripada aksara lainnya misalnya Jawi, sistem tulis dengan aksara Arab dalam Bahasa Melayu, penulis bisa menambahkan suatu paparan yang menjadikan kajian ini lebih berbobot akademis, bukan sekadar kajian aksara. Ambil sebagai contoh unsur politis kolonial Belanda yang ingin menjauhkan kebudayaan Jawa dari Islam, terangnya, akan memberikan penempatan ruang dan waktu (positioning) pada kajian ini.
Tendensi kolonialis ini, misalnya, mewujud dalam usahanya untuk memisahkan dua jalur silsilah raja-raja Jawa, yang dia sebut “jalur kiri” dan “jalur kanan”. Meskipun keduanya bertitik mula pada Adam, kedua jalur ini berpisah pada satu simpang. Jalur kiri, menurutnya, adalah silsilah yang menetapkan Pandawa sebagai leluhur para raja itu.
Sedangkan silsilah kanan menetapkan bahwa para penguasa Jawa adalah anak turun para nabi hingga nabi Muhammad, lalu diteruskan oleh ahli warisnya, yaitu para kiai, hingga Raja Pakubuwono I. Tentu saja ini adalah cara keraton untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa Jawa adalah perpaduan dari dua jalur kebudayaan besar.
Namun yang menarik bagi penulis adalah pernyataan pak Dick bahwa Kebudayaan Jawa dan Islam tidak dapat dipisahkan. Keduanya, terang pak Dick lebih lanjut, adalah dua sisi dari satu koin yang sama.
Bagi penulis hal ini sangat menarik karena diungkapkan seorang orientalis Belanda. Sebelumnya penulis merasa seakan ada sudut pandang bersama dari kelompok orientalis terhadap hubungan keduanya, yaitu dalam bingkai pertikaian dan perebutan kuasa dan pengaruh.
Maka bagi penulis pandangan di atas menjadi petunjuk mengapa usaha untuk memisahkan keduanya merupakan kesia-siaan belaka.
Di masa lalu, Kolonialisme Belanda melihat unsur Islam di masyarakat Jawa sebagai musuh yang mengancam keberlangsungan hidupnya. Oleh karenanya, unsur Islam terus-menerus secara sistematis disingkirkan dari kebudayaan dan kesadaran masyarakat Jawa. Tidak heran jika mulai dari akhir abad kesembilan belas, yang dimaksud dengan Kesusastraan Jawa menyempit hanya pada karya sastra keraton yang ditulis dengan aksara Jawa (hanacaraka).
Akibatnya, karya sastra dalam tulisan Pegon tidak mendapat perhatian akademis. Akibat tambahannya, suluk-suluk tasawuf dalam aksara tersebut seakan kalah kualitasnya dari yang beraksara Jawa. Barangkali sejak saat itu, Pegon kehilangan daya tarik intelektualnya.
Meskipun usaha ini tidak dapat dinilai berhasil, penulis menilai bahwa ia tetap saja meninggalkan pengaruh pada cara pandang kita. Dipercayai ataupun tidak, kenyataannya muncul tendensi di sebagian masyarakat santri di Jawa untuk membenarkan cara pandang kolonialisme bahwa Islam dan Jawa tidak bisa berjalan beriringan. Lebih tepatnya, penulis melihat bahwa tampaknya tumbuh suatu sudut pandang masyarakat santri di Jawa masa kini yang berusaha menjalan Islam dengan menyingkirkan berkebudayaan Jawa darinya.
Setiap usaha yang menjadikan kebudayaan sebagai media ekspresi beragama dituduh dengan nama buruk sebagai “Kejawen”, “pengikut tradisi pra-Islam”, dan sebutan nyinyir lainnya. Ambil contoh pada pertunjukan wayang. Tanpa melihatnya sebagai media penularan nilai-nilai luhur yang efektif, termasuk nilai-nilai luhur suatu agama, seni pewayangan dianggap sebagai persamaan total dengan memuja dewa-dewa pra-Islam, dan melihatnya saja bahkan diharamkan oleh sebagian golongan.
Entah mulai kapan kecenderungan ini hadir, yang jelas bagi penulis bahwa eksklusivisme ini bertolak belakang dengan apa yang dikembangkan oleh para juru dakwah agama di tanah Jawa. Penulis mendasarkan pandangannya pada manuskrip-manuskrip pegon yang dia kaji selama menempuh studi S2 di Vrije University, Amsterdam.
Pada naskah-naskah Pegon itu, ekspresi kebudayaan dijadikan sebagai usaha beragama secara utuh. Ambil sebagai contoh suluk-suluk yang lahir dengan menggunakan aksara pegon. Sangat kuat diduga mereka lahir dari tradisi sub-kultur pesantren, kelompok yang dinilai sangat ortodoks. Sama sekali keluar dari kekakuan anggapan ortodoksi di masa kini, faktanya suluk-suluk itu menggambarkan bagaimana ekspresi keislaman dan Jawa bisa saling berjalin berkelindan mendukung eksistensi masing-masing. Hal ini bisa dilihat melalui fakta bahwa suluk-suluk itu tidak ditulis dalam Bahasa Arab dan tidak pula mereka mengikuti aturan puisi Arab. Ajaran-ajaran tasawuf dalam suluk-suluk itu disusun dalam Bahasa Jawa dengan aturan puisi Jawa pula, metrum macapat. Secara ringkas mereka merupakan bentuk pribumisasi ajaran tasawuf, kebatinan Islam, dalam alam pikiran masyarakat Jawa (lihat gambar 2).
Contoh lainnya adalah bagaimana ajaran tasawuf masa lalu memberi daya hidup bagi lahirnya ekspresi pamor-pamor keris. (lihat gambar 3). Sebuah manuskrip mengabadikan tiga belas rancangan gambar pada bilah keris yang lahir dari dua dari tujuh tahapan emanasi eksistensi Tuhan (maratib al-wujud). Penulis berpandangan bahwa sekarang ini cukup sulit untuk menemukan usaha penciptaan sebuah karya seni yang bercirikan lokalitas yang menjadikan suatu doktrin agama sebagai pendorong utamanya.
Kembali kepada pernyataan pak Dick di depan, penulis tergelitik untuk mengungkapkan beberapa pertanyaan.
Bukankah usaha mengisolasi Islam dari kebudayaan tempatnya hidup adalah “pemerkosaan” terhadap sebuah proses yang wajar dari kehidupan beragama dan berbudaya kita? Bukankah ini adalah tindakan yang kita kutuk bersama ketika dilakukan pihak kolonial Hindia-Belanda, lalu kenapa kita justru melakukannya sekarang? Untuk melawan apa yang dianggap sebagai kecenderungan umum memang mudah diucapkan, tapi sulit dilakukan, bukan?
Oleh Nur Ahmad, Wakil Sekretaris PCINU Belanda, Mahasiswa Master’s Vrije Univeristy, Amsterdam.