Millenarianism dan Kausa Kekerasan dalam Praktik Keagamaan

Millenarianism dan Kausa Kekerasan dalam Praktik Keagamaan

Jika terorisme oportunistik dilakukan secara sporadis dan tak terstruktur, millenarianism memiliki visi misi yang terencana dan terukur sehingga mampu memobilisasi massa secara signifikan.

Millenarianism dan Kausa Kekerasan dalam Praktik Keagamaan

Pernahkah kita termenung, membayangkan betapa kelamnya hidup ini, betapa semrawutnya masyarakat, rusaknya moral sosial, dan hal-hal negatif lainnya. Bersama dengan perenungan itu kita mengandaikan hadirnya ‘sang juru selamat’ atau ‘ratu adil’ yang akan mengeluarkan kita dari semua keterpurukan dan gulita kehidupan. Jika pernah, maka di saat itu kita sejatinya sedang menjadi seorang millenarian.

Tetapi imaji itu sebetulnya masih berada di permukaan. Seorang millenarian lebih dari sekedar mengandaikan, namun juga berpikir soal bagaimana merealisasikan ‘sang ratu adil’ itu. Millenarianism adalah sebuah paham yang mengatakan bahwa semua ketidakadilan akan diakhiri dan keharmonisan akan dipulihkan. Dalam konteks agama, aktivisme yang bersifat millenarian meyakini bahwa sumber masalah itu ada pada status quo sehingga diperlukan pergolakan dan pergerakan untuk meruntuhkan kelompok yang berkuasa itu.

Konsep millenarianism pada awalnya adalah hasil rekonstruksi dari kepercayaan komunitas Kristen yang meyakini adanya tokoh pembaharu dalam siklus seribu tahunan (millenium). Dalam pengertian ini, Yesus Kristus dianggap representasi Al-Masih atau Juru Selamat yang dijanjikan dalam perjanjian lama. Dalam kajian teologi Kristen klasik, millenarianism adalah mewadahi pandangan eskatologis bahwa tatanan dunia yang renta ini akan lapuk dan hancur.

Lalu Sang Juru Selamat akan turun ke bumi; berkuasa selama seribu tahun untuk memerangi “barisan iblis” dan membangun tatanan dunia baru yang penuh keadilan, kesetaraan, dan keselamatan. Pandangan serupa itu juga ditemukan dalam teologi Islam yang meyakini kedatangan Imam Mahdi; atau Ratu Adil dan Satria Piningit dalam kepercayaan Jawa.

Dalam tradisi Jawa pra-kemerdekaan, millenarianism dipadankan dengan konsep ‘ratu adil’, yaitu sang juru selamat yang hadir setelah gerakan perlawanan dengan kekerasan terhadap kolonialisme Barat ataupun pihak asing yang menyengsarakan kaum pribumi dilakukan. Gerakan millenarianism ini bermunculan di berbagai daerah sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20.

Beberapa contoh misalnya ialah gerakan Nyi Aciah di Sumedang pada 1870, gerakan Kobra (Jumadilkubra) di Jawa Tengah pada 1871, gerakan yang dipimpin Raden Martoredjo di Ponorogo pada 1885, hingga perlawanan para petani di Banten pada 1888. Hampir keseluruhan gerakan tersebut memiliki pola yang sama, yakni sebelum pecahnya perlawanan, hadir tokoh-tokoh karismatik seperti guru agama ataupun dukun yang dianggap memiliki kekuatan.

Michael Barkun (1974) mengatakan, studi tentang gerakan millenarianism memang awalnya dilakukan untuk mengkaji gerakan-gerakan Kristen fundamentalis di Amerika. Namun menuju millenium kedua, millenarianism dikaji secara lebih universal untuk membaca fenomena serupa dalam agama-agama lain, misalnya gerakan-gerakan keagamaan baru yang bermuatan ideologi millenarian seperti Aum Shinrikyo di Jepang, “Perjanjian, Pedang, dan Lengan Tuhan” di Amerika Serikat, Zionis di Israel, Al-Qaeda, dan ISIS dalam Islam yang semuanya berupaya menjatuhkan pemerintahan dan sistem yang mereka anggap melanggar hukum demi menciptakan masyarakat utopis.

Beberapa literatur terkait mensintesakan millenarianism sebagai “mesin ideologis” yang vital dalam mendorong gerakan revolusioner dan sosio-politik untuk mewujudkan masyarakat ideal dengan memberantas apa yang dianggap sebagai “kejahatan”. Konsep inilah yang membedakan terorisme bermuatan millenarianism dengan terorisme biasa, atau dalam istilah Edward Sullivan sebagai gerakan millenarian versus terorisme oportunistik.

Jika terorisme oportunistik dilakukan tanpa/dengan tujuan pasti, dieksekusi secara sporadis, dan tak terstruktur, millenarianism memiliki visi misi yang jelas, terencana, dan terukur sehingga mampu memobilisasi massa secara signifikan, termasuk melakukan propaganda yang berkelanjutan. Aktivisme keagamaan yang dibalut dengan semangat millenarian akan secara otomatis merasa terpanggil untuk “memperbaiki” sistem secara radikal dan menyeluruh.

Pakar studi agama Charles Kimball dalam When Religion Becomes Evil sudah mengindentifikasi gejala ini dalam salah satu “tanda bahaya” jika agama menjadi jahat, yaitu establishing the ideal time (mewujudkan masa yang ideal). Pada tataran ini, menurut Kimball, imajinasi yang mereka bangun tentang kehidupan ideal sebenarnya masih wajar karena itu adalah cita-cita yang bisa dijumpai di semua agama, meskipun dengan begitu mereka biasanya cenderung untuk mengurung diri dari kehidupan luar. Persoalan baru muncul, di saat mereka kemudian memaksakan citacita itu kepada komunitas lain dengan keyakinan bahwa mereka mewakili kehendak Tuhan untuk membentuk negara agama.

Pasca 2000, tragedi 9/11 menjadi saksi gerakan millenarian yang diusung Al-Qaeda. Aksi ini menyusul seruan pemimpin Al-Qaeda Usama bin Laden pada 1998 untuk mendeklarasikan “perang suci” terhadap Amerika Serikat. Beberapa poin yang mendasari deklarasi ini adalah, misalnya, dukungan AS terhadap Israel sehingga merugikan warga Palestina, Pemerintah pro-Amerika di Timur Tengah yang bertentangan dengan kepentingan umat Muslim, dan pemberlakuan sanksi embargo di Irak. Bagi Al-Qaeda, utamanya Usama, kondisi ini jelas merupakan sebuah ketidakadilan dan tirani, sehingga diperlukan perlawanan untuk merubah situasi menjadi lebih “baik”.

Gerakan revoluioner berbasis ideologi lebih tampak terlihat dalam tubuh ISIS. Meskipun ISIS dan Al-Qaeda memiliki asal usul dan sumber doktrin yang sama, ISIS menunjukkan dirinya bukan organisasi teroris murni, namun lebih merupakan gerakan revolusioner. Ketika Al-Qaeda berfokus pada jihad global, ISIS mengalihkan hampir seluruh perhatiannya untuk mengamankan Dunia Arab terlebih dahulu (musuh dekat) sebelum beralih ke musuh di luar negeri (musuh jauh). Semuanya dilakukan untuk merealisasikan ambisi utopis mereka. Para “kombatan” ini percaya bahwa generasi pertama Islam adalah masa ideal yang penuh keharmonisan dan persaudaraan.

ISIS menyatakan bahwa tidak akan ada kesempurnaan keimanan jika masyarakat hidup di bawah rezim yang korup. Karena itu negara dengan pemimpin yang adil harus dideklarasikan sehingga masyarakat dapat hidup bebas di bawah hukum Tuhan. Pada intinya, Islam menawarkan visi utopis tentang keadilan sosial dan kesetaraan. Namun, seperti banyak visi utopis, terdapat perbedaan signifikan antara cita-cita teoretis dan realitas pragmatis. Pada faktanya, eksekusi menuju fase ideal itu penuh dengan ketidakadilan, kekejaman, dan nir-kemanusiaan. Ironis.

Kimball menyatakan bahwa upaya-upaya mewujudkan masa “ideal” oleh kelompok kelompok keagamaan di atas sebenarnya menggambarkan ilusi yang tidak mungkin terealisasi. Mereka yang berupaya untuk mengganti struktur politik negara menjadi negara teokrasi seraya mengklaim diri mereka sebagai wakil dari kehendak Tuhan adalah sosok yang berbahaya. Agama menurutnya pada konteks ini telah menjelma menjadi bencana.

Dalam konteks ini, semangat millenarian berfungsi untuk meneguhkan bahwa apa yang sedang mereka “perjuangkan” adalah sebuah kebenaran. Dalam imaji mereka, dunia yang sedang dihidupi saat ini penuh dengan kemudaratan. Mereka kemudian merasa terpanggil untuk membenahi sistem sosial yang semrawut dengan menghabisi agen-agen yang dianggap sebagai sumber masalah.

Dalam Islam, semangat millenarian masih dapat dijumpai hingga saat ini. Indonesia merekam semangat ini pada gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Meski sudah dicekal pada tahun 2017, obsesi mendirikan khilafah sebagai pengganti sistem “kafir” demokrasi masih menyala hingga saat ini. Ambisi ini yang kemudian dipupuk menjadi militansi untuk menyetir seseorang melakukan segala sesuatu demi tercapainya misi “mulia” itu.

Salah satu alasan mendirikan negara “khilafah” menurut HTI adalah bahwa sistem politik demokrasi merupakan representasi dari ideologi sekulerisme dan kapitalisme. Mereka memandang demokrasi bukan hanya sebagai ideologi tetapi sebagai alat penjajahan negara-negara Barat terutama Amerika untuk menjajah negara-negara berpenduduk Muslim. Dengan demikian, demokrasi harus ditolak dan diganti dengan ideologi Islam. Untuk mewujudkan ideologinya tersebut, HTI menempuh dua strategi perlawanan, yaitu perlawanan pemikiran dan perlawanan politik.

Meski HTI pada dasarnya adalah anti-demokrasi, namun mereka justru sangat hati-hati dengan hukum. Direktur Institute For Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones mengatakan bahwa mereka tidak menggunakan kekerasan, meskipun kadang-kadang mendukung orang lain yang melakukannya dengan tujuan revolusioner. Kata ‘revolusioner’ menjadi keyword bahwa mereka memendam misi ideologis-politik untuk menggulingkan sistem yang mereka anggap salah dan sumber kekacauan kemudian merealisasikan mimpi utopis mereka bernama “khilafah”.

Walakhir, pernahkah kita menjadi seorang millenarian? Selama masih dalam level alam pikiran maka sah-sah saja. Tentu semua orang ingin hidup nyaman, damai, dan sejahtera. Setiap orang juga punya subjektifitas tersendiri dalam membayangkan bagaimana mewujudkan kondisi adem ayem itu. Namun, jika ia menjadi militan dan radikal hingga mengabaikan nilai kemanusiaan, maka itu jelas tidak bisa dibenarkan. Apalagi hingga melakukan aksi teror.