Duka akibat kericuhan hebat yang terjadi di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu (1/10) lalu masih terasa. Tragedi Kanjuruhan menjadi tragedi terparah kedua dalam sejarah sepak bola dunia. Tragedi yang menyebabkan tewasnya 131 orang supporter (menurut data Dinkes Malang per 2 Oktober) itu membuat banyak pihak menuntut pertanggungjawaban pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pertandingan Arema vs Persebaya itu.
Satu hal yang menjadi sorotan adalah terkait waktu pertandingan yang digelar malam hari, tepatnya dimulai pukul 20.30 WIB. Seperti yang banyak diberitakan, panitia pelaksana (Panpel) pertandingan Arema vs Persebaya telah mengajukan surat untuk memajukan jadwal pertandingan ke sore hari kepada PT. LIB selaku penyelenggara kompetisi tertanggal 19 September 2022 silam. Surat tersebut diajukan atas surat rekomendasi dari Polres Malang tertanggal 13 September 2022. Namun, pada akhirnya surat pengajuan jadwal tersebut ditolak, akhirnya pertandingan tetap berjalan malam hari.
Polemik Pertandingan Malam Hari
Sebelum kompetisi musim 2022/2023 berjalan, sebenarnya banyak klub yang tidak setuju dengan penyelenggaraan pertandingan pada malam hari. Banyak pengamat sepak bola juga telah memperingatkan pihak penyelenggara kompetisi. Hal itu tidak lain karena banyak hal negatif yang sangat berpotensi terjadi ketika pertandingan diselenggarakan malam hari.
Misalnya, rawan terjadi kecelakaan akibat suporter yang pulang dari stadion dalam keadaan lelah, suporter yang tidak membawa kendaraan pribadi kesulitan mencari kendaraan umum, potensi kejahatan yang terjadi di jalan saat malam hari, hingga potensi kerusuhan karena petugas keamanan tidak memiliki jarak pandang yang cukup karena kurangnya cahaya. Alasan kesehatan para pemain juga tidak luput dari perhatian. Tragedi Kanjuruhan kemarin pun merupakan salah satu contoh akibat dari pertandingan malam hari.
Namun, semua peringatan itu ternyata tidak pernah diindahkan. Hal itu memunculkan pertanyaan, mengapa penyelenggara kompetisi begitu ngotot pertandingan diselenggarakan malam hari?
Banyak pihak yang menuding bahwa keputusan untuk menyelenggarakan pertandingan di malam hari adalah demi rating stasiun TV yang memegang hak siar. Anggapan seperti ini sangat masuk akal, karena waktu kebanyakan orang menikmati tontonan di TV salah satunya adalah saat waktu makan malam hingga sebelum beranjak tidur. Berbeda dengan sore hari yang mungkin masih banyak yang baru menyelesaikan aktivitasnya sehingga sangat kecil kemungkinan untuk menonton TV.
Anggapan itu kemudian dibantah oleh Direktur Program PT. Surya Citra Media (SCM), Harsiwi Achmad. PT. SCM sendiri adalah perusahaan yang mengoperasikan sejumlah kanal media televisi Indonesia seperti SCTV dan Indosiar. Hak siar Liga Indonesia saat ini dipegang oleh Indosiar. Salah satu alasan yang disampaikan oleh Harsiwi adalah penyelenggaraan pertandingan di malam hari merupakan bentuk penyesuaian dengan Indonesia sebagai negara mayoritas muslim.
“Kami ingin memberikan penonton waktu (untuk menunaikan) sholat terlebih dahulu. Lalu (selain itu), jam 19.00 dan 20.00 ada suara azan, itu jadi pertimbangan juga,” terangnya seperti ditulis dalam berita Kompas.com (23/7).
Penyesuaian Dengan Negara Mayoritas Muslim?
Secara pribadi, saya menilai bahwa alasan yang dilontarkan oleh Harsiwi tidak lebih dari sekedar pembelaan diri. Sejak dulu, suporter sepak bola di Indonesia tetap bisa sholat terlebih dulu ketika pertandingan diselenggarakan pada sore hari. Bahkan, ketika ada azan berkumandang, wasit juga menghentikan jalannya pertandingan untuk menghormati kumandang azan.
Lalu, jika kita mengikuti jalan pikiran Harsiwi, yakni menyesuaikan dengan kultur Indonesia sebagai negara mayoritas muslim, maka apakah tidak ada cara lain yang bisa dilakukan selain dengan menyelenggarakan pada malam hari? Jawabannya: tentu ada. Karena itu, alasan Harsiwi sangat bisa dimentahkan. Selanjutnya, jika ada, maka bagaimana caranya?
Saya sendiri memiliki pengalaman menonton bola secara langsung ke stadion, tepatnya di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Saat itu, pertandingan antara Indonesia vs Filipina dimulai pukul 19.00 dan berakhir pukul 21.00 WIB. Apa yang terjadi? Saya tetap bisa menonton bola tanpa meninggalkan sholat, meski pertandingan tidak dimulai pukul 20.30 WIB seperti pertandingan Arema vs Persebaya kemarin.
Contoh lainnya, di negara yang minoritas muslim, sebut saja Eropa, beberapa klub di sana memiliki mushola di dalam stadion. Mereka berinisiatif memberikan fasilitas bagi para suporter yang muslim agar tetap bisa sholat ketika mereka datang untuk mendukung tim kebanggaan ke stadion. Di antaranya adalah Allianz Arena (Bayern Munich/Jerman), Etihad Stadium (Man. City/Inggris), St. James Park (Newcastle United/Inggris), dan Ewood Park (Blackburn Rovers/Inggris).
Artinya, jika memang ingin melakukan “penyesuaian” antara sepak bola dengan Indonesia sebagai negara mayoritas muslim, maka cara yang dapat dilakukan adalah dengan membuat regulasi “Stadion Ramah Muslim”. Untuk mewujudkannya, pihak penyelenggara kompetisi dapat mendorong klub untuk menyediakan mushola bagi para suporter muslim, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa klub Eropa yang disebutkan sebelumnya.
Sebenarnya logika “menyesuaikan sepak bola dengan negara yang mayoritas muslim” saja sudah keliru. Dengan logika seperti itu, Harsiwi berarti hanya memikirkan suporter yang muslim, padahal banyak juga suporter yang non-muslim. Tapi, demi mengikuti logika tersebut, mungkin satu usulan yang bisa jadi pertimbangan adalah dengan membuat regulasi “Stadion Ramah Muslim”. Bagi saya, itu lebih baik dibandingkan harus mengundur jadwal pertandingan hingga larut malam.
Karena, ada yang lebih penting dari sepak bola dan rating, yakni kemanusiaan. Semoga Tragedi Kanjuruhan menjadi tragedi yang terakhir dan tidak akan terulang lagi. Satu nyawa saja sudah tidak ternilai harganya, apalagi 131 nyawa! (NH)