Menyambut Lailatul Qadar ala Warga Desa: Tradisi Selikuran dan Pitulikuran di Pati

Menyambut Lailatul Qadar ala Warga Desa: Tradisi Selikuran dan Pitulikuran di Pati

Malam lailatul qadar dinanti-nanti oleh umat Muslim di bulan Ramadhan. Tak terkecuali warga desa Terteg, Pucakwangi Pati.

Menyambut Lailatul Qadar ala Warga Desa: Tradisi Selikuran dan Pitulikuran di Pati
credit: twitter @muslimahhasanah

Kabupaten Pati terkenal dengan julukan “Bumi Mina Tani”, mengingat mayoritas warganya bermata pencaharian menjadi petani. Bagi masyarakat agraris seperti Pati, terdapat ciri khas tersendiri saat bulan Ramadhan, yakni dengan turut andil meramaikan suasana sebelum Ramadhan dengan adanya tradisi megengan. Setiap daerah di Pati memiliki caranya masing-masing dalam melaksanakan tradisi megengan, salah satunya terdapat di desa Terteg kecamatan Pucakwangi kabupaten Pati. Selain megengan, di dalam bulan Ramadhan juga terdapat tradisi selikuran dan pitulikuran, yang bertujuan menyambut datangnya lailatul qadar.

Desa Terteg yang merupakan bagian dari kecamatan Pucakwangi kabupaten Pati menyambut bulan Ramadhan dengan tradisi megengan. Tradisi ini selalu dilaksanakan setiap tahun oleh masyarakat Terteg, dengan membawa makanan sego kondangan. Makanan ini terdiri dari nasi yang diletakkan dalam wadah cething, yang beralaskan kertas minyak dan ada lauk pauk berbagai rupa menyesuaikan masakan rumah masing-masing ibu rumah tangga. Makanan ini dibawa ke mushalla masing-masing RT dan dilakukan doa serta mengirimkan tahlil kepada ahli kubur. Dan sebelum pembacaan doa serta tahlil, warga mengumpulkan kartu yang berisi nama-nama ahli kubur kepada pemimpin tahlil.

Ada yang istimewa dalam tradisi masyarakat desa Terteg guna menyambut bulan Ramadhan tahun ini, yakni melaksanakan arak-arakan hasil bumi dengan membentuk kerucut dengan tinggi sekitar satu meter. Titik bermula dari lokasi balai desa memutari desa Terteg ke arah utara melalui jalan samping madrasah Matholi’ul Ulum dan titik terakhir guna memperebutkan hasil bumi berada di lapangan yang berada di ujung selatan desa Terteg. Tradisi ini dilestarikan kembali oleh masyakarat setelah berpuluh-puluh tahun terlupakan, dipelopori oleh pemuda karang taruna dan berkolaborasi bersama perangkat desa dan masyarakat Terteg.

Tradisi memang terus berebut ruang dengan modernisasi. Meski demikian, tradisi ini masih dilestarikan oleh masyarakat desa Terteg dalam kegiatan membumikan tradisi Ramadhan.

Selain megengan, masyarakat desa juga mengadakan tasyakuran yang disebut dengan selikuran, sesuai dengan namanya maka tasyakuran ini dilaksanakan pada malam selikur (Jawa: dua puluh satu) Ramadhan setelah melaksanakan sholat tarawih bersama di mushola masing-masing RT. Tradisi ini hanya ada di desa Terteg dengan ciri khasnya adalah penggunaan beras ketan sebagai bahan utama, biasanya untuk menambah cita rasa ada yang ditambah dengan kacang merah, ada juga yang menggunakan serundeng terbuat dari parutan kelapa yang digoreng kemudian ditaburkan di atas nasi. Makanan ini disebut dengan nama kolot, diletakkan di dalam wadah cething dan terdapat lauk pauk yang beraneka macam.

Tata cara dalam tradisi “selikuran” seperti halnya tahlilan dan kirim doa, dilanjut dengan makan bersama para jama’ah salat tarawih. Selain sebagai momentum kebersamaan dan menjunjung tinggi nilai sosial dalam kemasyarakatan, “selikuran” juga bertujuan sebagai penanda bahwa malam lailatul qadar semakin dekat dan ramadhan akan segera berakhir. Oleh karenanya, masyarakat setempat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya guna menyambut datangnya malam yang lebih baik diantara seribu bulan yakni malam lailatul qadar. Kegiatan rutinan terus digiatkan oleh jama’ah, diantaranya tadarus Al-Qur’an yang dilaksanakan setiap selesai salat subuh dan salat tarawih. Masyarakat tetap semangat dalam melantunkan kalam ilahi walau sudah khatam untuk kedua kali.

Beda RT beda juga cara selikurannya, karena tidak ada patokan khusus dalam pelaksanaan selikuran dalam bulan Ramadhan. Ada yang menggunakan daun pisang guna membungkus makanan yang ditaruh dalam wadah cething, dengan menu makanan yang sama kemudian bertukar makanan dan makan bersama di mushola. Semuanya memiliki niat dan tujuan yang sama, yakni mendekatkan diri kepada sang Pencipta di bulan yang penuh berkah dan ampunan dari-Nya. Begitulah adanya, masyarakat Terteg memang akrab dengan berbagai perbedaan, namun tetap menekankan kebersamaan.

Tidak berhenti di selikuran saja, seminggu setelahnya masyarakat desa Terteg akan mengadakan tasyakuran sekaligus khotmil qur’an yang disebut dengan pitulikuran. Setiap kepala keluarga wajib mengeluarkan iuran sesuai dengan jumlah yang disepakati oleh jama’ah di mushola, sedang ibu-ibu akan sibuk mempersiapkan olahan makanan yang bertempat di salah satu rumah warga RT dan lebih dekat dengan mushola. Makanan yang disajikan saat pitulikuran berbagai macam, ada sego uduk yang proses pembuatannya dari beras dicampur santan, ada ingkung yang merupakan ayam utuh dimasak dengan bumbu, dan ada nasi kondangan. Setelah acara khatmil qur’an dilaksanakan, makanan disajikan beralaskan daun jati dan dimakan bersama dengan jamaah tarawih yang datang.

Tradisi yang terus berkesinambungan tak hanya itu, masyarakat Terteg juga turut serta merayakan malam hari raya pada tahun 2021 setelah pandemi corona menyerang di tahun 2020. Obor yang menyala sepanjang jalan, bendera serta umbul-umbul yang dikibarkan dan gema takbir yang bersahutan merupakan pertanda bahwa bulan mulia akan tergantikan dengan hari raya yang tengah dinantikan. Berbagai lapisan masyarakat turut berpartisipasi menggemakan takbir mengelilingi desa dengan membawa role model RT masing-masing, dan puncaknya berada di balai desa dengan penentuan pemenang.

Ramadhan adalah bulan keberkahan, penuh dengan ampunan, pahalanya akan dilipat gandakan, dan di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan. Sudah sepantasnya bagi hamba yang mengharap ridha-Nya menjalani ibadah yang lebih banyak dan lebih ikhlas dibanding 11 bulan sebelumnya yang telah terlewat begitu saja. Hal ini juga sama halnya akan tradisi lokal yang ada, pentingnya kesadaran penuh dari masyarakat desa Terteg akan tradisi agar tetap membumi hingga anak cucu mendatang di masa depan nanti.

*Artikel ini adalah konten kerjasama Islamidotco dengan Sharia International Center IAIN Salatiga