Wabah Black Death yang pernah terjadi pada abad pertengahan tidak direspon sebagaimana para ahli merespon pandemi sekarang. Banyak spekulasi yang muncul, dari mulai angin hingga ulah jin.
Pengetahuan umat manusia tentang wabah, pada masa terjadinya Black Death, turut mempengaruhi banyak hal tentang respon terhadap wabah. Umunya akan terasa janggal bahkan konyol, Jika diukur dengan logika epidemiologi modern. Akan tetapi, itu merupakan upaya terbaik yang dapat dilakukan umat manusia saat itu.
Asal Muasal Wabah
Black Death terjadi ketika wawasan umat manusia belum menjangkau dunia mikrobatis, apalagi untuk menghubungkannya sebagai penyebab di balik kemunculan dan penyebaran wabah. Pemahaman tentang asal usul wabah penyakit di dunia Islam saat itu (hal yang sama juga berlaku di Barat) adalah teori humoralisme yang dicetuskan oleh Claudius Galen (130-200 M). Teori ini ringkasnya memahami penyakit, yang tersebar secara massif menjadi wabah, merupakan bentuk ketidakseimbangan elemen atau susunan komposisi tertentu dalam tubuh manusia. Defisit ketidaksimbangan ini terjadi karena faktor eksternal dari tubuh, misalnya asupan udara yang tercemar.
Udara tercemar atau “angin jahat” merupakan teori yang paling diterima saat itu (bahkan hingga abad 19), ini setidaknya dapat menjelaskan bagaimana sebuah wabah menyebar tak terkendali. Teori angin jahat ini juga diadopsi oleh beberapa ilmuwan medis muslim seperti Ali Ibnu Khatimah dalam bukunya Miftah At-Thibb. Ibnu Sina juga menjelaskan tentang teori humoralisme Galen, dalam kitab beliau Al-Qanun Fi Thibb (jilid I, hlm. 28). Dalam tempat lain di buku yang sama (lihat jilid III, hlm 87) Ibnu Sina menuliskan bahwa wabah penyakit seringkali terjadi oleh angin jahat, atau udara yang terkontaminasi oleh berbagai kotoran dan residu.
Teori “angin jahat” yang memicu “ketidakseimbangan humoral” nampaknya memang paling dapat diterima oleh masyarakat muslim kala itu. Baru berabad-abad kemudian, umat manusia dapat menyibak lapisan yang lebih banyak tentang variasi makhluk hidup. Kehidupan ternyata tidak terbatas pada dunia yang tampak, melainkan terus mengerucut pada unit-unit yang demikian kecil. Dan ternyata wabah penyakit hanyalah wujud “perang” saling mempertahankan kehidupan antara kita dengan unit-unit mungil kehidupan tadi.
Keyakinan-keyakinan Astrologikal
Manusia di masa lalu memosisikan langit sebagai proyeksi untuk banyak hal. Ada jalinan keterkaitan yang menghubungkan langit dengan setiap individu manusia. anggapan ini juga berlaku dalam dunia pengobatan, diamini oleh para pemikir medis seperti Hyppocrates dan Galen.
Di kalangan para dokter dan ilmuwan Islam, menyeret pengetahuan astrologis ke dalam bidang kedokteran menjadi polemik banyak ahli. Semakin ke depan, penolakan terhadap keyakinan astrologikal semakin mendominasi, Ibnul Khathib dan Ibnu Sina misalnya, yang lebih fokus pada penjelasan yang lebih masuk akal, seperti faktor lingkungan sekitar dan asupan makanan.
Tendensi dan kesan negatif pada astrologis yang telah ,mengakar sejak awal ajaran Islam nampaknya turut berpengaruh “mengusir” pertimbangan-pertimbangan astrologis dari ilmu medis. Tidak heran jika umat Islam lebih sedikit memberi respon-respon yang berbasis keyakinan astrologis, ketika berhadapan dengan wabah maut hitam. Hal ini jika dibandingkan dengan respon masyarakat Eropa di bawah serangan bencana biologis yang sama.
Social Distancing dan Langkah Pencegahan
Orang-orang di abad pertengahan tentu berupaya keras melawan wabah dahsyat tersebut, meski mereka tentu tidak seberuntung kita, yang dapat menemukan opsi-opsi yang jauh lebih efektif dan masuk akal.
Penularan orang ke orang belum menjadi kepercayaan logis saat black death menerpa. Penularan yang kita pahami sekarang, sebenarnya hanya perpindahan virus atau bakteri, dari orang ke orang mengingat keterlibatan entitas hayati mikrobatis belum sama sekali terpikirkan, maka penjelasan yang lebih diterima tentang derasnya persebaran penyakit, adalah hembusan angin jahat yang terus bergerak.
Para pemikir yang mengakui keberadaan penyakit menular seperti Ibnul Khathib, giat mengkampanyekan agar tidak mendekati, atau melakukan kontak dengan para penderita. Akan tetapi, arus dominan masyarakat lebih memilih saran-saran yang lain. Ibnu Khatimah misalnya memberi saran agar orang mencari sumber udara yang lebih bersih, menaburkan bahan-bahan penyegar udara di sekitar rumah seperti perasan jeruk dan air mawar. Langkah ini juga dilakukan dengan membalurinya ke tubuh. Saran lain yang diberikan Ibnu Khatimah adalah berjemur di terik matahari.
Langkah Pengobatan
Teori angin jahat sebagai sumber wabah mungkin jauh dari kebenaran, namun setidaknya ia telah memberikan gambaran bahwa wabah berasal dari faktor eksternal yang menyusup ke dalam tubuh. Berangkat dari sana, diantara terapi yang dipercaya mengobati wabah adalah Bloodletting yaitu membuang darah dengan membuat lubang-lubang kecil di tubuh. Darah-darah tercemar angin jahat dipercaya harus dikeluarkan agar dapat menyembuhkan si penderita. Saran seperti ini juga dipercaya oleh sebagian ilmuan seperti Ibnul Khatimah. Dan ia cukup jamak dipraktekkan oleh umat Islam dalam masa maut hitam. (AN)