Di Era Digital, Islam Lokal Diserang untuk Dikomodifikasi

Di Era Digital, Islam Lokal Diserang untuk Dikomodifikasi

Kondisi ini tentu hanya sekilas dari gambaran wajah Islam lokal hari ini. Selain menjadi tontonan, Islam lokal terjepit di antara serang di dunia digital dan kegagapan dalam menghadapi narasi negatif yang beredar.

Di Era Digital, Islam Lokal Diserang untuk Dikomodifikasi

Kala perdebatan soal penolakan dan kekisruhan terkait ustaz Reza Basalamah di salah satu daerah, saya sempat mendengar narasi kedekatan para pendakwah salafi dengan budaya. Tak hanya itu, mereka diklaim semakin dekat dan menghargai perbedaan budaya, terutama tradisi lokal. Namun, sebagian besar kisruh masyarakat lokal dan kelompok Salafi hingga hari ini di antaranya justru dikarenakan penolakan atas tradisi setempat.

Dulu, masyarakat lokal berurusan dengan tuduhan kelompok modernis. TBC (Takhyul, Bid’ah, dan Churafat) populer di masyarakat kala itu. Tak pelak sempat terjadi beberapa konflik di beberapa kelompok masyarakat karna banyak tradisi sempat mendapatkan “serangan.”

Purifikasi atau gerakan pemurnian kala itu cukup agresif. Di beberapa daerah, kisruh terkait tradisi keberagamaan di masyarakat ini sempat memakan korban. Fedyani Saifuddin dalam karyanya merekam bagaimana perseteruan tersebut terjadi di masyarakat, bahkan tersimpan sebagai memori sosial hingga hari ini. Sebagian masyarakat kita pun masih menyimpan dan secara tidak sadar mewariskan memori itu.

Ceramah agama kelompok Salafi seringkali, bahkan sebagian besar, gagal melihat ini. Kesalahan ini pun masih sering mereka ulang hingga saat ini. Purifikasi atas ajaran agama menjadi dalil pamungkas atas aksi mereka tersebut, bahkan hingga hari ini.

Kelompok Salafi, baik otoritas atau jemaahnya, tidak memberikan ruang sama sekali untuk penafsiran lain atau keleluasaan pada masyarakat dalam menjalankan agamanya, bersama otoritas yang selama ini menemani dan membimbing mereka. Bagi mereka, Islam yang dijalankan masyarakat hari ini dipandang telah tercemar, bercampur klenik, hingga terlalu bebas.

Di beberapa siniar, Khalid Basalamah pernah mengaku bahwa kehadiran dakwah salaf yang mereka gawangi sebenarnya tidak anti terhadap tradisi. Tapi, ustaz Khalid juga menyayangkan tradisi tersebut tidak berbasis contoh dari Nabi Muhammad Saw., sehingga masyarakat muslim seharusnya sadar atas kesalahan ini.

Pemahaman kelompok Salafi di atas jelas menjadi pemantik beberapa kekisruhan di masyarakat. Media sosial pun turut mengamplifikasi suara-suara ini di masyarakat. Bahkan, saya melihat beberapa kegiatan dan tradisi keberagamaan mendapatkan komentar hingga hujatan dari kelompok Salafi.

Kemarin kala kisruh dakwah Reza Basalamah pun bertebaran konten-konten pembelaan. Tak hanya ulama, beberapa jemaah pun juga turut menyayangkan penolakan tersebut. Mereka pun koor bersuara soal ketidakpahaman masyarakat atas dakwah yang diusung kelompok Salafi.

Pemandangan di atas mungkin hanya secuil cerita penolakan tradisi Islam lokal. Menariknya, dinamika penolakan atau resistensi atas tradisi-tradisi keislaman di masyarakat mulai terdapat pergeseran. Kok bisa?

Islam dan Tradisi Lokal: Diserang Sekaligus Dikomodifikasi

Kita mungkin masih ingat kemunculan “Pesulap Merah” yang sempat menghebohkan jagat mayantara. Aksi-aksinya membongkar penipuan berkedok ritual di masyarakat pun mendapatkan sorotan dan atensi publik. Sayangnya, pesulap merah juga menyerang beberapa kepercayaan masyarakat kita. Padahal, tradisi lokal telah lama berkelindan dengan keislaman masyarakat kita.

Selain itu, tradisi keislaman yang berkelindan dengan dinamika lokalitas pernah dikomodifikasi, namun di saat bersamaan juga “diserang” karena alasan purifikasi: dari klenik, mistik, hingga tidak rasional. Kita pernah melihat ustaz dari kelompok salafi memakai blangkon atau pendakwah Islam populis memakai riasan tradisi lakon di masyarakat Jawa untuk kepentingan dakwah mereka.

Budaya setempat dengan sengaja dikapitalisasi dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan menarik atensi belaka. Padahal, dakwah para pendakwah populis ini sering sekali memasukkan narasi tentang “ketidakrasionalan” Islam lokal. Bagi mereka, beragam keberislaman yang berkelindan dengan tradisi lokal itu tidak masuk akal.

Islam lokal dengan beragam tradisi, kepercayaan, hingga mitos yang mengelilinginya hanya korban dari “framing” para pendakwah populis. Dakwah Islam lewat beragam sajian ala modern, mulai dari meminjam teknik seni pertunjukan, kemampuan storytelling, hingga tata atau setting panggung yang megah, padahal semua itu ‘tidak dicontohkan’ Nabi Muhammad Saw.

Felix Siauw pernah mengatakan di salah satu siniar, masyarakat Muslim di Nusantara masih belum banyak yang mengandalkan logika. Padahal, Islam, menurutnya, adalah agama yang logis. Kondisi ini, kata Felix, yang menyebabkan Islam di Nusantara masih berkelindan dengan klenik dan mitos. Menurut saya, pernyataan Felix ini terlalu terburu-buru dan tidak mengulik Islam lokal dengan kekayaan khazanah pengetahuan yang luar biasa.

Keberislaman masyarakat di Nusantara yang berkembang dengan beragam tradisi dan kepercayaan setempat, adalah bagian yang tak terlepaskan dari kejeniusan dakwah para pendakwah Islam masa lalu. Bahkan, Islam lokal pun dikembangkan lewat beragam tradisi teks yang mengelilinginya. Hal ini seringkali luput dari amatan dan pelajaran kelompok Islam Salafi dan pendakwah populis, macam Felix.

Islam lokal memang memiliki “kekurangan,” yakni masih belum benar-benar hadir dan beradaptasi sekaligus berkalibrasi dengan dinamika dunia digital. Ia seringkali hadir hanya sebagai tontonan dan dikapitalisasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Padahal, kekayaan khazanah Islam lokal tidak bisa diabaikan begitu saja.

Tantangan lain, bagi Islam lokal, adalah kehadiran wajah Islam yang lebih cair, ditandai dengan memudarnya sekat-sekat primordial dalam Islam. Kita hari ini tidak lagi aneh melihat anak-anak muda tidak lagi hanya bisa mengakses pendakwah yang selaras dengan narasi dan ajaran Islam yang dijalankannya.  Perubahan ini, di satu sisi, bisa dimaknai dengan mempermudah akses Islam yang lebih luas. Namun, di sisi lain, Islam lokal malah tidak lagi menjadi identitas sebuah masyarakat, karna Islam tidak lagi dipraktikkan dengan model yang selama ini ada. Ada beragam tradisi-tradisi baru yang bermunculan dari wajah Islam kontemporer.

Kondisi ini tentu hanya sekilas dari gambaran wajah Islam lokal hari ini. Selain menjadi tontonan, Islam lokal terjepit di antara serang di dunia digital dan kegagapan dalam menghadapi narasi negatif yang beredar.

Walaupun, anak-anak muda yang masih memiliki keterikatan dengan Islam lokal, mulai menghadirkan Islam lokal di dunia maya. Namun, usaha ini masih banyak meninggalkan dan menyisakan pekerjaan rumah, seperti beradaptasi dengan model persebaran dan konsumsi pengetahuan yang tak lagi hierarkis. Begitu.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin

(AN)