Sejak akhir abad ke-4 H, umat Islam meyakini bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Keyakinan ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, setidaknya hingga masa Muhammad Abduh. Keyakinan itu sebenarnya bertentangan dengan hukum masyarakat yang dari masa ke masa yang selalu mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, keyakinan itu menjadi semacam doktrin yang terpatri di tengah masyarakat Muslim saat itu yang membuat potensi nalar umat Muslim terjun bebas serendah-rendahnya.
Realitas ini mengusik Muhammad Abduh. Ia tentu saja tidak menerima kenyataan tersebut. Oleh karena itu, menurut Abduh, untuk kemajuan umat Islam zaman modern, pintu ijtihad harus dibuka. Menurutnya, lemahnya akal dipengaruhi oleh beberapa sebab. Pertama, masalah fitrah seperti yang terjadi kepada orang yang terkena penyakit lemah akal. Mereka ini tidak dibebani taklif (oleh syara’).
Kedua, masalah kultural seperti yang terjadi pada para pentaklid di mana mereka sama sekali tidak menghiraukan akalnya. Mereka cukup puas dengan apa yang mereka temui dari pendahulunya yang tidak lagi relevan, sangat tekstualis, dan justru membawa madharat. Menurutnya, akal yang terbelenggu taklid merupakan akal yang terjajah karena tidak merdeka dalam berpikir.
Meski demikian, terbukanya pintu ijtihad tidak berarti semua orang bebas berijtihad. Menurutnya, tidak semua orang boleh melakukan ijtihad dan hanya orang yang memenuhi persyaratan yang boleh berijitihad. Sedang bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan, maka mereka harus mengikuti pendapat mujtahid yang ia setujui fahamnya.
Landasan yang dipergunakan dalam berijtihad haruslah Al-Qur’an dan hadis, dan bukan pendapat ulama-ulama yang selama ini ditaklidi. Pendapat ulama terdahulu tidaklah mengikat, bahkan ijma’ mereka pun tidak mempunyai sifat ma’shum. Lapangan ijtihad adalah persoalan muamalah, bukan ibadah. Nash mengenai ibadah umumnya bersifat tegas, sedangkan nash mengenai muamalah dan hidup kemasyarakatan hanyalah prinsip-prinsip umum saja.
Interpretasi prinsip-prinsip umum melalui ijtihad dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dengan terbukanya pintu ijtihad, diharapkan adanya perkembangan fiqih yang sesuai dengan tuntunan zaman, bukan perkembangan fiqih yang mengalami stagnasi.
Posisi akal pikiran dalam pelaksanaan ijtihad, diakui atau tidak, tentu saja sangat urgen. Oleh karena itu, akal harus dibangunkan dari tidur lelapnya. Hal ini berkaitan dengan fungsi akal yang diciptakan oleh Allah pada diri manusia agar menerima petunjuk ilmu pengetahuan dan bukti-bukti dari peristiwa yang terjadi dan yang pernah terjadi.
Menurut Abduh, dalam Islam, Al-Qur’an sangat menekankan kekuatan akal. Ia menegaskan bahwa dalam Al-Qur’an-lah wahyu untuk pertama kali berbicara kepada akal manusia dan bukan hanya kepada hati manusia.
Oleh karena itu, Islam menurut Abduh adalah agama yang rasional dan mempergunakan akal adalah salah satu dari dasar-dasar Islam. Iman seseorang dianggap tidak sempurna jika tidak didasarkan pada akalnya. Islamlah yang pertama kali memadukan agama dan akal secara erat dan saling melengkapi.
Wahyu dalam pandangan Abduh tidak mungkin membawa ajaran-ajaran yang bertentangan dengan akal. Jika terdapat lahir ayat yang tidak sejalan dengan akal, maka ayat itu harus diinterpretasikan sehingga sejalan dengan akal.
Abduh menjelaskan alasan kenapa dalam QS. Ali Imran: 7, rāsikhūna menggunakan fī al-‘ilmi, bukan fī al-dīn. Ilmu (akal) lebih umum daripada agama. Artinya, rahmat yang diturunkan oleh Allah kepada manusia salah satunya adalah dengan menjadikan agama sesuai dengan akal budi. Akal yang menemukan mana ayat yang mustasyabih dan mana yang tidak untuk selanjutnya ditakwilkan manusia.
Selain itu, pandangan Muhammad Abduh tentang kekuatan akal manusia lalu sampai kepada paham bahwa manusia bebas berkehendak dan bebas berbuat. Abduh berkata bahwa terdapat dua hal yang tidak bisa dirampas dari menusia, kebebasan berkehendak dan kebebasan berpikir.
Artinya, manusia yang mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan usahanya sendiri. Namun tentu saja tidak menafikan keyakinan bahwa di atasnya masih ada kekuasaan yang lebih tinggi. Paham ini yang harus dikembangkan agar masyarakat Islam bersifat dinamis dan progresif serta mampu mengubah dan menentukan nasibnya sendiri.
Selain penghargaan atas akal, Abduh juga memberikan perhatian dan menggalakkan kajian-kajian filsafat. Kajian ini tidak berkembang lagi. setidaknya di dunia Islam Sunni sejak Ibnu Rusyd. Namun, dengan timbulnya kembali perhatian pada filsafat dan penghargaan terhadap akal, yang dipelopori oleh tokoh pembaruan, maka pemikiran filosofis mulai muncul kembali ke permukaan di kalangan ahli-ahli pikir Islam setelah dalam waktu yang relatif lama hilang dari dataran pemikiran umat Islam.
Tugas generasi sesudah Abduh adalah mengambil spirit yang telah ditularkannya. Mengikuti Abduh bukanlah mengikuti doktrin, tetapi justru mengikuti diri kita sendiri. Sebab Abduh senantiasa menekankan potensi akal tiap manusia. Abduh ingin mengembalikan fungsi akal dan agama sebagaimana fitrahnya.
Jika memang kita merasa kapasitas keilmuan kita tidak memadai untuk merasio dalil-dalil agama dan kita khawatir upaya kita justru salah kaprah, kita setidaknya bisa mengikuti ulama-ulama progresif yang hadir di zaman kita. Di Indonesia, misalnya, banyak ulama Islam yang tidak konservatif, ramah terhadap perbedaan dan perubahan zaman, dan senantiasa berpihak kepada maslahat umat manusia.