Cinta Nabi Muhammad dengan Sederhana: Narasi Utama Masyarakat Banjar Menyambut Bulan Maulid

Cinta Nabi Muhammad dengan Sederhana: Narasi Utama Masyarakat Banjar Menyambut Bulan Maulid

Kecintaan kepada Nabi Muhammad tidak lagi soal keributan akibat perdebatan bid’ah atau tidak perilaku Maulid. Ia sudah jauh melampaui itu semua, bahkan sudah menjangkau wilayah yang selama ini tidak terpikirkan atau terbayangkan sebelumnya. Jadi, apakah cinta atas Nabi Muhammad itu sederhana? Mungkin anda mempunyai jawaban sendiri.

Cinta Nabi Muhammad dengan Sederhana: Narasi Utama Masyarakat Banjar Menyambut Bulan Maulid

Salah satu lirik dalam sajak populer milik Sapardi Djoko Darmono berbunyi “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”. Sebuah ungkapan yang sederhana namun dalam milik Sapardi ini seiras dengan gambaran fenomena “Cinta pada Nabi Muhammad” di sebagian masyarakat Banjar. Cinta yang tidak lagi digambarkan dengan bahasa tinggi atau rumit. Kecintaan masyarakat Banjar diungkapkan dalam beragam tradisi dan perilaku keseharian yang sederhana.

Mungkin saya salah, ungkapan “sederhana” dari Sapardi tersebut terasa cocok menggambarkan secuil fenomena kecintaan masyarakat Banjar atas Nabi Muhammad. Pujian-pujian yang menggema dengan lantang dengan bantuan pelantang hanyalah sedikit dari sekian model pernyataan kecintaan masyarakat Banjar.

Peringatan Maulid Nabi di masyarakat Banjar, sebagaimana masyarakat tradisional lainnya, memiliki irisan dengan beragam tradisi yang hidup sejak lama. Jika dulu, masyarakat Banjar menghadirkan banyak sajian, rangkaian bunga, dan berbagai ukuran botol air minum untuk mengambil berkah dari “kehadiran” Nabi Muhammad di setiap perayaan Maulid Nabi.

Ya, sebagian besar masyarakat Banjar mempercayai bahwa setiap peringatan Maulid Nabi yang dibacakan syair-syair Maulid, berisi pujian, sirah, dan pelajaran hidup Nabi Muhammad, maka sosok Nabi Muhammad akan “hadir” di sana. Oleh sebab itu, mereka menganggap bahwa yang disediakan dalam perayaan Maulid akan mendapatkan berkah dari “kehadiran” tersebut.

Dalam perkembangannya, akhir-akhir ini terdapat fenomena di masyarakat Banjar, terutama di kalangan anak muda, yang ditengarai sebagai bagian dari ungkapan Cinta Nabi Muhammad. Fenomena tersebut berupa aktivitas kesukarelawanan kelompok anak muda dalam kegiatan keagamaan, terlebih di bulan-bulan terkait sejarah Nabi Muhammad, seperti Rabiul Awal (bulan Maulid) atau Rajab (perayaan Isra Mi’raj).

Dalam dua atau tiga tahun terakhir, kesukarelawanan tersebut berkembang dalam aktivitas media sosial. Salah satunya adalah penyiaran secara langsung berbagai peringatan, seperti Maulid Nabi dan Isra Mi’raj, yang cukup massif beredar di media sosial. Aktivitas tersebut kemudian berkembang pesat hingga melahirkan kelompok-kelompok yang dimotori para anak muda, terutama mereka yang  memiliki  kemampuan penguasaan teknologi media sosial.

Kelompok anak muda tersebut telah mewarnai keberagamaan masyarakat Banjar. Berbagai ritual keagamaan, termasuk peringatan Maulid Nabi, sering sekali disiarkan secara langsung. Penayangan peringatan Maulid Nabi di ruang maya hanya sebagian dari aktivitas keberagamaan anak muda, termasuk di tanah Banjar.

Beberapa tahun terakhir di tanah Banjar, kemunculan kelompok-kelompok anak muda tersebut biasanya berafiliasi dengan majelis taklim, langgar, masjid, atau sosok ulama sebagai poros aktivitas keagamaan anak muda tersebut. Majta, Aswajanet, Majma, hingga Barakat Guru Kita adalah sebagian contoh kelompok anak muda di tanah Banjar.

Sebagian besar kelompok-kelompok anak muda tersebut adalah perpanjangan dari aktivitas sukarelawanan yang telah ada sebelumnya. Sebelumnya, mereka menjadi sukarelawan dalam kegiatan keagamaan, seperti ceramah, majelis taklim, atau pengajian. Mulai jaga parkir, pengarah arus jemaah, hingga penyedia bahan makanan untuk para jemaah kegiatan keagamaan tersebut. Walau ada juga kelompok lahir memang dari penggiat media sosial. Aswajanet, misalnya, adalah contoh kelompok bergiat dalam aktivitas penyiaran aktivitas keagamaan di media sosial.

Di tengah hingar bingar perayaan bulan Rabiul Awal, salah satunya Maulid Nabi, aktivitas anak muda tersebut disebut bagian dari upaya mereka mendaulat sebagai khidmat kepada para pewaris Nabi Muhammad, yakni para Habaib dan ulama. Kecintaan kepada Nabi Muhammad kemudian diekspresikan dalam kegiatan khidmat tersebut.

Model khidmat yang diekspresikan oleh anak muda ini sebenarnya sudah menjadi bagian dari masyarakat Banjar. Mereka percaya bahwa khidmat kepada para pewaris Nabi Muhammad tersebut dapat menjadi “jalan pintas” atau “solusi terdekat” dalam menghadapi hari kemudian. Narasi ini cukup familiar di masyarakat Banjar dengan menggunakan istilah “Kapal” dan para pewaris tersebut sebagai “Nakhoda”nya.

Jika Abdur di salah satu aksi Stand Up Comedy yang bertema “Kapal Tua” pernah menyinggung bagaimana cerita beberapa nakhoda negara bernama Indonesia. Akan tetapi, kapal dalam kecintaan masyarakat Banjar tersebut terdapat perbedaan besar dari tema aksi Abdur.

Kapal yang ada dalam kepercayaan masyarakat Banjar adalah sebuah alat yang akan menampung mereka untuk menuju surgaNya. Nakhoda yang ada dalam kepercayaan mereka adalah Nabi dan para pewarisnya, dalam hal ini para Habaib dan ulama. Diksi kapal untuk menggambarkan penyelamatan atas segala kesalahan manusia di dunia ini adalah gambaran menarik dalam diskursus kecintaan pada Nabi Muhammad.

Dinamika “Mahabbah (baca: cinta) pada Nabi Muhammad” di masyarakat Banjar banyak sekali menghadirkan beragam ekspresi dan perilaku keagamaan yang baru. Aktivitas anak muda yang digambarkan di atas hanya secuil dari dinamika tersebut. Menjadi “Muhibbin (Pencinta)” adalah narasi utama yang mendorong masyarakat Banjar mengekspresikan walau dengan bahasa yang “sederhana”, sebagaimana disebut oleh Sapardi.

Kecintaan kepada Nabi Muhammad tidak lagi soal keributan akibat perdebatan bid’ah atau tidak perilaku Maulid. Ia sudah jauh melampaui itu semua, bahkan sudah menjangkau wilayah yang selama ini tidak terpikirkan atau terbayangkan sebelumnya. Jadi, apakah cinta atas Nabi Muhammad itu sederhana? Mungkin anda mempunyai jawaban sendiri.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin