Baru-baru ini ini, heboh di media sosial tentang ucapan Ustadz Adi Hidayat yang menyebut bahwa pahlawan nasional Kapitan Pattimura adalah seorang Muslim. Disebutkan jika nama asli Pattimura adalah Ahmad Lussy bukan Thomas Matulessy.
“Dulu pernah lihat uang seribu, di uang seribu itu ada satu gambar namanya siapa? Kapitan Pattimura siapa nama aslinya Thomas Mattulesy, bayangkan. Kami berusaha mencari, lihat tanya pakar sejarah dikumpulkan, ternyata nama Kapitan Pattimura itu bukan Thomas tapi Ahmad. Ahmad Lussy,” tutur Adi Hidayat.
Ia juga menjelaskan bahwa Ahmad Lussy adalah seorang pejuang dengan latar belakang seorang kiai.
Perdebatan tersebut menciptakan pro kontra di kalangan umat Islam dan Kristen. Beberapa dari umat Islam mendukung pernyataan Adi Hidayat. Namun tidak sedikit juga yang membantahnya.
Kalangan pihak Muslim yang mendukung narasi itu, misalnya, dalam akun @yaniarsim yang mengaitkannya dengan isu Islamophobia yang rupanya sudah terjadi sejak dulu kala.
Teori Adi Hidayat tersebut rupanya mempunyai preseden. Pada tahun 1960, Ahmad Mansur Suryanegara menulis buku berjudul “Api Sejarah”. Dalam buku tersebut, Mansur menyatakan bahwa Pattimura adalah Ahmad Lussy saat dia menjelaskan imperialisme Belanda. Belanda ingin memutus hubungan kesultanan Turki dengan kekuasaan Islam di Nusantara. Belanda ingin menguasai wilayah produsen rempah-rempah di luar Jawa, sebelum dan sesudah adanya tanam paksa.
“Bangkitlah perlawanan bersenjata dipimpin oleh Kapten Pattimura, 1817 M. Di Ambon penyandang nama Pattimura adalah Muslim. Oleh karena itu, salahlah jika dalam penulisan sejarah, Kapten Pattimura disebut seorang penganut Kristen,” tulis Mansur.
Dari kalangan Kristen, akun Twitter @mazzini_gsp, misalnya, mengatakan;
“Marcellina Matulessy dan Albert Matulessy keturunan Pattimura sudah bantah narasi yg diucapkan ustad bersumber buku Api Sejarah. Nama Pattimura bukan Ahmad Lussy, dia juga penganut Katolik. Di catatan Belanda sejak tahun 1818 sampe 1955 tertulis Thomas Matulessy bukan Ahmad Lussy.”
Teori-teori semacam ini bukan yang pertama kalinya. Kita tentu ingat ketika Patih Gajah Mada juga diklaim sebagai Muslim dengan “Gaj Ahmada”. Napoleon Bonaparte juga sempat “di-muslim-kan” karena mempraktikkan ajaran Islam dalam strategi perangnya.
Saya kemudian bertanya-tanya, gejala apa ini? Kenapa orang-orang kita punya kecenderungan “meng-Islam-kan” tokoh-tokoh masa lalu. Adi Hidayat, dalam membincang topik itu, memberikan konteks bahwa dekonstruksi sejarah dari Ahmad Lussy menjadi Thomas Mattulesy adalah salah satu upaya orientalis untuk menghambat kemajuan umat Islam kembali, yaitu dengan mengubah nama Pattimura, sehingga umat Islam tidak mengetahui ada pahlawan besar Muslim dalam sejarah Nusantara.
Saya sepakat bahwa banyak buku sejarah yang membincang tentang biografi Kapten Pattimura, termasuk yang membincang tentang apa agama yang dianutnya. Namun saya khawatir, ambisi umat Islam untuk melacak “status ke-Islaman” seorang tokoh sejarah justru akan menjadi bumerang bagi Islam itu sendiri.
Mengklaim “ke-Islam-an” Pattimura, yang notabene secara resmi sudah tercatat sebagai orang Kristen, akan semakin menegaskan karakter Islam yang gemar meng-glorifikasi sejarah. Selain itu, Islam juga akan semakin terlihat sebagai agama yang ingin diakui tokoh-tokohnya sebagai pahlawan bangsa. Sebenarnya, alasan orientalis untuk menghapus pengetahuan umat Muslim lewat dekonstruksi sejarah tidaklah signifikan. Toh, masih banyak pahlawan-pahlawan Muslim yang diakui negara berkontribusi terhadap kemerdekaan bangsa ini. Tidak perlu disebut. Terlalu banyak.
Saya membayangkan, meskipun toh pada akhirnya benar bahwa Pattimura adalah Muslim, bahkan seorang kiai sekalipun, lalu apa dampaknya terhadap kita selain sebagai pengetahuan sejarah. Saya tidak mengatakan bahwa sejarah itu tidak penting. Sejarah, salah satunya, digunakan sebagai titik pijak untuk berkembang ke arah yang lebih baik.
Namun, pada kenyataannya, kita seringkali membahas tentang kedigdayaan peradaban Islam dan tokoh-tokohnya di masa lalu. Kita sangat antusias mengulang-ulang cerita al-Biruni, Ibnu Sina, al-Farabi, dan Ibnu Rusyd, tanpa berpikir untuk menciptakan al-Kindi yang baru, al-Ghazali yang baru, atau al-Khawarizmi yang baru.
Artinya, dengan terus menerus membahas Islam masa lalu, bahkan hingga mengklaim “ke-Islam-an”, Islam akan terperangkap dalam pesona itu dan lupa bahwa Islam bukan hanya sekedar apa yang ada di masa silam.
Bayangan lain yang terlintas di pikiran saya adalah tentang relasi Islam-Kristen di Indonesia dengan adanya narasi “Islamisasi” semacam ini. Teman saya, seorang Kristen dari Sumba, pernah bercerita bahwa ia merasa resah dengan dakwah Islam yang masif di daerahnya. Orang-orang Islam itu, katanya, sangat efektif melakukan Islamisasi warga lokal yang notabene memang mayoritas Kristen.
Saya tidak menyalahkan pihak Islam maupun Kristen, karena keduanya memang diberi mandat untuk menyebarkan ajarannya. Saya hanya bercerita bahwa ada keresahan di akar rumput sana terkait Islamisasi yang masif itu. Artinya, cukuplah kita mengislamkan yang masih hidup saja, jangan yang sudah menjadi sejarah ikut di Islamkan juga.
Bukan tidak mungkin umat Kristen akan semakin terpicu dan makin sentimen terhadap umat Muslim karena tokoh mereka “diakuisisi”.
Alih-alih membahas data sejarah yang masih menjadi perdebatan, kita seyogyanya fokus saja terhadap fakta bahwa Kapitan Pattimura telah berjuang mengusir penjajah demi kemerdekaan bangsa Indonesia, apapun agamanya. Itu adalah sebuah postulat yang tak terbantahkan. Kita baiknya meneladani para pejuang bangsa, bukan dari agama yang dianutnya, tetapi dari kegigihannya dan keberaniannya untuk memperjuangkan nasib rakyat.
Wallahu a’lam bisshowab . .