Menjelaskan Malaikat Secara Rasional: Sebagai Hukum Alam dan Bisikan Hati Manusia

Menjelaskan Malaikat Secara Rasional: Sebagai Hukum Alam dan Bisikan Hati Manusia

Muhammad Abduh, memberi tawaran penjelasan tentang malaikat secara rasional. Baginya, malaikat adalah hukum alam dan hati nurani manusia.

Menjelaskan Malaikat Secara Rasional: Sebagai Hukum Alam dan Bisikan Hati Manusia

Malaikat tidak melulu dijelaskan secara teologis. Pembaharu Islam asal Mesir, Muhammad Abduh, memberi tawaran penjelasan tentang malaikat secara rasional.

Iman kepada Malaikat merupakan salah satu aspek dalam rukun iman yang dipegang teguh oleh umat Islam. Namun acapkali kita hanya ‘terjebak’ pada ajaran menghafal sedari kecil, yakni sepuluh nama malaikat yang wajib diimani. Mulai dari malaikat Jibril sampai Ridwan, dengan fungsi dan tugasnya masing-masing.

Hafalan tersebut jelas penting bagi diri seorang muslim. Namun, diskusi tentang bagaimana zat atau wujud malaikat menjadi topik yang amat sayang jika dilewatkan. Para ulama telah berusaha merumuskan bagaimana pengertian, zat atau wujud dari malaikat itu sendiri. Mulai dari pandangan yang cenderung dekat dengan mistik, sampai yang berusaha mendefinisikan malaikat secara rasional.

Pengertian tentang malaikat sendiri, secara sederhana adalah makhluk halus yang diciptakan oleh Allah SWT dari cahaya yang dapat berubah dalam aneka bentuk, taat dan patuh pada perintah Allah, serta tidak pernah sedikitpun membangkang. Sebagaimana tertera dalam Q.S. al-Nahl [16]: 49.

وَلِلّٰهِ يَسْجُدُ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ

Dan segala apa yang ada di langit dan di bumi hanya bersujud kepada Allah yaitu semua makhluk bergerak (bernyawa) dan (juga) para malaikat, dan mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri.

Bagaimana dengan proses penciptaan malaikat sendiri? Berdasarkan pendapat Prof. Quraish Shihab, di dalam kitab suci al-Quran tidak ada ayat atau redaksi yang secara gamblang menjelaskan statemen tersebut. Lain halnya dengan jin yang secara jelas disebut dalam al-Quran tentang proses penciptaannya, yang berasal dari bara api yang menyala.

Dalam buku Prof. Quraish Shihab berjudul Malaikat dan Al-Qur’an, informasi tentang penciptaan malaikat umumnya disandarkan pada sebuah hadis yang bersumber dari Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Tirmidzi, Ahmad, dan Ibnu Majah. Hadis tersebut menyatakan bahwa Rasulullah bersabda:

“Malaikat diciptakan dari cahaya, jin dari api yang berkobar, dan Adam (manusia) sebagaimana telah dijelaskan kepada kalian.”

Tidak spesifik dari cahaya apa malaikat diciptakan. Ada hadis lain yang memberi penjelasan tentang hal tersebut, namun menurut Prof. Quraish, hadis tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Meski banyak ulama yang merumuskan aneka analisis seputar penciptaan malaikat, tapi garis besarnya adalah, bahwa tidak ditemukan informasi yang jelas dari teks al-Quran seputar penciptaan malaikat dari cahaya. Prof. Quraish sendiri menyarankan lebih baik untuk tidak membicarakan perdebatan ini lebih lanjut.

Muhammad Abduh, seorang pembaharu Islam asal Mesir, menaruh prinsip yang serupa: kita tidak perlu memasuki perincian persoalan gaib yang tidak dijelaskan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Muhammad Abduh dikenal sebagai tokoh pembaharu Islam yang beraliran rasionalis. Menurutnya, Islam adalah agama yang rasional dan tidak berkonflik dengan akal. Pemikiran rasional ini juga menjadi jalan untuk memperoleh iman sejati. Iman tidaklah sempurna, bila tidak didasari akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat, dan akal-lah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan, ilmu serta kemahakuasaan dan rasul-Nya.

Muhammad Abduh memiliki pandangan unik seputar penciptaan malaikat yang didasarkan pada penjelasan rasional. Menurut Abduh, hukum-hukum alam yang menggerakkan dunia ini, dapat juga dimaknai sebagai malaikat. Kurang lebihnya, malaikat menjadi bagian dari cara kerja alam semesta. Bisa jadi, hukum alam seperti hujan, adanya cuaca panas, dingin, dan lain sebagainya merupakan perwujudan hasil kerja malaikat atas izin Allah, atau bahkan ini lah yang disebut malaikat itu sendiri.

Hal ini didasarkan pada ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang fungsi malaikat sebagai “yang mengatur persoalan-persoalan” sebagaimana tertera dalam Q.S. al-Nâzi’at [79]: 5.

فَالمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا

Yang mengatur segala urusan

Selain itu, Muhammad Abduh juga membuka kemungkinan memaknai malaikat sebagai bisikan nurani yang ada di dalam manusia sendiri. Manusia merupana makhluk yang selalu dilanda pergulatan batin dalam menghadapi segala sesuatu. Nah, di sini lah letak hadirnya malaikat. Bisikan dan dorongan nurani ini menggerakkan manusia menuju kebaikan, atau bisikan untuk menuju kebaikan tersebut adalah hasil dari bisikan malaikat.

Sebaliknya, posisi Muhammad Abduh dalam memaknai malaikat ini berhadapan dengan pemaknaan Abduh terhadap jin, yakni sebagai bisikan negatif yang ada pada diri manusia. Sehingga bisa disimpulkan bahwa ketika manusia tergerak melakukan hal baik, maka itu adalah bisikan dari hati nurani manusia yang bersumber dari malaikat. Penjelasan Muhammad Abduh dalam upaya menjelaskan malaikat secara rasional juga sangat terlihat ketika menyebut jin sebagai kuman-kuman dan virus penyebab penyakit.

Memang, pada dasarnya keimanan itu tidak mensyaratkan sebuah konfirmasi rasional atau pengalaman yang bisa dibuktikan. Namun, pemaknaan dan sudut pandang ini cukup menarik karena memberi tawaran yang segar bagi sebagian masyarakat yang mengedepankan akal terhadap konsep penciptaan malaikat. Yang juga menunjukkan bahwa pemikiran Islam selalu bergerak dengan dinamis.