
Film “Jumbo” menembus angka empat juta penonton. Rekor penonton terbanyak pun terpecahkan untuk kategori film animasi. Linimasa media sosial pun tak kalah ramai. Bahkan, dua kontestan Pilpres (Pemilihan Presiden) berkesempatan menonton film tersebut saja menjadi perbincangan publik. Ya, Film Jumbo menjadi perbincangan publik.
Beberapa hari ini, ulasan seorang ibu atas film Jumbo mendadak ramai dibicarakan, dibagikan, hingga dihujat. Mengapa? Ibu ini memberikan catatan menarik atensi publik, mungkin bisa disebut mengusik kebahagiaan publik atas film Jumbo. Dia menyebutkan kehadiran sosok hantu di Jumbo telah menyalahi akidahnya.
Walaupun, sang ibu memuji Jumbo sebagai film bagus dan banyak nilai kebaikan di dalamnya, namun dia menyayangkan eksistensi hantu didalamnya. Syahdan, sang ibu pun menjadi sasaran “kemarahan” publik yang terusik atas komentar negatif. Menariknya, di tengah banyaknya hujatan, seorang pembuat konten Islamis populis sepertinya berusaha meluruskan di sisi bahasa konten sang ibu, meskipun dia sepakat dengan isinya.
Saya ingin mengulik persoalan ini dari sisi keberislaman sang ibu dan budaya pop yang saling bertautan. Berhubung persoalan ini kelindan antara agama, budaya pop, dan kelas menengah Muslim, maka film dan kritik sang ibu tak sekedar ulasan akidah belaka.
Islamis dan Budaya Pop
Mungkin sudah jamak diketahui, interaksi antara budaya pop dengan kalangan Islamis tidak selalu paralel. Ada banyak budaya pop, keseruan, dan kehidupan modern yang dilarang, terlebih jika berurusan dengan persoalan akidah. Jadi, ada urusan kesenangan dan budaya pop yang dilarang karena dianggap bertolakbelakang dengan urusan ajaran agama.
Kartun atau menggambar bentuk makhluk hidup adalah hal tabu di kalangan Islamis. Buktinya, sebagian besar produk kartun berwujud makhluk hidup tidak dibuat tidak sempurna. Pelarangan tersebut disandarkan pada beberapa hadis Nabi Muhammad SAW, di mana pembuat gambar yang mendapat azab terberat di hari Kiamat (HR. Bukhari-Muslim), dan larangan malaikat masuk ke rumah berisi gambar (HR. Bukhari).
Model keberagamaan kelompok literalis tentu menjadikan hadis Nabi Muhammad SAW. di atas sebagai larangan mutlak, khususnya untuk gambar manusia dan hewan yang bernyawa. Meskipun, beberapa ulama, seperti Yusuf Qaradawi, memberikan penafsiran lebih kontekstual dengan membedakan tujuan pembuatan gambar, sebagai seni/hiasan (yang diharamkan) dengan gambar untuk keperluan edukasi atau media (yang diperbolehkan dengan ketentuan tertentu).
Walhasil, sebagian kelompok Islamis literalis memandang film kartun, bahkan film biasa, berstatus haram. Penolakan rigid memang banyak ditawar-tawar oleh generasi hari ini. Sebab, dinamika kehidupan modern tentu “menggoda” mereka untuk menawar-nawar batasan tersebut. Irisan kehidupan modern yang cair dan akses atas teknologi ilustrasi pun menjadi dalih mereka.
Kita, hari ini, mudah mendapati beragam produk dakwah kalangan Islamis literalis nan populis menggunakan animasi, walaupun mereka juga memberikan batasan penggunaannya dengan hasil karikatur yang tidak sempurna. Sebagian besar mata atau bagian wajah yang dihilangkan, untuk tetap bisa digunakan. Hal ini, bagi mereka, diperbolehkan karena tidak menggambar secara utuh makhluk hidup.
Di sisi lain, terdapat perbedaan pandangan di kalangan kelompok Islamis mengenai konsumsi film kartun. Sebagian pihak melarangnya, sementara yang lain memperbolehkan dengan pertimbangan tertentu. Kemungkinan sang ibu tersebut beserta keluarganya menonton film kartun Jumbo karena mengikuti pandangan yang membolehkan tayangan tersebut.
Selain itu, ada narasi atau produk budaya pop dilarang karena ajaran agama. Menariknya, pilem Jumbo malah “tersandung” di soalan ini. Kok bisa? Eksistensi sosok hantu di pilem Jumbo disebut melanggar akidah, dan menebar kemusyrikan. Permasalahan ini tidak mengejutkan, karna pandangan akidah mereka yang literal. Bagi mereka, hantu itu merupakan kepercayaan yang tidak bisa ditolerir sama sekali karna merupakan bagian dari urusan keyakinan pada hal gaib.
Mengapa persoalan hantu di film Jumbo bisa dipersoalkan di ruang publik? Publik sempat mempersoalkan kenapa kala film Jinny oh Jinny dan Tuyul dan Mbak Yul malah tidak muncul. Saya melihat ada dua hal yang bisa menjelaskan kebingungan publik tersebut. Pertama, menguatnya posisi kelompok Islamis populis dan literal di ruang publik hari ini adalah jawabannya.
Kedua, sebagian besar konfigurasi sosial perkotaan hari ini adalah kelas menengah Muslim, di mana sebagian mereka adalah kelompok literal. Mereka, sebagaimana kelas menengah lainnya, adalah professional complainer. Mereka bersuara lantang dan lugas jika ada persoalan yang tidak sesuai dengan standar kehidupan mereka, termasuk keberagamaan. Ditambah, kelompok Islamis populis dan literal yang menguat dan lantang bersuara di ruang publik ini memiliki kemampuan dan akses atas media sosial.
Akankah Ada Komodifikasi Hantu?
Kala konten “Hantu dan Akidah” ini menyeruak, ingatan saya menggelayut pada film kartun serial populer sekitar 1990-an, yakni “Casper.” Walaupun film ini tidak lagi ditayangkan, apalagi dibicarakan, Casper menghadirkan diskusi soal hantu “baik.” Apakah ini senada dengan apa yang diekspresikan di Jumbo? Mari kita diskusikan.
Dalam kajian sosial, gagasan hantu diantaranya dipahami sebagai makhluk “yang tak terlihat tapi terasa.” Konsep ini jelas membuat pandangan kaku tentang ada dan tiada, atau dengan kata lain eksistensi menjadi layak dibicarakan atau didiskusikan ulang. Posisi hantu yang tidak hidup tapi juga tidak benar-benar mati menciptakan keadaan antara yang misterius.
Dalam film Casper, justru karena wujud hantu yang tembus pandang, perasaan sedih dan kesepiannya malah terasa lebih nyata bagi penonton, meskipun secara fisik dia tidak bisa dipegang. Imaji ini jelas dirasakan, atau paling tidak diharapkan bisa dicerap, para penonton. Jumbo menghadirkan narasi dan model eksistensi hantu yang sama.
Diskursus di atas jelas mengungkap bagaimana budaya pop melihat kematian, bukan sebagai titik akhir, tapi sebagai sesuatu yang terus berlanjut. Karakter Casper dan Meri yang “tak terlihat tapi terasa” ini mewakili kenangan masa kecil atau luka batin yang terus ada. Rekaman ini tentu bisa menjadi sisi menyentuh empati dan rasa kemanusiaan para penonton.
Secara konseptual, penggambaran hantu yang terhumanisasi dalam film-film tersebut mengaburkan batas realitas dan imajinasi, sekaligus menawarkan perspektif baru dalam memaknai rasa kehilangan melalui narasi fantasi yang emosional. Fenomena ini sejalan dengan pola konsumsi masyarakat kontemporer yang lebih didominasi oleh pertimbangan afektif ketimbang rasional.
Film Jumbo menghadirkan pola serupa dengan Casper. Relasi antara Don (protagonis) dan Meri—figur hantu anak yang berperan sebagai “teman magis” bukan figur horor—menjadi inti cerita. Meri membantu Don mengklaim kembali buku dongeng warisan keluarganya, sementara subplot mengisahkan upayanya menyelamatkan orang tua dari antagonis tak dikenal. Kemampuan supernaturalnya (transparansi, teleportasi) dikemas dalam kerangka fantasi murni.
Pertanyaannya, apakah Jumbo melakukan vandalisme akidah? Penulis cenderung memandang Meri sebagai produk komodifikasi budaya—seperti Casper—bukan ancaman akidah. Namun, suara kelompok literalis akan lebih terdengar karena kapasitas mereka dalam penguasaan teknologi digital dan posisi sebagai kelas menengah yang vokal.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin