Alip Mutakallimun Wahid, Makna Filosofis Atap Masjid Sepuh di Klaten

Alip Mutakallimun Wahid, Makna Filosofis Atap Masjid Sepuh di Klaten

Ada dua bagian penting dari sebuah masjid sepuh yang “tidak boleh diganti”, yaitu mustaka dan saka (tiang) yang biasanya berjumlah empat.

Alip Mutakallimun Wahid, Makna Filosofis Atap Masjid Sepuh di Klaten

Salah satu penanda penting bangunan Masjid modern di Indonesia, dan Jawa khususnya, adalah keberadaan kubah yang mengadopsi gaya arsitektur Timur Tengah dan sebagiannya adalah Eropa. 

Sedemikian maraknya kubah-kubah megah itu, masjid dengan arsitektur khas nusantara kini jarang dijumpai, kecuali di beberapa destinasi wisata yang menjadi cagar budaya. 

Maka ketika beberapa waktu lalu saya menjumpai mustaka (kepala) atau bagian kemuncak sebuah masjid sepuh di kawasan Klaten, tanpa ragu saya mengabadikannya. Dan, tentu saja melakukan pembacaan historis tipis-tipis.

Mustaka itu saat ini sudah tidak dipasang. Lalu diamankan oleh mudinnya kampung itu. Alhamdulillah. Yang penting tidak hilang.

Ada dua bagian penting dari sebuah masjid sepuh yang “tidak boleh diganti”, yaitu mustaka dan saka (tiang) yang biasanya berjumlah empat. Paugeran kemasjidan seperti ini, di Jawa, diwariskan melalui sanad ilmu Sunan Ampel.

Saka melambangkan empat kiblat yang menjadi tempat tawajjuh kawula dengan “wijah” Gustinya. Faiynama tuwallu fatsamma wajhullah (di mana saja kau menghadapkan wajahmu, maka di situlah wajah Allah).

Sedangkan Mustaka adalah perlambang dzatullah yang di dalam khazanah tasawuf para wali Mataraman disebut dengan istilah: Alip Mutakallimun Wahid. Sehingga bentuknya bulat panjang tegak lurus ke atas. Biasa disebut gada. Istilah ini mengingatkan kita pada ngulama zaman Demak bernama Kyai Gadamustaka.

Alip Mutakallimun Wahid artinya huruf alif yang menyampaikan kalam tentang sang Tunggal (Wahid). Karena dimensinya di alam ruang-waktu, maka Dia disebut Wahid. Jika sudah di luar ruang-waktu, Dia disebut Ahad. Jadi gada di mustaka masjid itu adalah perlambang Gusti Pangeran.

Jika empat saka masjid sepuh diganti, atau dihilangkan, maka hilang pula ruang-waktu tatanan kewalian yang sudah dipakai sejak Islam dibumikan di Jawa.

Jika mustaka masjid sepuh diganti atau setidaknya jika diganti namun tidak direplika, maka hilang sudah kekeramatan sebuah masjid. Karena itu berarti Sang Alip digusur. Bahasa gamblangnya: raiblah pengetahuan lahir-batin tentang Gusti Allah sebagaimana sejak awal diperkenalkan oleh Sunan Ampel dan para wali penerusnya di Jawa.

Semoga para pendahulu yang membuat mustaka masjid ini diampuni oleh Allah SWT, disyafaati oleh Kanjeng Rasulullah SAW, dijauhkan dari fitnah kubur, dan dimasukkan ke dalam surga. Alfatihah.

Wallahu A’lam…