Hari Penyandang Disabilitas Sedunia: Begini Pandangan Islam Terhadap Penyandang Disabilitas

Hari Penyandang Disabilitas Sedunia: Begini Pandangan Islam Terhadap Penyandang Disabilitas

Hari Penyandang Disabilitas Sedunia: Begini Pandangan Islam Terhadap Penyandang Disabilitas
Anak-anak bersama militer penyandang disabilitas. pict by freepik

Tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Penyandang Disabilitas Internasional sebuah peringatan yang diinisiasi oleh PBB semenjak tahun 1992. Kendati demikian, kampanye perihal urgensi setiap negara atau warga negara untuk menghormati hak-hak penyandang disabilitas kurang begitu mendapatkan perhatian public, termasuk di antaranya memberikan hak kesetaraan, menyediakan akses, dan kesempatan yang sama.

Para penyandang disabilitas di Indonesia kurang terfasilitasi dengan baik, bahkan kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif, dan dianggap merepotkan oleh banyak kalangan. Satu sisi, kondisi disabilitas memang mengalami hambatan dalam mengakses layanan umum seperti halnya pendidikan, kesehatan maupun ketenagakerjaan.

Di sisi yang lain semestinya kondisi disabilitas tersebut bukanlah menjadi suatu penghalang untuk mendapatkan hak kesetaraan dan hak mempertahankan kehidupannya.

Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disabilitas adalah keadaan seperti sakit atau cedera yang merusak atau membatasi kemampuan mental dan fisik seseorang. Dalam kondisi ini seseorang tersebut tidak mampu melakukan hal-hal pada umumnya.

Penyandang disabilitas dianggap sebagian orang sebagai orang yang “Tidak mampu” melakukan suatu pekerjaan, hidupnya seolah bergantung kepada orang lain serta tidak ada harapan untuk hidup secara mandiri sehingga mereka patut dikasihani.

Penyandang disabilitas kerap dipandang sebagai warga masyarakat yang kontra produktif, tidak dapat melaksanakan tugas dengan sepenuhnya, sehingga hak-haknya acapkali terabaikan. Anggapan demikian biasanya diikuti dengan berbagai macam tindakan diskriminasi.

Sikap diskriminasi tersebut banyak ditemukan di fasilitas-fasilitas publik yang tidak memberikan akses memadai bagi penyandang disabilitas, utamanya akses informasi pendidikan serta pekerjaan. Guna menepis stigma demikian, perlu kiranya untuk memperteguh kembali bagaimana pandangan Islam terhadap penyandang disabilitas.

 

Islam Melarang Sikap Diskriminasi, termasuk pada Penyandang Disabilitas

Allah Swt. mengingatkan agar antar satu komunitas dengan yang lainnya tidak mengolok-olok satu sama lain. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran:

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوْا خَيْراً مِنْهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok).” (Q.S. Al-Hujurat [49]: 11)

Ayat di atas memberikan petunjuk bahwa tindakan mencela dan merendahkan orang lain merupakan perbuatan tercela. Bisa jadi, yang dicela kedudukannya lebih tinggi di sisi Allah ketimbang yang mencela. Hal ini kemudian dikonfirmasi oleh mufasir kenamaan mazhab Hanafi Al-Jasash (W. 370 H) dalam Ahkam Al-Qur’an-nya:

نَهَى اللَّهُ بِهَذِهِ الْآيَةِ عَنْ عَيْبِ مَنْ لَا يَسْتَحِقُّ أَنْ يُعَابَ عَلَى وَجْهِ الِاحْتِقَارِ لَهُ، لِأَنَّ ذَلِكَ هُوَ مَعْنَى السُّخْرِيَةِ وَأَخْبَرَ أَنَّهُ وَإِنْ كَانَ أَرْفَعَ حَالًا مِنْهُ فِي الدُّنْيَا فَعَسَى أَنْ يَكُونَ الْمَسْخُورُ مِنْهُ خَيْرًا عِنْدَ اللَّهِ

“Melalui ayat ini Allah Swt. melarang untuk mencela orang yang tidak berhak dicela karena merendahkannya. Sebab, hal tersebut mengandung makna sukhriyyah. Kemudian Allah menyebutkan bahwa seandainya orang yang mengolok-olok itu lebih tinggi kedudukannya di dunia dari orang yang diolok-olok, maka bisa jadi orang yang diolok-olok itu kedudukannya lebih tinggi di akhirat dan di sisi Allah.” [Ahmad bin Ali Abu Bakar Ar-Razi Al-Jasash, Ahkam Al-Qur’an (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah), vol. 3, h. 537]

Bahkan Rasulullah Saw. sangat mengecam tindakan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas, beliau pernah bersabda:

لَعَنَ اللهُ مَنْ كَمِهَ أَعْمًى عَنِ السَّبِيلِ

“Allah melaknat orang yang menyesatkan orang buta dari jalan.” (H.R. Al-Baihaqi)

 

Kesetaraan Hak dan Pemberdayaan Potensi

Dalam satu riwayat, tatkala sahabat Abdullah Ibn Umi Maktum mendatangi Rasulullah Saw. guna dibimbing perihal agama Islam, Rasulullah SAW mengabaikannya, sebab nabi sedang sibuk mengadakan rapat bersama para petinggi kaum Quraisy untuk membincang nasib kaum muslimin. Lalu turunlah Surat ‘Abasa sebagai bentuk peringatan agar Rasulullah SAW lebih memperhatikan Abdullah Ibn Umi Maktum yang disabilitas netra ketimbang forum rapat penting sekalipun.

Semenjak kejadian itu, Rasulullah Saw. sangat memuliakan Abdullah Ibn Umi Maktum bahkan tatkala menjumpainya dimanapun Rasulullah SAW kerap menyapanya dengan ungkapan:

مَرْحَبًا بِمَنْ عَاتَبَنِي فِيهِ رَبِّي

“Selamat berjumpa, wahai orang yang karenanya aku telah diberi peringatan oleh Tuhanku.” [Al-Wahidi, Asbab An-Nuzul Al-Qur’an]

Konteks turunnya Surat ‘Abasa tersebut, membuktikan bahwa dalam Islam kedudukan para penyandang disabilitas setara dengan manusia lainnya, bahkan harus diprioritaskan ketimbang yang lainnya.

Rasulullah SAW sendiri bahkan tercatat pernah menunjuk sahabat Abdullah Ibn Umi Maktum sebagai wakilnya menjadi imam di Madinah sebanyak dua kali saat Rasulullah SAW bepergian ke luar Madinah. Selain itu, keindahan suara Ibn Umi Maktum juga membuat Rasulullah SAW mengangkatnya sebagai muadzin. Hal ini menunjukkan terhadap pemberdayaan dan pengembangan potensi yang dimiliki oleh para penyandang disabilitas.

Meski Ibn Umi Maktum merupakan seorang disabilitas netra, namun ia memiliki skill kepemimpinan yang kuat. Sedemikian agung ajaran Islam dalam pemenuhan hak dan pemberdayaan potensi penyandang disabilitas.

Dari sikap Rasulullah Saw. kepada Abdullah Ibn Umi Maktum, dapat diambil kesimpulan bahwa tidak diperkenankan bagi siapapun mendiskriminasi dan meremehkan para penyandang disabilitas. Sebab dibalik kekurangannya, mereka memiliki kelebihan dan potensi tersendiri.

Dalam Islam, semua manusia adalah setara. Hal yang menjadi pembeda manusia satu sama lain ialah tingkat ketakwaannya, tak terkecuali bagi penyandang disabilitas. Mereka juga berhak mendapatkan perlakuan yang manusiawi dan layanan fasilitas sebagaimana umumnya. Konsep egaliter penyandang disabilitas ini telah disampaikan oleh Allah Swt. dalam Al-Quran:

لَيْسَ عَلَى الْأَعْمَى حَرَجٌ وَلاَ عَلَى الْأَعْرَجِ حَرَجٌ وَلا عَلَى الْمَرِيضِ حَرَجٌ وَلا عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَنْ تَأْكُلُوْا مِنْ بُيُوتِكُمْ أَوْ بُيُوتِ آبَائِكُمْ

“Tidak ada halangan bagi penyandang disabilitas netra, tidak (pula) bagi penyandang disabilitas daksa, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumahmu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu.” (Q.S. An-Nur [24]: 61)

Ayat tersebut secara eksplisit menegaskan perihal konsep kesetaraan sosial antara penyandang disabilitas dan non-disabilitas. Mereka harus diperlakukan dengan sama dan diterima tanpa sikap diskriminasi serta tanpa stigma negatif dalam tatanan kehidupan sosial. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh mufasir kontemporer Syekh Ali As-Shabuni (W. 2021 M) dalam karyanya Tafsir Ayat Al-Ahkam:

مَعْنَاهُ: لَيْسَ عَلَى أَهْلِ الْأَعْذَارِ وَلاَ عَلَى ذَوِيْ الْعَاهَاتِ (الْأَعْمَى، وَالْأَعْرَجِ، وَالْمَرِيْضِ) حَرَجٌ أَنْ يَأْكُلُوْا مَعَ الْأَصِحَّاءِ، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يَكْرَهُ الْكِبْرَ وَالْمُتَكَبِّرِيْنَ، وَيُحِبُّ مِنْ عِبَادِهِ الْتَّوَاضُعَ

“Maknanya adalah: Bahwa tidak ada dosa bagi orang-orang yang punya halangan (uzur) dan keterbatasan (disabilitas netra, daksa, dan orang sakit) untuk makan bersama non-disabilitas, sebab Allah Ta’ala membenci kesombongan dan orang-orang yang sombong, Allah menyukai kerendahan dari para hamba-Nya.” [Ali As-Shabuni, Rawa’i Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam (Damaskus: Maktabah Al-Ghazali), vol. 2, h. 223]

Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa Islam sangat mengecam tindakan diskriminasi yang ditujukan kepada para penyandang disabilitas, apalagi sikap diskriminasi tersebut timbul dari kesombongan serta jauh dari etika kemanusiaan. Sebab, di balik keterbatasan fisik terdapat kedudukan yang mulia di sisi Allah SWT.

Walhasil, uraian berdasarkan Al-Quran, hadis dan interpretasi ulama yang telah dikemukakan diatas menunjukkan bahwa Islam begitu menghargai hak-hak penyandang disabilitas dalam segala aspek, mereka memiliki hak sosial yang sama dan tidak ada yang membedakan kecuali tingkat ketakwaannya. Karenanya, stigma negatif terhadap penyandang disabilitas harus dihentikan. Sebaliknya kita perlu memberikan edukasi positif kepada masyarakat sehingga mereka memiliki wawasan terbuka dan mau menumbuhkan sikap empati terhadap penyandang disabilitas. Wallahu A’lam Bisshawab. (AN)