Dalam salah satu kitabnya, Imam al-Ghazali meracik formula untuk menemukan kebahagiaan.
Jika kamu berkata, “Aku telah mengerti diriku sendiri,” sejatinya yang kamu ketahui adalah tubuh bagian luar yang terdiri dari tangan, kaki, kepala, anggota lainnya, bukan substansi diri yang sesungguhnya. Perhatikan, jika kamu marah lantas, mencari permusuhan; Jika kamu berhasrat, lalu yang kamu cari adalah pernikahan; Jika kamu lapar, kamu mencari maka; dan jika kamu haus kamu mencari minuman, maka jika ternyata benar dirimu demikian, tentu hewan-pun menyaingimu dalam semua urusan itu. Karenanya yang wajib bagimu adalah mengetahui hakikat dirimu yang sesungguhnya sehingga kamu mengerti dan mampu mengidentifikasi, “sesuatu semacam apa dirimu itu? Dari mana kamu datang ke tempat ini? Kenapa kamu diciptakan? Dengan apa kebahagiaanmu? Dan dengan apa pula kamu merasakan kesusahan?”
Demikian sekelumit pengantar dari Imam al-Ghazali dalam pasal tentang mengetahui diri sendiri. Satu langkah awal menuju kebagiaan.
Baca juga: Saling Berebut Ahlu Sunnah Wa Al-Jama’ah
Kimiya’ as-Sa’adah jika diterjemahkan secara bebas berarti larutan kebahagiaan. Tak jauh dari materi kimia dasar, yaitu meleburnya beragam unsur yang membentuk senyawa tertentu. Imam al-Ghazali dalam kitab ini juga bereksperimen dengan beragam zat yang ada secara kodrati dalam diri seorang manusia. Hasil dari eksperiman zat-zat kebahagiaan itu kemudian menjadi satu substansi yang sempurna dalam diri seseorang.
Imam al-Ghazali menulis, bahwa dalam diri manusia terdapat empat sifat, yaitu sifat hewan ternak, sifat hewan buas, sifat setan, dan sifat malaikat. Setiap sifat memiiki asupan kebahagiaan dan kepuasan masing-masing. Mengetahui empat hal tersebut menjadi modal awal untuk mengerti diri sendiri. Kemudian jika telah berhasil melarutkan keempatnya seorang manusia mampu menjadi paripurna.
Pertama, kebahagiaan hewan ternak. Didapat dari makan, minum, tidur, kawin. Jika obesesi kebahagiaan seseorang terletak di sini, maka cukup dengan berusaha sungguh-sungguh untuk mengoptimalkan perut dan alat kelamin.
Kedua, kebahagiaan hewan buas. Didapat dengan memukul, menyerang, memusuhi orang lain, dan beberapa perbuatan hewan buas lainnya.
Ketiga, kebahagiaan setan. Didapat dengan menipu, berbuat keburukan, dan tindakan manipulatif. Jika kebahagiaan seseorang terletak di sini, silahkan menyibukkan diri dengan kesibukan-kesibukan ala sifat-sifat itu.
Keempat, kebahagiaan malaikat yang notabene menjadi kebahagiaan utama hati manusia. Terdapat pada intensitas menyaksikan keindahan sifat-sifat ketuhanan. Dalam sifat ini tidak terdapat jalan bagi amarah dan syahwat. Karenanya jika seseorang memiliki esensi yang sama dengan malaikat, seyogyanya ia bersungguh-sungguh untuk mengetahui asal muasal dirinya hingga memahami jalan menuju kehadirat ketuhanan dan mencapai penyaksian Dzat yang Maha Indah dan Maha Luhur. Kemudian menyucikan diri dari belenggu syahwat dan amarah. Hingga puncaknya adalah seseorang mengetahui secara persis mengapa semua sifat di atas dibentuk dalam diri manusia.
Allah SWT menciptakan sifat-sifat itu tidak untuk menjadikan manusia sebagai tawanan melainkan sebaliknya, yaitu agar seseorang menundukkan semua itu untuk menempuh perjalanan kehidupan yang ia hadapi.
Masing-masing sifat di atas memiliki fungsi dan peran masing-masing. Misalnya, ada sifat yang menjadi tunggangan, ada yang sebagai senjata. Begitulah semua berjalan hingga seseorang berhasil mendapatkan kebahagiaan hakiki. Bahkan andai tujuan perjalanan tersebut terlewati maka perbaikan langkah segera dilakukan dan kembali pada tempat kebahagiaan sejati yang telah ditentukan. Tempat itulah yang menjadi tempat menetap bagi orang-orang khusus yang selalu merasakan kehadiran sifat-sifat Tuhan.
Untuk menggambarkan hal itu dapat diumpamakan diri manusia sebagai sebuah kota. Tangan, kaki dan anggota tubuh adalah masyarakat yang chaos. Syahwat adalah Adipati yang korup. Aparat keamanannya yang membabi buta dan kejam merupakan amarah. Akal merupakan perdana menteri dan hati adalah rajanya.
Jika keadaan kota dibiarkan seperti itu tentu akan hancur. Karenanya raja harus berkonsultasi dengan perdana menteri, kemudian menjadikan wali kota dan aparat di bawah kekuasaannya. Apabila langkah tersebut diambil, kerajaan akan menjadi stabil dan kota kembali dikendalikan. Sama halnya dengan keadaan yang ada pada diri manusia, hati terus berdialog dengan akal, sedangkan syahwat dan amarah harus mampu menurut di bawah perintahnya, hingga pada akhirnya diri menjadi mapan/kokoh serta menjadi sebab kebahagiaan dalam menuju pengetahuan Ilahiyyah (Makrifat).
Sempurnanya kebahagiaan dibangun berdasar tiga aspek, yaitu kekuatan amarah kekuatan syahwat, dan kekuatan ilmu atau akal. Hal fundamental yang perlu dilakukan adalah menjadikan ketiganya proporsional dan seimbang. Kekuatan amarah jika berlebih akan melahirkan kepandiran, kekerasan bahkan pembunuhan. Jika minim akan menghilangkan semangat keagamaan dan perlindungan terhadap urusan dunia. Begitu pula kekuatan syahwat jika berlebih maka akan menjadikan kefasikan. Jika pudar akan menjadi kelesuan tanpa gairah dan sikap fatalistik. Jika seimbang akan menjadi ‘Iffah (menjaga kehormatan), Qanaah, dan sifat mulia lainnya.
Baca juga: Dakwah Jangan Asal-Asalan, Ini Dua Indikator Kesuksesan Dakwah Menurut Prof. Quraish Shihab
Walhasil, jika semuanya telah larut secara utuh secara sempurna saat itulah seorang hamba menemukan kebahagiaan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Ibarat pendaki yang berusaha menyaksikan keindahan gunung dari puncaknya. Gairah penaklukan adalah sumber energi. Indera mata sebagai penangkap pesan pertama. Akal berperan sebagai pencerna yang membuktikan keajaiban penciptaan. Dan puncaknya, hati yang merasakan kelezatan Ilahiyyah.
Apabila keindahan gunung saja telah menghabiskan tinta pena sastrawan di seluruh dunia untuk menggambarkannya dengan tulus, bagaimana dengan keindahan Sang Pencipta dan kebahagiaan yang hadir setelah memandang-Nya? (AN)
Wallahu A’lam