Masjid Baitul Makmur bukanlah masjid raya yang ikonik berdiri megah di tengah-tengah kota besar. Alih-alih masjid ini cuma masjid kampung yang tersembunyi di dusun Sidorejo, Ngestiharjo, Kasihan, Kabupaten Bantul D.I. Yogyakarta. Namun pemandangan yang tersaji di Masjid Baitul Makmur merupakan pemandangan istimewa yang tak jamak kita temui di sembarang masjid.
Keistimewaan masjid sederhana ini adalah kesadaran mereka dalam membela minoritas. Akan tetapi kaum minoritas yang dimaksud disini bukanlah umat agama lain. Kaum minoritas ini justru ada dari dalam tubuh umat Islam sendiri, yaitu umat Islam difabel yang kerap kali terlupakan. Pengurus Masjid Baitul Makmur memiliki ikhtiar untuk memuliakan umat Islam dengan cara ramah melayani kebutuhan penyandang difabel.
Upaya yang dilakukan oleh pengurus masjid sebenarnya berangkat dari hal-hal sederhana. Salah satu contohnya, saat sebagian masjid tidak memberi ruang bagi kursi roda untuk memasuki ruangan utama salat, Masjid Baitul Makmur bertindak sebaliknya. Kaum difabel berkursi roda diizinkan untuk salat di ruangan utama masjid. Bahkan dipersilakan pula untuk menempati shaf terdepan, diberi kesempatan yang sama dalam meraih pahala. Mereka tidak ingin penyandang difabel merasa terasing dan ragu-ragu untuk menjalankan kewajiban agamanya sendiri.
Pengurus masjid tidak memandang kursi roda sebagai benda yang terpisah dari tubuh dan wajib ditanggalkan di batas suci sebagaimana alas kaki. Toh pada kenyataannya banyak difabel yang dalam kesehariannya tak dapat dipisahkan dari kursi roda. Mereka makan, mandi, bekerja, dan melakukan aktivitas lain diatas kursi roda. Bagi penyandang difabilitas fisik, kursi roda bukan lagi berfungsi laiknya sepatu atau sandal. Lebih jauh lagi, kursi roda sudah mewujud sebagai “kaki” bagi mereka.
Keramahan masjid ini lambat laun mewujud dalam bentuk yang lebih kompleks. Masjid ini memasang paving di seluruh halaman masjid dan memasang ramp (jalur landai) di undakan bangunan masjid. Hal ini guna memudahkan pengguna kursi roda. Selain itu, masjid kampung ini menyediakan guiding block berwarna kuning mencolok mulai dari gerbang utama sampai ke tempat wudhu dan bangunan masjid. Fasilitas ini tentu ditujukan bagi difabel netra agar lebih mudah mengakses masjid tanpa hambatan.
Sikap pengurus Masjid Baitul Makmur ini mampu menampilkan wajah Islam yang ramah bagi kaum difabel. Selama ini banyak penyandang difabel yang memendam keinginan untuk menyambangi masjid tetapi tidak berani datang. Biasanya mereka takut dengan orang-orang yang berpandangan kaum difabel – dan alat bantunya – mengotori masjid atau mengganggu pelaksanaan salat jamaah. Alasan lainnya adalah alasan teknis. Masih banyak masjid yang tidak mempunyai sarana prasarana penunjang yang ramah difabel.
Keberadaan Masjid Baitul Makmur tentu menjadi oase di tengah keterbatasan fisik mereka. Kaum difabel bisa merasakan sendiri bahwa Islam juga mengakui keberadaan mereka. Islam tidak memandang mereka sebagai umat kelas dua. Bahkan penyandang difabel dirangkul untuk ikut memakmurkan rumah Allah.
Uniknya, keberadaan masjid ini tidak hanya membawa berkah bagi umat Islam saja. Penyandang difabel yang beragama lain juga kerap menjadikan Masjid Baitul Makmur sebagai referensi tempat ibadah yang peduli terhadap kaum difabel. Pengurus masjid ini pun selalu membuka diri bagi para pengurus gereja, pura, vihara, ataupun masyarakat umum yang ingin mengetahui proses mereka dalam menyediakan sebuah tempat ibadah yang ramah kaum difabel.
Saat ini masih ada dua cita-cita lain yang belum dapat diwujudkan oleh pengurus Masjid Baitul Makmur. Mereka ingin mempunyai koleksi Al-Quran braille untuk memfasilitasi difabel netra mengaji. Mereka juga masih menyimpan mimpi untuk bisa memudahkan difabel rungu dalam menyimak khotbah salat jum’at. Pengurus masjid sungguh-sungguh berkeinginan bisa mengakomodasi seluruh kaum difabel dengan beragam disabilitasnya agar bisa beribadah di masjid.
Pada akhirnya, fungsi rumah Allah adalah untuk menerima kehadiran semua manusia tanpa terkecuali. Ketika banyak masjid mengejar kemegahan arsitektur yang kompleks dan estetik tak ubahnya obyek wisata, satu teladan mulia hadir dari sebuah masjid kampung sederhana di pelosok Bantul, Yogyakarta.