12 Adab Ulama Menurut Imam Al-Ghazali

12 Adab Ulama Menurut Imam Al-Ghazali

12 Adab Ulama Menurut Imam Al-Ghazali
Ilustrasi seorang ulama yang sedang mempelajari kitab.

Menjadi figur ulama berkualitas tentunya tidak hanya mereka yang mampu melihat ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an-Sunnah) dan kauniah (alam semesta), tetapi juga harus mempunyai jiwa spiritual dan adab-adab sebagai seorang ulama yang bisa mempengaruhi akhlak masyarakat dan memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya kepada kehidupan kemanusiaan.

Imam Al-Ghazali (450-505 H) dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 431) menjelaskan tentang adab-adab seorang ulama:

  آداب العالم: لزوم العلم، والعمل بالعلم، ودوام الوقار، ومنع التكبر وترك الدعاء به، والرفق بالمتعلم، والتأنى بالمتعجرف، وإصلاح المسألة للبليد، وبرك الأنفة من قول لا أدري، وتكون همته عندالسؤال خلاصة من السائل لإخلاص السائل، وترك التكلف، واستماع الحجة والقبول لها وإن كانت من الخصم

Artinya:

“Adab orang alim (guru), yakni: tidak berhenti menuntut ilmu, bertindak dengan ilmu, senantiasa bersikap tenang, tidak takabur dalam memerintah atau memanggil seseorang, bersikap lembut terhadap murid, tidak membanggakan diri, mengajukan pertanyaan yang bisa dipahami orang yang lamban berpikirnya, merendah dengan mengatakan, ‘Saya tidak tahu,’ bersedia menjawab secara ringkas pertanyaan yang diajukan penanya yang kemampuan berpikirnya masih terbatas, menghindari sikap yang tak wajar, mendengar dan menerima argumentasi dari orang lain meskipun ia seorang lawan.”

Dari kutipan di atas dapat diuraikan kesebelas adab orang alim (guru) sebagai berikut:

Pertama, tidak berhenti menuntut ilmu. Menuntut ilmu tidak ada batas akhirnya karena kewajiban ini dilakukan sejak dari ayunan ibu hingga liang lahat.

Kedua, bertindak dengan ilmu. Orang alim (guru) hendaknya bertindak berdasarkan ilmu terlebih dalam hubungannya dengan ibadah. Di luar ibadah pun, suatu tindakan juga harus sesuai dengan ilmu terkait.

Ketiga, senantiasa bersikap tenang. Orang berilmu tentu bersikap tenang dalam menghadapi berbagai persoalan. Inilah salah satu hal yang membedakan antara orang berlilmu dan orang tak berilmu. Terlebih dalam menghadapi murid-murid yang menjadi tanggung jawabnya dalam kependidikan, seorang guru hendaknya bersikap sabar dan tidak emosional.

Keempat, tidak takabur dalam memerintah atau memanggil seseorang. Orang alim (guru) dituntut meneladani sifat-sifat Rasulullah SAW sebanyak mungkin. Hal ini sejalan dengan hadis yang menyatakan bahwa ulama adalah para pewaris Nabi.

Kelima, bersikap lembut terhadap murid. Sangat tidak dianjurkan orang alim (guru) bersikap keras, apalagi kejam terhadap murid-muridnya sebab hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perilaku mereka.

Keenam, tidak membanggakan diri. Orang alim (guru) hendaknya tidak membanggakan diri atas semua prestasi yang diraihnya sebab hal ini bisa membawanya pada sikap ujub, yakni mengagumi diri sendiri yang ujung-ujungnya menimbulkan kesombongan.

Ketujuh, mengajukan pertanyaan yang bisa dipahami orang yang lamban berpikirnya. Tingkat kesulitan pertanyaan yang diajukan kepada seorang murid, misalnya, harus disesauikan dengan tingkat kemampuan berpikir atau seberapa luas pengetahuannya.

Kedelapan, merendah dengan mengatakan, “Saya tidak tahu.”

Kesembilan, bersedia menjawab secara ringkas (sederhana) pertanyaan yang diajukan penanya yang kemampuan berpikirnya masih terbatas.

Kesepuluh, menghindari sikap yang tak wajar. Seorang guru hendaknya selalu bersikap wajar terhadap murid-muridnya. Ia tidak perlu bersikap terlalu keras atau sebaliknya terlalu lembut.

Kesebelas, mendengar dan menerima argumentasi dari orang lain meskipun ia seorang lawan. Seorang guru hendaknya bersikap akomodatif terhadap argumetasi dari mana pun asalnya, termasuk dari orang yang tidak sependapat dengannya dengan cara mau mendengarkan dan mempertimbangkan untuk mengkaji kuat tidaknya argumentasi itu. Maksudnya seorang guru tidak boleh besikap apriori terhadap pendapat orang lain.

Intinya, figur ulama berkualitas tidak hanya mampu mengkaji khazanah klasik secara cerdas dan analitis, atau mampu mengikuti perkembangan zaman secara adaptis-akomodatif-kontekstual,  tetapi juga harus mempunyai jiwa spiritual yang mengandung nilai-nilai akhlak yang akan mempengaruhi karakteristik umat dalam kehidupannya.