Pengobatan Berbasis Keagamaan Pascapandemi: Re-Industrialisasi atau Murni Ekspresi Keagamaan?

Pengobatan Berbasis Keagamaan Pascapandemi: Re-Industrialisasi atau Murni Ekspresi Keagamaan?

Industri terapi pijat bisa dikatakan berkelindan dengan semangat keagamaan masyarakat modern yang cenderung menguat.

Pengobatan Berbasis Keagamaan Pascapandemi: Re-Industrialisasi atau Murni Ekspresi Keagamaan?

Pandemi Covid-19 mengakibatkan krisis pada sektor perekonomian. Namun terlepas dari hal itu, situasi tersebut mempopulerkan sebuah profesi yang seringkali dipandang sebelah mata, yaitu terapis kesehatan tradisional. Pekerjaan yang sering disebut tukang pijat ini kerap dianggap sebagai pekerjaan turun-temurun yang tidak ilmiah karena bertentangan dengan studi kesehatan mutakhir.

Akhirnya pekerjaan tersebut termarjinalisasi dan cenderung terasingkan dari metode pengobatan komprehensif masa kini. Lebih lanjut lagi, beberapa terapis pun mendapat label “dukun” karena dianggap menggunakan cara mistik dan melibatkan kegiatan spiritual.

Kilas Terapis Kesehatan di Indonesia

Konotasi dukun mendapat stigmatisasi negatif hingga saat ini. Padahal sebelum abad ke-19 profesi tersebut memiliki berbagai peranan seperti konsultan pertanian, terapis kesehatan dan bahkan sebagai penasihat religi.

Namun kondisi tersebut berubah saat pemerintah kolonial yang mendistingsi antara ilmu sains yang berasal dari Barat dan nilai ajaran turun-temurun di masyarakat lokal. Namun setelah berjalannya waktu, posisi dukun lebih berperan aktif di kalangan masyarakat sebagai terapis kesehatan.

Pemerintah akhirnya memutuskan untuk melakukan kerja sama dengan dukun untuk melakukan standarisasi pengobatan sehingga metode pengobatan yang dimiliki oleh para dukun tersebut dapat dijelaskan secara ilmiah.

Posisi dukun pun pada akhirnya terpecah menjadi beberapa istilah seperti yang terjadi di di wilayah Jawa Barat menjadi paraji (dukun beranak sekaligus tabib) dan dukun spiritual. Dukun beranak inilah yang menjadi pilar pengobatan di masyarakat. Bahkan sampai sebelum pandemi, para terapis kesehatan tersebut membentuk perkumpulan terapis yang telah bekerja sama dengan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

Di Indonesia pun, pemerintah terus mendorong pemanfaatan dan perlindungan penyelenggaraan pengobatan komplementer atau alternatif di fasilitas kesehatan yang diatur pada PERMENKES No. 1109/Menkes/IX/2007 terutama pada tiga pilar yaitu jamu, keilmuan, dan praktisi. Aturan ini pun menegaskan bahwa pemerintah melakukan interaksi bahkan kolaborasi keilmuan faktual bahkan mempraktikan pengobatan komplementer di fasilitas kesehatan.

Kerja sama yang dilakukan oleh pemerintah tersebut pun tentunya dilakukan pada praktisi atau komunitas kesehatan yang keilmuannya sudah terbukti secara ilmiah karena dunia medis berpegang tegung pada pembuktian ilmiah (evidence-based medicine).

Terdapat dua kelompok yang aktif melakukan konsolidasi dengan pemerintah; yaitu Persatuan Bekam Indonesia (PBI) dan Komunitas Totok Punggung Indonesia (KTPI). Keduanya aktif melakukan kegiatan sosialisasi dan pelatihan terapis bahkan pada masa pandemi Covid-19. Kedua kelompok tersebut menggunakan keilmuan yang berasal dari berbagai referensi seperti nilai dan juga tradisi masyarakat Muslim juga pengobatan oriental serta medis modern. Kedua kelompok tersebut pun memiliki anggota yang berasal dari tenaga medis sehingga mereka pun berupaya untuk mengimplementasikan metode pengobatan kelompoknya dengan aturan medis.

Pandemi dan Profesi Terapis Kesehatan

Pada saat awal pandemi Covid-19, banyak informasi simpang siur terkait dengan penyebaran virus di wilayah fasilitas kesehatan sehingga membuat banyak orang berupaya mencari pengobatan alternatif dalam rangka menjaga vitalitas tubuh mereka. Terapi kesehatan komplementer pun menjadi salah satu pilihan selain dengan menggunakan beberapa produk herbal.

Hal ini disebabkan karena terapis kesehatan dapat diundang ke rumah para kliennya sehingga dipercaya lebih aman karena tidak berinteraksi dengan terduga pasien Covid-19 di fasilitas kesehatan. Pekerjaan sebagai terapis kesehatan pun mulai mengalami perubahan stigma ketika banyak pihak yang berupaya untuk memperkenalkan sarana pengobatan tradisional yang dilekatkan dengan nilai-nilai religius. Misalnya, video edukasi kesehatan tradisional yang diajarkan oleh dr. Zaidul Akbar di media sosial.

Dr. Zaidul Akbar, selain menjadi tenaga medis, juga merupakan praktisi kesehatan komplementer berbasis agama yang banyak memberikan informasi terkait dengan rempah-rempah yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kesehatan terutama di masa pandemi Covid-19.

Posisi dr. Zaidul Akbar sebagai ketua PBI pun secara tidak langsung memperkenalkan komunitas tersebut pada masyarakat luas. Identitas Muslim pada dirinya dan kapabilitasnya sebagai tenaga medis membuat masyarakat semakin tertarik pada pengobatan komplementer berbasis agama yang tercermin pada peningkatan jumlah anggota PBI dan KTPI setelah mereka menyelesaikan pelatihan tersertifikasi.

KTPI dan PBI tetap melakukan pelatihan di masa Covid-19 dengan menggunakan protokol kesehatan sehingga dapat meminimalisir penyebaran virus meski sudah melakukan interaksi secara dekat. Kegiatan tersebut bahkan semakin marak dilakukan karena animo masyarakat yang tertarik mereka untuk menjadi praktisi kesehatan karena banyaknya permintaan dalam pelayanan pengobatan komplementer.

Hasilnya, selain dari meningkatnya jumlah terapis dan klien pelayanan pengobatan kesehatan komplementer, ekonomi beberapa anggota masyarakat pun terus berkembang meski ada beberapa yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau beralih profesi dari pekerjaan lamanya.

Persinggungan Industri dan Agama

Mayoritas praktisi dari kedua organisasi tersebut pun berpendapat bahwa bergabungnya mereka pada komunitas tersebut tidak hanya berkaitan dengan pencarian pendapatan namun yang lebih utama yaitu dapat menyebarkan ajaran agama Islam pada saat terapi dilakukan. Penyebaran agama tersebut berkaitan dengan filosofi dan cara hidup nabi Muhammad sebagai tauladan umat muslim.

Materi pelatihan pun banyak merujuk pada ayat Al-Qur’an dan juga sunnah nabi dengan disertai pembuktian ilmiah yang berasal dari dunia medis. Pengisi acara pun sering kali menghadirkan seorang dokter dalam rangka menguatkan aspek medis serta mengkolaborasikannya dengan nilai-nilai keislaman.

Hal tersebut menjadi salah satu daya tarik bagi para peserta yang tidak hanya ingin mendapatkan penghasilan namun juga memberikan berbagai nasihat kepada pasiennya berdasarkan nilai-nilai agama.

Leni (salah satu praktisi terapis pengobatan komplementer) berpendapat bahwa menjadi terapis merupakan sebuah keberuntungan baginya karena dia mampu memberikan informasi bermanfaat serta mengajarkan cara hidup sesuai kebiasaan nabi. Adapun uang upah yang diterimanya merupakan hadiah dari Allah untuk mencukupi kebutuhannya.

Hal ini pun diamini oleh Jamal, dia berkata bahwa menjadi terapis membantunya untuk memenuhi kebutuhan bahkan dapat membeli berbagai barang. Namun ia menegaskan bahwa hal yang paling penting baginya adalah kesempatan berdakwah.

Ketua KTPI, Abdurrahman, sering kali berkata pada berbagai pelatihan yang dia hadiri bahwa salah satu tujuan dari organisasi tersebut adalah membina seorang terapis yang Islami dan ditegaskan pada slogan “1 terapis untuk setiap keluarga”.

Cita-cita tersebut mencerminkan bahwa nilai-nilai Islam melekat pada visi dan strategi organisasi kesehatan tersebut serta meyakini bahwa menyebarkan pengetahuan kesehatan merupakan sebuah perjuangan dakwah yang dapat mendekatkan diri mereka kepada sang pencipta.

Terlepas dari motif para terapis, fenomena ini menjadi sebuah gambaran bahwa pandemi Covid-19 mengenalkan (kembali) dan membuka peluang baru bagi hadirnya sektor terapis pijat berbasis nilai-nilai keagamaan.

Industri terapi pijat bisa dikatakan berkelindan dengan semangat keagamaan masyarakat modern yang cenderung menguat. Hadirnya terapi pijat itu juga bisa dilihat sebagai instrumen masyarakat religius untuk menggali nilai-nilai keagamaan lewat terapi pengobatan tradisional.