Walikota Bandung, Yana Mulyana, baru saja mendapatkan kecaman setelah meresmikan Gedung Dakwah Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) yang berlokasi di Jalan RAA Martanegara No.30, Turangga, Kota Bandung pada Minggu 28 Agustus 2022. Kecaman terhadap Walikota muncul karena ia dianggap berpihak pada kelompok intoleran yang berpotensi menciptakan perpecahan serta mengancam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.
Organisasi ANNAS beranggotakan para tokoh yang berasal dari berbagai ormas Islam. Organisasi ANNAS resmi berdiri pada tahun 2014 di Bandung dan saat ini diketuai oleh KH. Athian Ali. ANNAS hadir tak lama setelah pecahnya konflik Sampang di mana penganut Syiah menjadi target persekusi dan pengusiran. ANNAS sejauh ini telah memiliki perwakilan di berbagai daerah. ANNAS gencar melakukan kampanye anti Syiah yang dianggap sebagai kelompok sesat dan berbahaya.
Nuruzzaman, Stafsus Menteri Agama bidang Kerukunan Umat Beragama, menyesalkan langkah Walikota Bandung yang meresmikan gedung Dakwah ANNAS. Menurutnya, ormas dan paham keyakinan yang secara terang-terangan menebarkan kebencian jelas bertantangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran agama. Negara tidak semestinya memberikan dukungan, tetapi memoderasi cara berpikir, sikap, dan praktik keberagamaannya.
Syiah adalah salah satu mazhab dalam Islam di mana penganutnya banyak dijumpai di berbagai negara, seperti di Iran, Yaman, Lebanon, Irak, Suriah, Bahrain, dll. Risalah Amman yang diselenggarakan di Yordania pada tahun 2005 mengakui bahwa Syiah adalah bagian dari Islam. Grand Syekh Al Azhar, Syekh Ahmad Muhamad Ahmad Ath-Thayeb dalam banyak kesempatan sering mengatakan bahwa Muslim Sunni dan Syiah adalah bersaudara. Mengapa pandangan anti Syiah tumbuh subur di Indonesia?
Sikap anti Syiah yang terjadi di Indonesia dewasa ini bukanlah suatu hal yang baru. Hal tersebut telah terjadi sejak tahun 1980-an, tepatnya setelah meletusnya peristiwa Revolusi Iran. Persatuan Islam (Persis) adalah organisasi Islam yang mempelopori penolakan terhadap Syiah di Indonesia. Persis melalui majalah Al-Muslimun yang dikelolanya menerbitkan artikel mengenai mut’ah atau pernikahan temporer. Perdebatan klasik tentang ketidaksetujuan kaum Sunni terhadap praktik mut’ah yang dipraktikkan oleh kaum Syiah banyak dibahas dalam majalah itu. Sejak itu, Persis mengklaim diri sebagai front pelindung kaum Sunni dari penetrasi paham sesat Syiah.
Resistensi terhadap Syiah dalam sejarah juga dilakukan oleh organisasi Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), pimpinan Mohammad Natsir, yang merupakan bekas murid Pimpinan Persis, Ahmad Hassan. Persis dikenal memiliki hubungan yang sangat erat dengan DDII. Kampanye anti Syiah yang dilakukan DDII tidak dapat dilepaskan dari perwujudan atas konsep difa’ atau pertahanan diri dari segala ancaman baik dari luar seperti kristenisasi maupun dari dalam seperti sekularisme, Islam Jamaah (LDII), Ahmadiyah, dan Syiah.
Kelompok lainnya yang dikenal memiliki sikap anti Syiah di Indonesia adalah Al-Irsyad. Anggota Al-Irsyad umumnya adalah komunitas Arab non-sayyid. Resistensi terhadap Syiah yang dilakukan Al-Irsyad tak dapat dilepaskan dari sikap anggota organisasi tersebut yang cenderung anti terhadap para sayyid. Banyak sayyid dikenal memiliki latar belakang sebagai penganut Syiah. Di samping itu, resistensi Al-Irsyad terhadap Syiah tak dapat dilepaskan dari pandangan teologisnya yang dekat dengan wahabisme dan juga kedekatannya dengan para kelompok anti Syiah di Timur Tengah. Al-Irsyad, DDII, dan Persis memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Arab Saudi. Resistensi Al-Irsyad terhadap Syiah mencapai puncaknya pada Kongres Nasional Al-Irsyad yang ke-36 yang diselenggarakan di Pekalongan, Jawa Tengah pada tahun 1996. Pada kongres tersebut, Al-Irsyad menyerukan kepada pemerintah agar melarang penyebaran paham Syiah di Indonesia.
Perseteruan antara Sunni dan Syiah di Indonesia juga tidak dapat dilepaskan oleh adanya ketegangan antara Arab Saudi dan Iran di Timur Tengah. Ketegangan tersebut dilatarbelakangi oleh kritik Ayatullah Rohullah Khomeini terhadap sistem monarki Arab Saudi dan juga paham Islam wahabi yang dianggap konservatif. Penguasa Arab Saudi menjadi semakin kebakaran jenggot setelah Khomeini menyatakan ingin mengekspor ideologi revolusionernya ke berbagai penjuru dunia. Penguasa Arab Saudi khawatir gelombang Revolusi Iran akan ikut menimpa negaranya. Kekhawatiran tersebut akhirnya terjadi. Pada tahun 1979, puluhan ribu warga Arab Saudi –khususnya di Provinsi Timur—turun berdemonstrasi di jalan menuntut reformasi politik karena terinspirasi oleh Revolusi Iran. Sebagian demonstran yang turun ke jalan memegang foto Khomeini sambil berteriak “Laa Sunniyaa laa Shi’iyya… thawra thawra al-Islamiya!” (Bukan Sunni, Bukan Syi’ah…tetapi Revolusi Islam!). Slogan tersebut persis dengan slogan yang pernah diteriakkan oleh para demonstran di Iran ketika ingin menjatuhkan kekuasaan monarki Reza Pahlevi.
Pasca meletusnya Revolusi Iran pada tahun 1979, para elit Arab Saudi merasa terancam dengan ideologi revolusioner Syiah. Untuk membendung penetrasi ajaran Syiah, maka para elit tersebut membangun wacana ‘ancaman Syiah’ dan menyebarluaskannya ke berbagai penjuru dunia sebagai strategi kontra revolusi. Natsir, pimpinan DDII, dikenal dekat dengan Arab Saudi karena ia merupakan salah satu wakil dari Rabitat al-Alam al-Islami (Muslim World League) yang didirikan dan disponsori oleh Arab Saudi pada tahun 1962. Rabitat al-Alam al-Islami secara finansial banyak membantu DDII dalam proyek pembangunan masjid, pelatihan dakwah, beasiswa pendidikan, dan penerbitan berbagai buku khususnya yang bertujuan mengkonter ajaran Syiah dan juga ajaran lain yang dianggap sesat. Arab Saudi dengan bantuan DDII berhasil mendirikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang merupakan cabang dari Universitas Al-Imam Muhammad ibnu Saud di Riyadh. LIPIA aktif mempromosikan ajaran Islam menurut pandangan wahabisme.
Dalam perjalanannya, Arab Saudi sendiri secara perlahan mengubah pandangannya terkait soal Syiah. Di Saudi, 10-15 persen penduduknya menganut mazhab Syiah di mana kantong-kantongnya berada di daerah Ahsa, Qatif, Al Khobar, dan Saihat. Di masa kepemimpinan Raja Fahd (1921-2005), ia membuat berbagai kebijakan progresif terkait Syiah. Raja Fahd memerintahkan untuk menghapus semua kata dan istilah yang dianggap menghina dan melecehkan penganut Syiah di buku-buku teks yang dipakai di sekolah dan digantikan dengan istilah-istilah yang lebih bersahabat. Raja Fahd juga menginstruksikan untuk menghapus semua kebijakan diskriminatif terhadap Syiah, membolehkan para pengikut Syiah Saudi yang ada di pengasingan untuk pulang, melepaskan para pimpinan Syiah dari penjara, serta membolehkan warga Syiah Saudi untuk bekerja di sektor pemerintah dan swasta, serta membuat berbagai kebijakan progresif lainnya agar kondisi warga Syiah dapat menjadi lebih baik. Raja Fahd bahkan pernah memecat Imam Masjid Nabawi karena menyebarkan propaganda anti Syiah pada khutbah Jumat ketika ada kunjungan Ayatullah Akbar Hashemi Rafsanjani.
Ketika Raja Abdullah (1924-2015) berkuasa, ia juga membuat kebijakan yang tidak kalah maju dari pendahulunya. Raja Abdulllah membolehkan warga Syiah Saudi menggunakan buku-buku Syiah di sekolah-sekolah mereka. ia juga memerintahkan agar materi-materi non-wahabi dimasukkan di dalam kurikulum nasional agar dapat memperkaya pandangan keislaman warganya. Lebih jauh, Raja Abdullah juga aktif mengadakan dialog dengan para tokoh karismatik Syiah, seperti Sheikh Hasan al-Saffar.
Di masa kepemimpinan Raja Salman, Arab Saudi membuat beberapa loncatan lainnya terkait dengan Syiah. Pada tahun 2017, Putra Mahkota Mohammed bin Salman dan para pejabat Saudi lainnya menerima kunjungan tokoh Syiah karismatik dari Irak, Muqtada al-Sadr. Pada tahun 2021, Arab Saudi memberikan hadiah kewarganegaraan kepada Ulama Syiah dari Lebanon, Mohammad Ali Al-Husaini, karena dianggap memberi banyak kontribusi terhadap kerajaan dan juga pada dunia Islam dan Arab.
Adanya perubahan sikap Arab Saudi terhadap Syiah perlu diapresiasi karena bagaimana pun Saudi selalu dianggap sebagai pusat Islam oleh sebagian besar kaum Muslim. Mengapa sentimen anti Syiah masih mendapatkan tempat di Indonesia hingga dewasa ini? Apakah para pengasongnya miskin pengetahuan terkait peta dan dinamika keislaman kontemporer atau jangan-jangan ini adalah pintu masuk untuk membangun posisi tawar dan mendapatkan proyek dari para politisi yang tuna moral dan visi kebangsaan?