Bagi masyarakat adat Banjar, Kalimantan Selatan, ilmu hitung-hitungan biasa digunakan untuk mengetahui baik buruknya sesuatu. Jika seseorang ingin bekerja, melangsungkan pernikahan, atau memberi nama pada seorang anak, ada hitung-hitungan tertentu yang harus dilakukan lebih dulu.
Saya yang tumbuh dalam masyarakat Banjar mengenal tradisi itu dengan istilah Babilangan. Jika itu tidak dilakukan, lalu keputusan jatuh pada hal yang dianggap kurang cocok, sesuatu yang nahas diyakini bisa saja terjadi.
Asimilasi Budaya
Sejak masuknya Islam pada abad ke 14, lewat kontrak politik Pangeran Suriansyah dengan Kerajaan Demak di Jawa, agama Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat. Kepercayaan masyarakat Banjar perihal babilangan, juga dipercayai mengakar pada percampuran budaya melayu Banjar dengan tradisi Islam.
Tradisi Babilangan menurut penelusuran Arni dan Nurul Djazimah dalam buku Babilangan Nama dan Jodoh dalam Tradisi Banjar (2011), jika ditarik hingga akarnya, akan sampai pada risalah yang ditulis oleh Imam Ja’far as-Shadiq, imam keenam dalam mazhab Syiah yang juga merupakan guru bagi imam empat mazhab; Syafi’I, Hambali, Maliki, dan Hanafi.
Risalah Imam Ja’far itu kemudian memengaruhi penulisan karya lain yang berjudul Siraj al-Zhalam fi Ma’rifat as Sa’d wa an Nahs fi al-Syahr wa al-Ayyam atau “Pelita Kegelapan untuk Mengetahui Keberuntungan dan Tidak Keberuntungan dalam Bulan dan Hari”. Dari situlah, ajaran tentang Babilangan diyakini mendasarkan pijakannya.
Masyarakat Banjar terkenal dengan berperangai awas, bahkan dalam gaya berpolitik. Untuk menentukan nama anak atau hari baik pernikahan, misalnya, orang Banjar tak semena-mena dan menghindari sikap terburu-buru.
Mereka acapkali bertanya lebih dulu pada orang-orang yang dianggap memiliki pengetahuan tinggi perihal Babilangan. Atau dalam istilah masyarakat Banjar disebut “Orang Pintar”. Laku seperti itu bertahan hingga terjadinya sinkretisme budaya Banjar dengan Islam. Bahkan, tradisi itu seakan mendapat legitimasi teoritis-filosofis yang berasal dari para pemikir Islam.
Dalam buku berjudul Tanyalah Pada Ahlinya anggitan Muhammad Tijani Al-Samawi, digambarkan betapa kapasitas pengetahuan tiap orang dalam masyarakat itu berbeda-beda. Ada orang yang ahli di satu bidang karena memfokuskan diri bertahun-tahun mempelajari bidang tersebut, dan ada pula orang lain untuk hal yang lain.
Sebagai contoh, jika anda sakit gigi silakan pergi ke dokter gigi, bukan ke penjual bakso. Jika motor anda rusak silakan pergi ke bengkel bukan ke toko jual pakaian. Jangan sekali-kali bertanya pada orang sembarangan yang bukan ahlinya, sebab bisa saja anda dijerumuskan pada hal-hal yang salah. Begitulah kira-kira alur pikir masyarakat Banjar menyadari keterbatasan ilmu dan meletakan posisi orang pintar.
Istilah “orang pintar” yang dulunya didefinisikan sebagai tetua adat, ketika Islam hadir, bergesere menjadi para ulama atau kiai. Ulama di mata masyarakat Banjar mendapat tempat yang betul-betul agung sampai –mungkin- menggeser posisi para tetua adat.
Pengetahuan lokal masyarakat Banjar yang berasal dari kebudayaan melayu telah betul-betul melebur dengan segala tradisi Islam. Jika kita perhatikan sampai hari ini, kita akan betul-betul kesusahan memisahkan keduanya. Ibarat Harun di sisi Musa. Bahkan, menurut antropolog Judith Nagata (dalam Hairus Salim HS), Banjar merupakan salah satu suku di Indonesia yang identitas kesukuannya bertumpang tindih dengan identitas keagamaan: “Agama ya suku, suku ya agama”.
Dalam tradisi Babilangan, pengaruh Islam –dan aksara Arab sebagai bahasa arus utama- tidak sebatas konsep belaka. Hitung-hitungan menggunakan aksara Arab, bukan aksara latin. Saat ingin melakukan perhitungan pemberian nama seorang anak, aksara latin harus dikonversi lebih dulu ke aksara arab. Setiap huruf punya nilai tertentu. Lalu nilai tersebut dihitung berdasar rumus-rumus khusus. Hasil penjumlahan itulah yang kemudian ditafsir. Dihubungkan dengan referensi-referensi lintas disiplin. Jika hasilnya baik, nama langsung diberikan lewat acara Tasmiyah. Tapi kalau hasilnya ternyata tidak baik, dicarikanlah opsi nama lain.
Alfani Daud dalam bukunya Islam & Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar (1997), mengatakan jika secara temporal tujuan hidup masyarakat Banjar itu ada dua, yaitu kesejahteraan di “masa depan yang dekat” (dunia), dan kesejahteraan di “masa depan yang jauh” (akhirat).
Masyarakat Banjar mengimani bahwa tujuan hidup sukses di dunia dan akhirat bisa diawali dengan memberi nama yang baik pada seseorang. “Nama adalah doa”, merupakan sugesti positif yang diyakini berkaitan dengan sunnah Rasulullah untuk memberi nama baik pada anak. Itupula yang menjadikan tradisi Babilangan, tetap terjaga awet hingga sekarang. Apalagi mereka tahu bahwa tradisi Babilangan sesuai dengan ajaran Islam.
Khazanah pengetahuan masyarakat terkait cara pemberian nama khas tradisi Banjar perlu dilestarikan. Michael Varnum, seorang profesor psikologi di Arizona State University, meneliti kecenderungan orangtua dalam memberi nama pada anak di Amerika. Varnum mendapatkan hasil bahwa akhir-akhir ini orang Amerika memberikan nama berlandaskan pada keunikan hanya agar tak ingin tampak seperti nama orang kebanyakan. Jika demikian adanya, maka saya pikir masyarakat adat Banjar lebih maju dalam beberapa hal.
Tradisi babilangan, lewat ihktiarnya merumuskan nama mengharapkan rahmat, mampu memberikan motivasi yang produktif pada si anak hingga kelak ia dewasa. Sebab ada hal yang tak tepermanai dibalik arti sebuah nama. Ada doa orang tua. Ada kearifan gemar muncul tapi tak kasat mata.
Pemberian nama pada anak, ujungnya bukan urusan mungil. Nama lahir lewat renungan dan perhitungan. Meski akhlak anak nantinya tak pasti merujuk nama, bukan berarti proses penamaan patut disepelekan. Tradisi masyarakat Banjar maupun Islam sudah menjelaskan adab pemberian nama sejak abad ke-6 lewat mulut nabi terakhir.
Jalan menuju berkah memang selalu penuh bayang-bayang salah memijak langkah. Itulah kiranya, melalui tradisi babilangan ala masyarakat Banjar, kita bisa peroleh bahan ajar. Kita perlu berfikir dan awas. Hidup tak boleh asal-asalan. “Jangan sembarang melabrak tembok!”
Wallahu A’lam.