Yang Penting Viral, Sebuah Ironi Beragama di Era Media Sosial

Yang Penting Viral, Sebuah Ironi Beragama di Era Media Sosial

Wajah keberagamaan kita tampaknya ditentukan oleh pilihan yang dibuat lewat algoritma, bukan lagi lewat kesadaran menghamba.

Yang Penting Viral, Sebuah Ironi Beragama di Era Media Sosial

Kemarin (6/05), saya diminta saudara untuk membeli nasi bungkus untuk kami sarapan. Di perjalanan, saya mendapati salah satu pedagang memberi nama lapak jualannya dengan “Berkah Viral.” Barang dagangan yang ditawarkan penjual tersebut memang mengikuti gaya berjualan makanan yang sedang viral.

Jika kita melihat ke belakang, sekitar satu dekade ini beragam barang dagangan, terutama di bidang makanan dan minuman, sangat dipengaruhi dengan arus informasi terutama di media sosial. Kemampuan media sosial dalam membentuk opini hingga gaya hidup publik tak bisa dibantah.

Viral memang tidak sepenuhnya bernada negatif. Ada frasa terkenal, “No Viral, No Justice.” Kita bisa memperjuangkan keadilan publik lewat pembentukan opini dan gerakan publik. Jalan di Lampung hingga mie gacoan sempat menjadi perbincangan dan ramai direspon oleh publik.

Sayangnya, narasi atau fenomena yang sedang viral bukan berarti tidak menyimpan sisi gelap. Satu di antaranya adalah kita sering gagal atau lemah menganalisa persoalan tersebut dengan hati-hati. Sering sekali kita dipaksa untuk berpihak atau memilih salah satunya dengan seluruh konsekuensinya, ditambah pilihan kita menjadi bagian dari publik dan melawan pilihan lainnya.

Di tengah kondisi tersebut kita juga akan berkelindan dengan istilah FOMO (fear of missing out), yakni rasa takut merasa “tertinggal” karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Sebuah perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang akibat ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan hal lainnya.

Rasa takut ketinggalan ini mengacu pada perasaan atau persepsi bahwa orang lain bersenang-senang, menjalani kehidupan yang lebih baik, atau mengalami hal-hal yang lebih baik. Adapun kita malah sedang ketinggalan atau tidak terlibat di dalamnya. Menariknya, viral dan fomo tak kita sadari sering mempengaruhi keputusan-keputusan dalam kehidupan sehari-hari kita, termasuk dalam beragama.

Bagaimana wajah beragama kita jika dipengaruhi viral dan fomo?

Keberagamaan di era digital ini tidak lagi bersifat personal atau pribadi. Keberislaman kita menjadi konsumsi publik, bahkan ke ranah ritual keberagamaan. Mungkin kita tidak sepenuhnya sadar bahwa perubahan besar pada wajah keberagamaan kita telah terjadi.

Slavoj Zizek, filsuf asal Slovenia, pernah memberikan satu renungan terkait agama digital. Agama, menurut Zizek, di era digital sekarang ini tidak lagi sekedar representasi diri personal kita di dunia maya, namun agama telah berkelindan dengan beragam pengaturan algoritma yang secara tidak sadar mempengaruhi kita dalam beragama.

Zizek memberikan perumpamaan dengan agama kita telah dipengaruhi jejaring kabel dan aliran listrik yang telah diatur oleh “tangan” yang sering tak mengerti sepenuhnya terkait keberagamaan. Artinya, kita tidak lagi sepenuhnya sadar atau menyadari bagaimana kita beragama. Kok bisa?

Hari ini, entah disadari atau tidak, keberagamaan kita seringkali dipengaruhi dengan urusan fomo dan viral. Sayangnya, kita sering tidak menyadarinya.

Masyarakat kita secara tidak sadar seringkali menilai atau memberikan pendapat negatif pada model keberagamaan yang berbeda. Kala sebuah model pengurusan masjid menjadi viral, maka pilihan untuk menilai “negatif” pada kepengurusan masjid lain semakin menguat.

Kendatipun penilaian tersebut masih terbilang halus atau tidak frontal, pada gilirannya kita menjadi terbiasa untuk memberikan penilaian dan mengikuti pendapat publik. Gerakan massa di ruang digital akhirnya terbentuk lewat pengerasan opini publik lewat perbincangan di media sosial. Menariknya, perbincangan ini biasanya berasal dari konsumsi dan keterlibatan secara tidak sadari penuh oleh kita.

Mungkin masih segar dalam ingatan kita pada Ramadan kemarin ketika kita disuguhi fenomena viral terkait ibadah Qiyamul lail di berbagai masjid. Fenomena ini menjadi viral lewat kiriman atau unggahan video masyarakat kita yang mengikuti kegiatan tersebut. Algoritma media sosial pun bekerja dan mulai membentuk pola yang mempengaruhi dan memantik perbincangan lain.

Mungkin kita sering mendengar kata-kata “Baru kali ini” atau “Seharusnya” ketika memberikan caption atau pernyataan atas unggahan mereka, terkait model keberagamaan atau kegiatan keislaman yang sedang mereka lakukan. Padahal, kata-kata ini bisa jadi menggambarkan mereka yang menyebutnya itu “kurang piknik” atau “kurang jauh jalan-jalan.”

Model-model ibadah yang selama ini dijalankan oleh masyarakat kita sebenarnya memiliki niat dan harapan yang sama, namun dilakukan oleh metode dan gaya berbeda saja.

Lebih dari itu, masyarakat kita masih berkelindan dengan masjid sebagai pusat kehidupan sosial mereka di sebuah daerah. Di tempat saya, misalnya, masjid di sini selain menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Setiap kegiatan keagamaan, masjid seringkali hanya menjadi wadah pelaksanaan saja, selepas itu para jemaah dibebaskan untuk mendatangi rumah-rumah yang terbuka untuk menjamu para jemaah.

Masjid menjadi milik dan dilayani bersama. Masyarakat menjadikan masjid tidak terpisah dari identitas sosial mereka. Ikatan-ikatan ini seakan menghilang dari ungkapan para pengelola masjid yang menganggap pengurusan masjid mereka lebih modern. Memang, kita juga tidak menutup mata masih banyak kekurangan dalam aktifitas keberagamaan kita di ruang publik.

Sayangnya, masyarakat kita mulai terjangkiti dampak fomo dari fenomena viral. Kita melihat menjadi menduplikasi fenomena tersebut di ranah keberagamaan kita. Di satu sisi, fenomena viral berdampak pada geliat keberagamaan kita semakin besar. Namun, di sisi lain, kita malah sering mengabaikan keterlibatan publik secara sadar dan pertimbangan sistem sosial kita sendiri.

Dalam beragama, fomo atas sesuatu yang viral lebih baik dihindari. Sebab, keberagamaan kita menjadi lebih “dikontrol” oleh sesuatu di luar kesadaran kita sendiri. Kita semakin kehilangan aspek “kenikmatan” atas perjalanan spiritual kita, walaupun kini pengalaman spiritual kita bisa jadi seperti dopamin yang dibangkitkan lewat beragam unggahan di media sosial.

Ah, tampaknya wajah keberagamaan kita pun menjadi ditentukan oleh pilihan yang dibuat lewat algoritma, bukan lagi lewat kesadaran. Begitu.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin