Saat aksi teror meledak di Surabaya, di tengah kesedihan yang dalam, saya menanti komentar-komentar para tokoh di negeri ini. Tak terkecuali tokoh-tokoh Hizbut Tahrir Indonesia yang partainya resmi dilarang di Indonesia. Salah satu tokoh yang cukup saya apresiasi adalah Ustad Bachtiar Nasir yang langsung membuat video mengutuk aksi tersebut dan mengatakan bahwa teroris tidak memiliki agama.
Namun saya cukup tersentak saat membaca komentar dari Ustad Felix Siaw. Ia mencuit seperti ini: “Yang melakukan aksi teror bom itu sangat jahat dan biadab, tapi yang memanfaatkan isu ini untuk membuat framing negatif pada kaum Muslim, jauh lebih jahat dan lebih biadab.”
Yang melakukan aksi teror bom itu sangat jahat dan biadab, tapi yang memanfaatkan isu ini untuk membuat framing negatif pada kaum Muslim, jauh lebih jahat dan lebih biadab
— Felix Siauw (@felixsiauw) May 13, 2018
Pertanyaannya adalah siapa yang memanfaatkan isu ini untuk menyudutkan kaum muslim?
Saya berinteraksi dengan orang dengan berbagai latar belakang, termasuk kalangan non-muslim. Sampai hari ini tidak ada satu pun orang yang seperti dikhawatirkan oleh Felix. Semua berduka karena ada aksi biadab yang mengoyak-koyak nilai-nilai kemanusiaan. Teman saya yang dari kalangan Katolik bahkan mengatakan dia tidak percaya jika orang Islam yang melakukan aksi itu. “Islam tidak pernah mengajarkan terorisme. Islam adalah agama kasih,” kata seorang teman. Makanya, jika pun harus membalas aksi keji tersebut, yang bisa dilakukan bukanlah dengan membalas aksi teror di masjid, tetapi berusaha mencari cara dan mendoakan agar tidak ada kejadian serupa di masa mendatang.
Aksi teror sama sekali tidak membuat Islam tersudut jika kita bisa jujur bahwa ada yang salah dengan ajaran yang dianut oleh sebagian kaum muslim. Memang ada golongan yang salah dalam menangkap ajaran Islam sehingga membuat orang tersebut termotivasi melakukan aksi teror. Dan kejadian semacam ini sudah terjadi sejak era khulafaur rasyidin.
Seorang ustad seperti Felix Siaw pasti pernah membaca kisah bagaimana Khalifah Ali ibn Abi Thalib dibunuh oleh orang yang taat beribadah dan hafal Al-Quran bernama Abdurrahman Ibnu Muljam. Yang mendasari Ibnu Muljam membunuh seorang khalifah yang dijamin masuk surga oleh Nabi adalah buah pikiran khawarij. Bahkan, saat melaksanakan aksinya, Ibnu Muljam membaca ayat suci Al-Quran.
Hal ini membuktikan bahwa ada sebagian umat Islam yang keliru dalam menafsirkan ajarannya dan melakukan aksi pembunuhan dengan motif melaksanakan ajaran agamanya. Inilah yang harus diluruskan, bukan malah menggiring opini masyarakat seolah-olah aksi teror dimanfaatkan untuk mendiskreditkan Islam.
Di tahun 2013, seorang ulama Sunni Suriah bernama Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthti menjadi korban bom bunuh diri di dalam masjid. Seorang remaja berusia 18 tahun yang mengikuti ceramah Syekh Ramadhan, tiba-tiba mendekati sosok ulama terkemuka itu, lalu meledakkan diri. Ada sekitar 50 orang yang tewas dari peristiwa itu.
Indonesia memiliki pengalaman cukup panjang dalam menghadapi terorisme mengatas namakan agama. Sekali lagi ditekankan: mengatas namakan agama. Bukan ajaran agama itu sendiri. Karenanya, sudah saatnya para pemuka agama, apa pun mazhabnya, mengampanyekan bahwa terorisme bukan ajaran dari agama. Agama mana pun, terlebih agama Islam.
Aksi teror ini menjadi titik kesadaran kita bersama untuk terus mengampanyekan ajaran Islam yang ramah, bukan yang marah. Islam yang penuh dengan senyum, bukan dengan cemberut. Islam yang bisa membuat ceria, bukan curiga. Islam yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan, bukan memupuk kebencian.
Jika Ustad Felix sebagai seorang muslim masih merasakan penindasan terhadap kaum muslim di Indonesia, ada baiknya Ustad Felix berkaca: Jangan-jangan pikiran sampeyan saja yang tertindas dan dipenuhi curiga.
Lha wong saat ini umat Islam masih bisa sholat dengan tenang, sekolah dengan nyaman, bahkan disumbang Kemenag dengan dana yang luar biasa. Ngopi-ngopi membahas pembubaran khilafah pun bisa 24 jam non-stop tanpa takut dengan moncong senjata. Kalau Ustad tidak percaya, kapan-kapan kita ngopi bareng, yuk?