“Kenapa hanya pada umat Islam saja Moderasi Beragama?” tanya Nizar (21 th), mahasiswa UIN Antasari Banjarmasin, Kalimantan Seatan, Selasa (16/12) kepada saya.
Nizar adalah salah satu Duta Moderasi Beragama dari Banjarmasin dan ia sempat bertanya-tanya tentang moderasi beragama yang menurutnya kerap masih dicurigai. Beragam tuduhan masih beredar di berbagai kelas masyarakat, bahkan hingga di kalangan intelektual seperti guru, dosen, hingga siswa.
Stigma negatif atas narasi moderasi beragama sangat beragam, kata Nizar, mulai dari stigmatisasi usaha pelemahan umat Islam, proyek liberalisasi, hingga ad isu Moderasi Beragama adalah agenda sebuah partai “terlarang” di Indonesia.
Ungkapan mahasiswa di atas hanya secuil cerita bagaimana penyebaran nilai-nilai moderasi beragama masih menjumpai banyak tantangan.Perguruan tinggi Islam di kota Banjarmasin berusaha beradaptasi atas kondisi tersebut.
Salah satu program yang diluncurkan pihak kampus untuk mendukung penyebaran nilai-nilai moderasi, salah satunya, lewat sebuah situsweb yang berisikan konten-konten moderasi beragama.
Strateginya, katanya, harus melewati “penyamaran” dengan tidak menyebutkan pengelola laman tersebut. Tapi, kontennya dibingkai sedemikian rupa hingga sampai ke para mahasiswa dan didukung pihak kampus.
Strategi Penyamaran Konten Moderasi Beragama
Berdasarkan penelusuran yang saya lakukan, apa yang dialami oleh perguruan tinggi Islam di kota Banjarmasin tersebut bukan hal asing atau baru.
Penolakan atas narasi moderasi beragama yang menekankan pada empat indikator, yakni komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi, dan penerimaan atas tradisi masyarakat, ditengarai disandarkan pada dua hal. Yaitu efek polarisasi akibat Pilpres satu dekade terakhir, dan penolakan atas narasi toleransi yang dicurigai sebagai agenda-agenda barat.
Kala dua kali pelaksanaan pilpres kemarin, Presiden Joko Widodo yang dianggap mewakili suara pendukung pihak nasionalis, dicap sebagai pihak yang berhadap-hadapan dengan suara umat Islam.
Walhasil, ketika Jokowi mengampanyekan moderasi beragama di kota ini, sebagai salah satu identitas keberagamaan masyarakat Indonesia, dalam sekejap ada anggapan bahwa pemerintah sedang “melemahkan” akidah umat Islam.
Benarkah demikian? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita sebaiknya mengulik lagi pendapat Nizar. Ketika ditanyakan soal kasus pelarangan rumah ibadah di kotanya ia menjawab dengan pasti.
“Kita tidak boleh menghalangi orang lain untuk beribadah,” katanya.
Sayangnya, Nizar tidak mengetahui bahwa sebagian teman-teman non-Muslimnya masih ada yang kesulitan mendapatkan akses rumah ibadah mereka. Selama ini Nizar menganggap kota yang dia huni memberikan hak-hak kepada seluruh masyarakat.
Nizar adalah salah satu contoh upaya pihak kampus UIN Antasari dalam membumikan moderasi beragama di kalangan mahasiwa.
Saya sendiri meyakini, semangat anak muda yang menggelora dalam menyuarakan dan mengampanyekan moderasi beragama adalah fakta.
Oleh sebab itu, moderasi beragama di kalangan anak-anak muda, khususnya di kelompok mahasiswa, biasa mendapatkan sambutan yang lebih baik ketimbang masyarakat yang sudah lebih dahulu terpolarisasi.
Kisah Moderasi dari Banjar
Banjarmasin, sebagaimana sebagian besar wilayah lain di Kalimantan Selatan, dikenal sebagai daerah yang religius.
Masyarakat kota Banjarmasin dikenal taat menjalankan ajaran agamanya. Namun, fakta ini tidak menghalangi mahasiswa untuk bertemu dan berdiskusi terkait apa yang mereka alami selama menjalankan ajaran agama mereka di ruang publik, termasuk kalangan non-muslim.
Dari diskusi di cafe dan warung-warung kopi, mahasiswa lebih banyak belajar implementasi nilai-nilai moderasi beragama lebih jauh, ketimbang dari apa yang diajarkan di ruang-ruang kelas mereka.
Syaiful Hadi, koordinator Pusat Kajian Moderasi Beragama di UIN Antasari menjelaskan, pihak kampus sudah mencoba dan berusaha membeli bekal mahasiswa dengan sejumlah cara.
Mulai dari kegiatan dan pelatihan sampai penyisipan nilai moderagi beagama di level asrama mahasiswa.
“Kampus sudah membekali mahasiswa narasi, model, nilai, hingga tools dalam moderasi beragama yang disisipkan di kegiatan asrama” jelasnya.
Menurutnya, narasi dan nilai-nilai moderasi beragama seharusnya tertanam dan berakar di setiap pribadi mahasiswa.
Usaha ini merupakan contoh baik dan menunjukkan, usaha-usaha perguruan tinggi, termasuk perguruan tinggi Islam, di kota Banjarmasin terus disuarakan meskipun masih harus berhadapan dengan stigma negatif yang tumbuh subur di media sosial, serta persoalan intoleran dan ekstrimisme berbasis agama di tingkat lokal Banjarmasin.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin