Banyak kalangan menyatakan bahwa ilmu pengetahuan berkembang pada era Islam. Hadirnya Islam dinilai mengubah tatanan seputar pengetahuan bangsa Arab, tak terkecuali dalam ilmu-ilmu terapan. Sebelum lebih jauh membahas dampak Islam pada tradisi pengobatan, menarik ditelusuri perilaku masyarakat Arab sebagai tempat hadirnya Islam pertama kali.
Sering disebut di kampus atau majelis dakwah: ilmuwan muslim yang bisa mengembalikan kejayaan Islam, seperti Ibnu Sina, Ar Razi, dan tokoh lainnya. Konon tradisi keilmuan mereka pada masa itu dinilai tidak banyak sejalan dengan tradisi lama pengobatan Arab.
Padahal tradisi lama pengobatan Arab ini banyak disertakan dalam teks-teks sumber hukum Islam. Seperti dalam kitab hadis, banyak disertakan cara pengobatan orang Arab ini dalam bab tersendiri. Seiring dakwah Islam, tradisi pengobatan Arab yang ada dalam hadis ini dinilai sementara ulama sebagai bagian ajaran Islam juga.
Untuk mengetahui tradisi ini, para peneliti menelaah teks sejarah dan sastra karya masa itu melalui analisis filologis. Metode ini yang dilakukan oleh Manfred Ullmann, seorang sejarawan cum filolog dalam bukunya Islamic Medicine. Buku ini mengintisarikan temuan-temuan tertua syair, prasasti, monumen serta beragam artefak lain yang menggambarkan tradisi kedokteran bangsa Arab.
Para praktisi pengobatan disebut tabib – dari bahasa Arab thabib, turunan kata thabba-yathibbu yang secara umum berarti penyembuh. Para tabib mengobati sesuai pengetahuan dan kepercayaan yang mereka miliki, dan pengetahuan itu tak lepas dari konteks budaya yang berkembang pada masa itu. Masyarakat Arab kala itu bisa dibilang adalah bangsa yang nyaris tereksklusi dari peradaban: berada di dataran gurun, jauh dari lautan.
Konon, masyarakat Badui Arab dulu memiliki pengetahuan kesehatan yang terbatas. Kualitas air dan sanitasi yang tidak memadai, minimnya variasi makanan masyarakat – baik akibat kemiskinan maupun kondisi alam, serta sebagai negeri tropis, Arab kala itu kaya akan infeksi parasit maupun penyakit endemik lain. Angka kematian ibu dan bayi tinggi, begitupun angka harapan hidup sangat rendah.
Ullmann menuturkan bahwa pada kurun abad 2 sampai 6 Masehi, penyakit endemik dataran Arab adalah malaria, tuberkulosis, amebiasis, cacar, kusta, disentri, serta malnutrisi yang terjadi di pelosok-pelosok desa. Beragam jenis infeksi cacing seperti cacing pita, cacing tambang, serta parasit gurun lain sering disitir dalam syair-syair kuno Arab.
Semakin sering terjadi suatu penyakit, semakin mampu para sastrawan Arab kuno menggambarkannya dengan istilah berbeda. Soal penyakit mata misalnya, dari namanya saja sudah sangat beragam: ada yang disebut kam’ah, asha’, ama’, ramad, qama’, dan banyak sebutan lain juga untuk menyatakan gangguan penglihatan, mulai dari infeksi mata hingga kebutaan.
Tuberkulosis dan kusta merajalela, orang mendapat stigma. Syair-syair begitu populer menyebutkan penyakit sillun atau sulal, atau menyebut barash dan judzam untuk kusta. Ullmann menyebutkan, para penderita penyakit ini disingkirkan jauh-jauh dari masyarakat.
Adanya variasi kosakata penyakit menunjukkan masyarakat Arab punya cara untuk membedakan satu penyakit dengan lainnya. Mereka mencegah dan mengobati penyakit berdasarkan ajaran leluhur atau mitos-mitos yang berkembang lama di masyarakat. Penyakit sering diasosiasikan dengan sihir atau guna-guna.
Satu kasus dipaparkan Manfred Ullmann, malaria pernah menjadi wabah di daerah lembah seperti daerah Tihama, ‘Asir juga Khaybar. Seorang pria di Khaybar, disebutkan terkena demam tinggi dan keringat dingin yang harinya muncul selang-seling. Masyarakat Badui Arab yang datang ke Khaybar berperilaku dengan melenguh seperti keledai – semata agar tidak tertular demam. Dalam kepercayaan mereka: demam hanya menyerang manusia, karena itu dengan bersikap “kurang manusia”, mereka tak akan tertular.
Sebagaimana dinyatakan Ullmann, masyarakat Arab memiliki sudut pandang yang animistik. Penyakit dinilai merupakan serangan roh jahat. Karena itu, orang-orang menggantung kain yang dibalur darah menstruasi dan tulang-tulang mayat di rumah-rumah sebagai azimat. Saat terkena bisul yang membesar, orang Arab melakukan puja-puji sambil sambat di depan berhala dan tenda-tenda kabilah, lalu mengumpulkan roti dan buah dalam sebuah wadah yang akan dihabiskan di depan anjing atau diserahkan padanya.
Para perempuan yang masih produktif atau punya riwayat keguguran, diminta menginjak-injak mayat orang mulia yang terbunuh. Harapannnya anak mendatang akan hidup lebih lama. Untuk mencegah parafimosis (kulit ujung penis tidak dapat ditarik), bayi tidak boleh lahir di bawah cahaya rembulan.
Untuk materi obat, masyarakat Arab mengenal kencing unta sebagai “obat istimewa”, karena digunakan dalam banyak hal. Kencing ditampung dan kadang direbus dulu, lalu dibalurkan pada badan yang sakit atau diminum. Darah para raja/kepala suku diminum sebagai obat rabies. Seperti di legenda-legenda dunia: darah orang mulia dan luhur, dinilai akan menjadi tombo.
Banyak perempuan membuka jasa mantra atau ruqyah dan tolak sihir. Sihir dinilai sebagai suatu hal yang aneh dan tak dikenali sebelumnya, serta terjadi tiba-tiba, sehingga ia ampuh membunuh orang. Bahkan di antara para dukun dan tabib sendiri, sihir melampaui segala segala pengetahuan mereka.
Metode yang sering digunakan sebagai metode bedah adalah kauterisasi (menyulut badan dengan besi yang dipanaskan) dan bekam. Pengobatan dengan besi panas itu (dalam hadis disebut kayy) digunakan untuk mengobati gangguan mental, kudis, keropeng, luka terbuka, dan lainnya.
Di samping pengetahuan seputar pencegahan dan pengobatan, masyarakat Arab sering menyebut dalam syair-syair kuno organ hati (hepar/liver), jantung, limpa, lambung dan usus. Konon, sedikit banyak masyarakat sudah memiliki konsep tersendiri tentang fungsi-fungsi organ ini.
Mereka menilai rasa lapar dan haus letaknya di organ hati. Bahkan, hati atau liver ini disebut-sebut sebagai pusat kendali perasaan dan proses berpikir. Seseorang yang penuh kemarahan dan kebencian, livernya bisa-bisa berwarna hitam; begitupun sebaliknya, jika perilaku seseorang bersih, maka liver atau hatinya itu akan putih.
Sebagaimana dalam perihal penyakit, masyarakat Arab tampak memiliki kemampuan deskriptif yang baik. Mereka mengidentifikasi pembuluh darah besar yang tampak di permukaan tubuh, dan secara jeli, mereka membandingkannya secara simetris. Pembuluh-pembuluh darah ini sudah memiliki sebutan tersendiri, seperti al-akḣal untuk pembuluh darah yang tampak di permukaan tangan, al-akhda’an yang kini dikenal sebagai arteri carotis – lokasinya di area leher; dan sebutan lain seperti al-abyadan, al abjalan, dan banyak lainnya yang menurut Ullmann, belum diketahui penjelasan detailnya.
Luka akibat perang antar kabilah membuat masyarakat sudah mengetahui bahwa kepala itu terdiri dari berlapis-lapis jaringan, yang mereka sebut ummul dimagh atau ummur ra’s. Ullmann menyitir sebuah syair bahwa seorang tabib memeriksa luka di kepala yang membuat kepala itu permukaannya tampak bopeng.
Tradisi pengobatan dan pengetahuan masyarakat Arab yang demikian, seperti kencing unta, ruqyah, bekam, maupun deksripsi organ dalam hadis seperti “sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging – jika baik, baiklah seluruh tubuh; jika buruk, seluruh tubuh akan menjadi buruk pula, dan ia adalah al-qalbu.” (HR. Bukhari dan Muslim), turut mewarnai narasi hadis dalam beragam kitab, yang di masa-masa mendatang dinilai bagian dari sabda dan ajaran Nabi.