Hikayat Muhibbin dari Banjar: Penerimaan, Keajaiban & Penghormatan Habib

Hikayat Muhibbin dari Banjar: Penerimaan, Keajaiban & Penghormatan Habib

Hikayat Muhibbin dari Banjar: Penerimaan, Keajaiban & Penghormatan Habib
Makam Syekh Arsyad al-Banjari dikunjungi banyak peziarah (gambar: www.wisatakalimantan.com)

Sekitar awal bulan lalu, sembari menunggu informan, saya berbincang dengan seorang peziarah di makam salah satu ulama di kota Banjarmasin. Urang Banjar atau masyarakat Banjar memang dikenal  religius dan taat menjalankan ajaran dan tradisi keagamaan, salah satunya adalah ziarah kubur.

Makam para wali, ulama, dan habib seringkali ramai dikunjungi setiap hari, terlebih di akhir pekan dan masa libur.

Selain itu, masyarakat Banjar juga percaya bahwa ulama tersebut adalah leluhur mereka. Maka, bagi pasangan suami-istri yang baru saja melahirkan sebelum atau pada bulan Ramadan biasanya membawa bayi mereka sebagai tanda “perkenalan” kepada sang ulama dengan anak-cucunya yang baru. Fenomena ini bagian dari keislaman Masyarakat Banjar yang dikenal dengan istilah Bubuhan, yang nanti saya jelaskan lebih jauh.

Di antara tema perbincangan saya dengan peziarah tersebut adalah soal interaksi antara masyarakat Banjar dan kelompok Ba’alawi, yang lebih populer dengan sebutan para habib, di ranah agama, yang mengalami gelombang pasang dalam beberapa tahun terakhir ini.

Menurut peziarah itu, saat ini, hampir setiap pelaksanaan tradisi keagamaan di masyarakat Banjar terdapat keterlibatan kelompok Ba’alawi sebagai pendakwah atau penceramah.

Di beberapa kesempatan, otoritas agama berasal dari masyarakat Banjar biasa disanding bersamaan di satu acara. Otomatis waktu pelaksanaan dari kegiatan keagamaan tersebut semakin lama, dan biaya yang dikeluarkan juga semakin besar. Mereka biasanya diundang oleh puhun (sebutan khas di sebagian masyarakat Banjar untuk pemilik acara) untuk mengisi sesi ceramah dalam ritual atau tradisi keagamaan Urang Banjar, seperti Maulitan (Maulidan), Akikah anak, peringatan Isra M’raj, hingga Haul, baik wali, ulama, atau orang biasa.

“Bahkan, beberapa tahun terakhir jumlahnya terus meningkat cukup pesat” ujar peziarah tersebut.

Beberapa kali, ia menegaskan bahwa kecintaan masyarakat Banjar pada kelompok Ba’alawi dalam dua atau tiga terakhir meningkat pesat. Menurutnya, dia adalah seorang Muhibbin atau pencinta zuriat Nabi Muhammad.

Memang, sebagai masyarakat yang memiliki identitas kesukuan dan agama yang saling bersisian, masyarakat Banjar tentu sangat menghormati, bahkan mencintai (baca: mereka biasanya mendaulat diri sebagai Muhibbin) kelompok Ba’alawi.

Sebagian besar masyarakat Banjar percaya bahwa kecintaan ini menjadi barakah dan syafaat Nabi Muhammad di kemudian hari, walaupun manifestasi kecintaan tersebut sangat beragam dan tidak satu warna.

Kehadiran seorang Habib dalam kegiatan atau tradisi keberagamaan, bagi sebagian masyarakat Banjar, sangatlah diharapkan. Alasan mayoritas yang saya jumpai adalah keinginan mereka mendapatkan barakah dan syafaat dari Nabi Muhammad, selain kecintaan mereka kepada zuriat Rasulullah.

Sebagai Muhibbin, sebagian masyarakat Banjar tidak ragu berhadir di kegiatan keagamaan yang diadakan di berbagai tempat yang jauh dari tempat tinggalnya. Walhasil, beberapa tahun terakhir, banyak dari warga luar daerah tersebut juga turut hadir. Media sosial turut berperan besar atas fenomena tersebut, karena menyebarluaskan informasi soal kehadiran para Habib di kegiatan keagamaan.

Maka, wajar jika estimasi pengeluaran kegiatan tersebut terus membengkak setiap tahunnya. Namun, bagian dari tanda kecintaan masyarakat Banjar pada kelompok Ba’alawi lainnya ditandai dengan kesiapan mereka atau mereka tidak ragu untuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk kegiatan keagamaan di atas, yang diambil dari harta atau penghasilan setiap hari mereka.

Karena di antara kebiasaan masyarakat Banjar dalam mengadakan kegiatan keagamaan, maka seluruh pengeluaran akan ditanggung bersama oleh warga sekitar atau penghuni wilayah tersebut.

Selain itu, mereka juga mempersiapkan acara dengan bergotong royong, mulai dari membungkus makanan hingga tempat acara.

Di wilayah tempat tinggalnya, peziarah tersebut menceritakan bahwa untuk dapat menutupi pengeluaran tersebut para pengurus masjid/ langgar atau panitian kegiatan keagamaan biasanya membagikan kaleng plastik bekas sosis ke seluruh rumah di wilayah tersebut. Satu rumah memiliki jatah satu kaleng plastik yang akan diisi warga dengan nominal bebas selama satu tahun. Uang yang terkumpul dipergunakan untuk pelaksanaan kegiatan keagamaan tersebut.

Bagi peziarah tersebut, uang yang dia kumpulkan dan sumbangkan bersama sang istri akan menjadi barakah dan syafaat bagi mereka di kemudian hari. Mereka juga percaya bahwa usaha mereka menabung uang tersebut yang sebagian besar untuk mengundang Habib atau ulama tersebut akan membuat mereka “dipandang” sebagai umat Rasulullah.

Bahkan, kaleng plastik bekas sosis tersebut telah mereka simpan beberapa tahun terakhir ini terus diisi semakin banyak, agar bisa mengundang Habib lain, biasanya dicari yang lebih populer, agar bisa menjadi kesempatan mereka “memandang” atau “mendapatkan berkah” dari kehadiran Habib tersebut di tempat mereka. Fenomena di atas juga disokong dengan mulai populernya beragam tradisi dan teks yang lekat dengan kultur di kalangan Ba’alawi.

Di tengah isu perdebatan soal keabsahan keturunan Nabi Muhammad, fenomena muhibbin di masyarakat Banjar sepertinya tidak terlalu terusik. Hal ini kemungkinan besar disandarkan pada konstruksi keberislaman masyarakat Banjar, yang melekat dengan otoritas agama yang ada di kehidupan mereka.

Bahkan, masyarakat Banjar memiliki fondasi formasi sosial yang dikenal dengan istilah Bubuhan. Konsep ini merujuk pada kebiasaan masyarakat Banjar mengidentifikasi diri mereka sebagai sebuah kelompok, yang disandarkan pada relasi hubungan darah atau kekeluargaan.

Biasanya, seseorang yang lebih populer atau memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam keluarga tersebut didaulat sebagai nama kelompok tersebut.

Namun, akhir-akhir ini, diksi Bubuhan mulai mengalami perluasan makna, sebagai relasi kewilayahan atau sesama masyarakat Banjar. Bahkan, muhibbin sepertinya mulai berkelindan dengan relasi bubuhan ini. Diksi muhibbin menjadikan masyarakat Banjar berkelindan atau menjadi bagian dari identitas masyarakat Muslim yang lebih otoritatif dan tidak lagi menjadi “pinggiran.”

Fatahallahu alaina futuh al-arifin